Review Seven Request oleh Devi Liandani

Thursday, 13 March 2014

Ini cuma review dan komentar. Jadi gak usah ada sinopsisnya eah!!!

Selamat membaca, Kawan :D

Seven Requests? Seven Requests... Seven Requests... hmmmm. Ah! Well, saya baru menyelesaikan buku ini beberapa hari yang lalu. Mungkin Jum'at—entahlah! Yang pasti saya masih mengingat dengan jelas kesan pertama begitu tuntas 'melahap' novel teenlit berjumlah 174 halaman ini : bingung. Ya, bingung. Bukan bingung karena saya tidak paham alur cerita. Bukan. Namun saya sungguh-sungguh bingung mengapa orang yang meminjamkan novel ini kepada saya (baca : Melani) keukeuh mempromosikan bahwa novel ini luar biasa seru. Tolong garis bawahi LUAR BIASA SERU!!!

“Melan sampe baca novel ini tujuh kali saking ramenya,” ujar Melan menggebu-gebu. Padahal—ah, sudahlah selera orang berbeda-beda. Saya boleh bilang ‘tidak suka’ tapi masih banyak orang lain di luar sana yang berkata ‘suka’ atau malah sangat suka.

Sejujurnya novel ini tidak seburuk yang saya katakan di muka. Saya berkomentar demikian sadisnya sebab di awal sudah diiming-imingi pujian ‘luar biasa seru’ tadi. Akibatnya ekspektasi saya terhadap novel tersebut amat-sangat tinggi namun berangsur kecewa setiap membuka halaman demi halaman novel. Saya kecewa. Jalan cerita yang disajikan tidak sesuai harapan saya.

Teknik bercerita yang digunakan penulis cenderung ‘tell’ dibanding ‘show’. Dan karena belakangan ini saya kembali hobi melahap nonfiksi terjemahan, penggunaan bahasa ‘tidak baku’ aka ‘bahasa gaul’ dalam narasi yang digunakan Amira Budi Mutiara ini sedikit banyak mengusik kenyamanan membaca saya. Penilaian yang sangat subjektif memang. Tapi inilah kesan yang saya dapatkan selama membaca Seven Requests.

Terdapat beberapa ‘ketidakkonsistenan’ yang saya tangkap dalam novel ini :

1.      Coba tengok halaman 73 paragraf 4 dan 5, kemudian halaman 83 paragraf 5. Baca dan pahami kelabilan yang saya maksud. Nah, itu! Di halaman 73 dikatakan si cewek (baca: Hena) satu SMP dengan Erin, sekelas malah. Tapi coba baca di halaman di halaman 83 Mbak Amira Budi Mutiara justru menulis : ‘Bahkan, saat di SMP mereka tidak satu sekolah pun, Hena masih sering menghubungi Erin.’ Bingung? Iya, saya juga.

2.      Ini kenapa di halaman 84, saat penulis beralih ke sudut pandang Erin sebagai pelaku utama, kata ganti ‘aku’ mendadak jadi ‘gue’? Walaupun suasana hati Erin saat itu sedang tidak karuan, mestinya penulis tidak semena-mena mengganti kata ganti ‘aku’ menjadi ‘gue.

3.      Halaman 100. Perhatikan dialog antara Servio dan Erin. Di sana tertulis : “Keadaan lo menyedihkan lo. Pulang sana.”

Tampaknya di sana ada dua kali pengucapan ‘lo’ yang menjadikan kalimat kurang efektif. Namun begitu kalian membaca paragraf ke-12 halaman 101, kalian akan sadar bahwa penulis telah salah ketik atau istilah kerennya typo. Itu tadi bukan lo (kamu) dan lo (kamu), melainkan lo (kamu) dan Io (panggilan Servio). Dia lupa menggunakan haruf ‘I’ kapital.

4.      Paragraf 3 halaman 165 : Erin tersentak. Galasin sampai lepas dari genggaman tangannya.
Itu Erin lagi main layangan kan, ya? Mungkin maksudnya gelasan gitu ya, bukan galasin. Da setau say amah galasin teh nama permainan, bukan nama benda.

Di samping ketidakpuasan yang saya ungkapkan di atas, novel ini cukup menghibur. Walau kadang bahasa tidak baku dan lebih banyak tell dibanding show (hal yang membuat pembaca kurang berimajinasi dan tidak dibiarkan berpikir sebab segala sesuatu dijelaskan secara gamblang. Dan tentu membuat bete)—narasinya sangat mengalir. Jauh lah dengan narasi saya yang sangat ‘amburadul’. Amira berhasil menerbitkan bukunya saat duduk di kelas X? Hebat. Dia muda dan berbakat. Oke, ini adalah novel perdana penulis (CMIIW). Barangkali ke depannya penulis lebih memperhatikan unsur ‘kelogisan’ serta ‘kekonsistenan’. Keep nulis, eah! *minjem istilah Bang Ichi*

Nb : Oh ya, pas baca halaman 27, saya kira Luthfan bakal meninggal gara-gara suatu penyakit mematikan gitu deh… Soalnya kan di situ disinggung-singgung Luthfan lagi di RS dan dia ngejawab pertanyaan Erin dengan nada aneh gimanaaa gitu. Eh taunya malah meninggal gegara kecelakaan. Jadi yah… istilahnya keberadaan Luthfan di RS itu bukan apa-apa. Kalau bagian ini dihilangin pun gak ngaruh ke jalan cerita.



Oke deh saya udah cape ngetik. Mohon maaf apabila buanyak kesalahan. Babay!!!
Review ini sudah pernah dipublikasikan di 

0 comments:

Post a Comment