Hari Jadi Ke-5 dan Sejuta Ritangan di Dalamnya (bagian 1)

Monday 19 August 2013

Entahlah, mungkin ini bulan terberat dalam hubunganku dan Fian. Banyak air mata yang tumpah menuju bulan ke-5 hubungan kami ini. Sungguh-sungguh bulan yang menguras energi, tenaga, pikiran, dan—yang terparah—menguras emosi.

Pengkhianatan

Kalian dan sejuta manusia di dunia ini pasti tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang benar-benar kita sayangi. Ya, rasanya sakit, perih, dan sejuta kepedihan lain yang tak dapat diungkapkan lewat kata-kata.

Hatiku bagai disayat sembilu. Peribahasa tersebut amat sangat tepat untuk rasa sesak tak terdefinisikan yang tengah melandaku ini. Saking sakitnya tidak ada yang dapat kulakukan selain menangis. Bahkan keinginan untuk membalas rasa sakit ini pun menguap entah ke mana. Aku hanya menangis, menangis, dan terus menangis. Berharap dia mengerti perasaanku, lalu meminta maaf atas segala kekhilafannya. Tapi tidak! Dia tidak melakukannya. Dia tidak memedulikanku!

Oh Tuhan… aku benci harus merasakan kepedihan ini kembali. Pedih yang kupikir tidak akan pernah kurasakan lagi. Sayangnya saat itu aku justru malah merasakannya, meski disebabkan oleh dua orang yang berbeda.

Aku butuh tempat berbagi

Aku pernah sakit hati, atau mungkin sering. Bukan hanya karena seorang kekasih, namun banyak hal. Biasanya aku memendam perasaan tersebut rapat-rapat, mecoba melupakannya. Jika terlalu sakit dan memungkinkan, maka aku akan membalas untuk rasa sakit serupa. Misal aku dimaki musuh, aku akan balas memaki, tidak peduli seberapa besar ukuran tubuh dan berasal dari keluarga mana dia. Toh aku masih punya keluarga yang akan membela jika terjadi sesuatu di luar ekspektasi nantinya.

Untuk sekali ini aku benar-benar tidak tahan menyimpannya seorang diri. Diiringi isak tangis, aku mengetik SMS untuk orang-orang terdekatku : Tuti, Irfan, Iriana. Kukatakan aku tengah menangis saat ini. Lalu mereka bertanya : “Mvi kenapa?”

“Fian… dia nyakitin aku.” Begitu balasku kemudian.

Begitu mendapat balasanku, Irfan langsung menelepon untuk memastikan bagaimana keadaanku kala itu. Tersendat-sendat, aku memintanya datang ke rumahku. Aku butuh teman. Aku butuh tempat berbagi. Aku sudah tidak tahan lagi!!

“Bapa Ipan teu aya, motor teu aya. Ipan teu gaduh acis,” jawabnya.

“Atuh, Paaaannn…” Aku terus menangis.

Akhirnya, karena mendapati tangisku tak kunjung reda, Irfan menyanggupi untuk datang ke rumahku. Sebelumnya dia berpesan agar aku berhenti menangis, dia akan segera tiba.

Dia datang, menatapku dengan pandangan iba. Ia berkata wajahku sangat pucat. Benarkah aku menangis sejak pagi?

Setelah lama diam, akhirnya mengalirlah ceritaku tentang Fian. Tentang pengkhianatan dan sejuta sakit yang ditimbulkannya. Kuperlihatkan pula SMS-SMS yang mendukung ceritaku.

Tidak ada tanggapan berarti yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berkomentar bahwa Fian adalah cowok terjahat di dunia serta menghimbau agar aku jangan menangis lagi.

Ah ya, ternyata Irfan sudah resmi jadian dengan Rani, adik kelasnya, akhir bulan lalu. Selamat!

Perasaanku sedikit tenang. Tapi begitu dia pulang, aku kembali menangis.

Malamnya, ketenangan hati kembali kurasakan. Aku bersyukur. Iseng-iseng kulihat deretan nama di phone-book. Nomor-nomor teman lamaku masih ada di sana, termasuk seseorang yang pernah kusuka.

Entah bagaimana aku mengiriminya pesan begitu saja.

Tak lama dia membalas ‘siapa?’ Ah, aku lupa sudah berganti nomor seluler. Akhirnya kukatakan siapa diriku. Selanjutnya kami saling bertukar kabar dan berbasa-basi ini itu hingga kemudianentah bagaimana caranyadia bertanya ada apa denganku? Apa aku ada masalah?

“Kok kamu tau aku lagi gak baik?” tanyaku.

“Haha… nggak kok, biasanya kamu gak SMS. Curiga aja kamu lagi galau,” jawabnya.

Secara samar, kuceritakan masalahku. Mengumpamakan orang lain yang mengalami kisahku. Dia berpendapat dan memberi nasihat. Kalimatnya tidak menggurui namun sangat berkesan.

