Ini cuma review dan komentar. Jadi gak usah ada sinopsisnya eah!!!
Selamat membaca, Kawan :D
Seven
Requests? Seven Requests... Seven Requests... hmmmm. Ah! Well, saya baru
menyelesaikan buku ini beberapa hari yang lalu. Mungkin Jum'at—entahlah! Yang
pasti saya masih mengingat dengan jelas kesan pertama begitu tuntas 'melahap'
novel teenlit berjumlah 174 halaman ini : bingung. Ya, bingung. Bukan bingung
karena saya tidak paham alur cerita. Bukan. Namun saya sungguh-sungguh bingung
mengapa orang yang meminjamkan novel ini kepada saya (baca : Melani) keukeuh
mempromosikan bahwa novel ini luar biasa seru. Tolong garis bawahi LUAR
BIASA SERU!!!
“Melan
sampe baca novel ini tujuh kali saking ramenya,” ujar Melan menggebu-gebu.
Padahal—ah,
sudahlah selera orang berbeda-beda. Saya boleh bilang ‘tidak suka’ tapi masih
banyak orang lain di luar sana yang berkata ‘suka’ atau malah sangat suka.
Sejujurnya novel ini
tidak seburuk yang saya katakan di muka. Saya berkomentar demikian sadisnya
sebab di awal sudah diiming-imingi pujian ‘luar biasa seru’ tadi. Akibatnya
ekspektasi saya terhadap novel tersebut amat-sangat tinggi namun berangsur
kecewa setiap membuka halaman demi halaman novel. Saya kecewa. Jalan cerita
yang disajikan tidak sesuai harapan saya.
Teknik bercerita yang
digunakan penulis cenderung ‘tell’ dibanding ‘show’. Dan karena belakangan ini
saya kembali hobi melahap nonfiksi terjemahan, penggunaan bahasa ‘tidak baku’
aka ‘bahasa gaul’ dalam narasi yang digunakan Amira Budi Mutiara ini sedikit
banyak mengusik kenyamanan membaca saya. Penilaian yang sangat subjektif
memang. Tapi inilah kesan yang saya dapatkan selama membaca Seven Requests.
Terdapat beberapa
‘ketidakkonsistenan’ yang saya tangkap dalam novel ini :
1.
Coba tengok
halaman 73 paragraf 4 dan 5, kemudian halaman 83 paragraf 5. Baca dan pahami
kelabilan yang saya maksud. Nah, itu! Di halaman 73 dikatakan si cewek (baca:
Hena) satu SMP dengan Erin, sekelas malah. Tapi coba baca di halaman di halaman
83 Mbak Amira Budi Mutiara justru menulis : ‘Bahkan, saat di SMP mereka tidak
satu sekolah pun, Hena masih sering menghubungi Erin.’ Bingung? Iya, saya juga.
2.
Ini kenapa di
halaman 84, saat penulis beralih ke sudut pandang Erin sebagai pelaku utama,
kata ganti ‘aku’ mendadak jadi ‘gue’? Walaupun suasana hati Erin saat itu
sedang tidak karuan, mestinya penulis tidak semena-mena mengganti kata ganti ‘aku’
menjadi ‘gue.
3.
Halaman 100.
Perhatikan dialog antara Servio dan Erin. Di sana tertulis : “Keadaan lo
menyedihkan lo. Pulang sana.”
Tampaknya
di sana ada dua kali pengucapan ‘lo’ yang menjadikan kalimat kurang efektif.
Namun begitu kalian membaca paragraf ke-12 halaman 101, kalian akan sadar bahwa
penulis telah salah ketik atau istilah kerennya typo. Itu tadi bukan lo (kamu)
dan lo (kamu), melainkan lo (kamu) dan Io (panggilan Servio). Dia lupa
menggunakan haruf ‘I’ kapital.
4.
Paragraf 3
halaman 165 : Erin tersentak. Galasin sampai lepas dari genggaman
tangannya.
Itu
Erin lagi main layangan kan, ya? Mungkin maksudnya gelasan gitu ya, bukan
galasin. Da setau say amah galasin teh nama permainan, bukan nama benda.
Di
samping ketidakpuasan yang saya ungkapkan di atas, novel ini cukup menghibur. Walau
kadang bahasa tidak baku dan lebih banyak tell dibanding show (hal yang membuat
pembaca kurang berimajinasi dan tidak dibiarkan berpikir sebab segala sesuatu
dijelaskan secara gamblang. Dan tentu membuat bete)—narasinya sangat mengalir.
Jauh lah dengan narasi saya yang sangat ‘amburadul’. Amira berhasil menerbitkan
bukunya saat duduk di kelas X? Hebat. Dia muda dan berbakat. Oke, ini adalah
novel perdana penulis (CMIIW). Barangkali ke depannya penulis lebih memperhatikan
unsur ‘kelogisan’ serta ‘kekonsistenan’. Keep nulis, eah! *minjem istilah Bang
Ichi*
Nb
: Oh ya, pas baca halaman 27, saya kira Luthfan bakal meninggal gara-gara suatu
penyakit mematikan gitu deh… Soalnya kan di situ disinggung-singgung Luthfan lagi
di RS dan dia ngejawab pertanyaan Erin dengan nada aneh gimanaaa gitu. Eh
taunya malah meninggal gegara kecelakaan. Jadi yah… istilahnya keberadaan
Luthfan di RS itu bukan apa-apa. Kalau bagian ini dihilangin pun gak ngaruh ke
jalan cerita.
Oke
deh saya udah cape ngetik. Mohon maaf apabila buanyak kesalahan. Babay!!!
Review ini sudah pernah dipublikasikan di
0 comments:
Post a Comment