Selagi menunggu balasannya, aku mencari nama lain di phonebook. Mataku terhenti pada satu nama berawalan W, mantan pacarku. Meski sudah tidak memiliki hubungan apa pun lagi, di antara kami tidak ada masalah. Kami baik-baik saja. Maka untuk sekedar berbagi cerita rasanya bukan hal yang salah.

Jariku nyaris mengetik SMS untuknya, tapi kuurungkan. Kupikir sudah cukup membagi kisahku dengan orang lain. Aku hanya butuh tidur demi mengistirahatkan pikiran.

Mungkin ini seperti kisah dalam sinetron yang terlalu banyak kebetulan, tapi ponselku langsung berdering begitu mataku terpejam. Awalnya kukira Fian yang menelepon. Mungkin akhirnya dia menyadari kesalahannya lalu meminta maaf padaku.

Ternyata bukan.

Ketika kutatap display ponsel yang berkedip-kedip, bukan nama Fian yang muncul, melainkan ‘Who??’ Ya, dia. Mantan pacar yang baru saja hendak kukirimi pesan.

Ragu sejenak, kutekan tombol answer dan mulai mendengarkan suara-suara di seberang sana.

Seperti biasa, obrolan pembuka dalam bertelepon pasti sapaan. Karena kami lama tak bertemu, maka bertukar kabar adalah hal  yang selanjutnya kami lakukan.

“Kita udah lama banget gak ketemu, ya. Pengen deh ketemu lagi sama Devi. Banyak hal yang pengen aku ceritain ke Devi,” katanya di tengah perbincangan. Aku hanya menanggapi dengan gumaman samar, dalam hati bertanya-tanya apakah aku ingin berjumpa dengannya juga? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?

Kami bertelepon hingga larut malam. Suaranya menjadi hal terakhir yang kudengar kala kantuk mulai menyerang.

Aku sempat tenang tapi…

Esoknya, ketika mata dan pikiranku terjaga, aku menyadari satu hal : aku benar-benar telah kehilangan Fian.

Hari ini dia memang kembali mengirimiku pesan. Tapi tetap saja rasanya tidak sama. Ia bahkan belum meminta maaf padaku. Itu yang membuatku risau. Tiada penyesalan sedikitpun kah darinya?

Kupikir berdiam diri di rumah hanya menambah beban pikiran saja. Maka kuputuskan untuk memenuhi janjiku kepada Tuti kemarin. Aku akan ke rumahnya.

Apa yang selanjutnya terjadi masih terlukis dengan jelas dalam memoriku, namun aku tidak dapat mengungkapkannya lewat kata-kata. Yang jelas, dari sinilah akhirnya mata hatiku terbuka lebar.

Aku tahu, yang selama ini kurasakan hanya ego. Maksudkuaku memang masih menyayangi Fian, tapi satu hal yang belakangan ini membuatku sakit justru bukan karena aku takut kehilangan rasa sayangnya. Tanpa bertanya, aku tahu dia masih menyayangiku, hanya egonya menolak untuk mengakuiSekali lagi, yang kumaksud ‘egoku’ adalah… yeah, jujur saja, jika akhirnya harus berpisah, aku ingin akulah yang meninggalkannya, bukan sebaliknya (ini rahasia di antara kita, Guys).

Berkat bantuan Tuti, akhirnya hubunganku dan Fian resmi berakhir. Aku sempat galau, belum siap jauh darinya. Namun di sisi lain aku tidak ingin terus-menerus menyiksa perasaanku sendiri. Aku harus bertahan dengan atau tanpa dia.

“Udah, lupain dia. Mvi harus bangkit. Lebih baik sakit banget sekarang tapi cuma sekali, daripada nanti sakitnya berkali-kali,” ujar Tuti memotivasi.

Aku menangis.

“Dia pasti nyesel, Vi. Kamu jangan SMS dia lagi.”

Tuti nyaris menghapus segala hal yang berhubungan dengan Fian di ponselku : SMS, nomor ponsel, dan foto-foto. Aku buru-buru mencegah sebelum hal itu terjadi. Aku sendiri tidak paham. Yang jelas, sejak dulu hingga kini aku tidak pernah dengan sengaja membuang segala sesuatu dari kekasihku, walau itu hanya sebuah pesan singkat.

Aku tidak pernah membuang, tapi mereka (kenang-kenangan itu) terbuang dengan sendirinya. Seperti ponselku rusak total sehingga SMS dari mereka ikut hilang, atau aku lupa menaruh benda dari mantan pacar. Begitulah, untuk kali ini pun aku tidak ingin sengaja membuangnya, biarkan semua hilang dengan sendirinya. Jika hubungan ini memang benar-benar akan berakhir selamanya, biarkan waktu menunjukkan bagaimana cara kenangan antara aku dan Fian dapat terkubur rapat-rapat.

Ketika Tuti tertidur nyenyak di sampingku, pikiranku berkelana kemana-mana. Ada sesuatu yang tengah kususun.

Yeah, tentu saja dia akan menyesal.

Dia memang menyesal…

Sabtu pagi, aku beserta keluarga kecilku berangkat ke luar kota. Dengan berbagai pertimbangan, kupilih untuk hidup tanpa ponsel selama berada di kota orang. Aku ingin tahu, apakah jika kami kehilangan kontak dia akan tetap baik-baik saja? Akankah dia merasa kehilangan?

Kemarin sore dia mengirimiku SMS : ‘Ku menangis tertahan, sadar kau bukan milikku lagi.’ Sengaja tak kubalas. Untuk apa?

Dan malam harinya dia datang ke rumahku!

Oke, dia datang ke rumahku hanya untuk ‘mengambil charger’. Meskipun demikian, gesturnya dengan jelas menunjukkan maksud lain. Dia masih ingin bersamaku. Percayalah, ia bahkan tampak enggan untuk segera pulang, hingga menawarkan diri untuk membeli charger karena milikku rusak.

Seingatku, aku tidak pernah dengan sengaja memintanya kembali kepadaku. Anehnya dia tiba-tiba berkata : gue lagi pengen sendiri dulu, dep. Maaf. Padahal sedetik yang lalu dia sendirilah yang meminta agar kami jangan jadi berpisah.

Dia labil. Rasanya keputusanku untuk pergi sementara waktu bisa membuatnya sedikit berpikir bahwa perasaanku tidak dapat dimainkan seenaknya lagi olehnya.

Sabtu malam aku mulai mematikan ponsel. Akun facebook miliknya kubuka setiap ada kesempatan, ingin tahu akan bagaimana dia saat aku tidak ada.

Selama aku pergi, dia meng-update setidaknya satu status perhari. Padahal dia sudah cukup lama absen menulis status. Isi statusnya berisi kegalauan. Selama 3 hari 4 malam kepergianku, ia pun mengirim 3 pesan ke akun facebookku. Salah satunya berisi ucapan selamat hari jadi ke-5 bulan yang jatuh di tanggal 24 Juli.

Seperti pernah kutulis di postingan sebelumnya, inilah status-statusnya tersebut :

19 Juli => Pergilah kasih kejarlah kebahagiaanmu J (di hari yang sama saat aku ke rumah Tuti)

20 Juli => Status gue teh apaan yah ga jelas L lajang kali :’(

22 Juli => ‘ Hidup Tapi Mati ‘ itulah kata yang tepat untukku tanpamu  :’(

22 Juli => Selamat berbuka puasa Devi Liandani J

23 Juli => Get well soon to me J

23 Juli => H~1 J where are you? :’(

23 Juli => Rumah sepi | Hp sepi | Fb sepi | Twitter sepi | Hati sepi -_-

24 Juli => come on baby comeback J

Sebenarnya aku sudah tidak dapat menahan diri. Membaca statusnya membuatku ingin cepat kembali ke sampingnya lagi. Sayangnya ada hal lain yang juga menjadi pertimbanganku. Well, di balik itu semua ternyata dia… mencoba mendekati beberapa cewek di sosial media facebook. Search, poked, send message <= itulah yang dilakukannya di belakangku.

Aku bukannya tidak menduga kemungkinan-kemungkinan tersebut. Aku bahkan sampai memikirkan kemungkinan yang lebih jauh dari itu. Maka kubiarkan dia meneruskan kegiatannya. Berpura-pura tidak peduli.

Aku tetap hidup, tanpa memberi kabar untuknya.

Baca juga => Selanjutnya (bagian 2)

Hari Jadi Ke-5 dan Sejuta Rintangan di Dalamnya (bagian 2)

Sunday 18 August 2013

Menjumpai seseorang di masa lalu

Cowok yang tengah mengendarai motor putihnya itu tersenyum manis padaku. Aku membalasnya dengan senyum lebar, tak menyangka dapat bertemu dengannya lagi.

“Apa kabar?” tanyanya begitu menghentikan motor tepat di samping kananku. Tangan kanannya terulur.

Aku menyambut uluran tangannya seraya menjawab, “Kurang baik.”

Ekspresi cowok itu sedikit berubah. “Oh ya? Kurang baik kenapa?” katanya masih sambil menggenggam tangan kananku.

“Makin kurus.”

Ia memerhatikanku sejenak, lalu berkata, “Tapi makin lucu.”

“Lucu? Apanya?”

“Kamunya. Makin kayak anak kecil, lucu.”

Tak sadar, seulas senyum terukir di bibirku.

Ia mengajakku pergi ke studio, menemaninya latihan band. Sebuah ajakan yang langsung kuiyakan.

Bagaimana kami bisa bertemu? Entahlah, aku sendiri tidak paham. Pertemuan tanpa rencana ini berlangsung begitu saja. Semua yang terjadi begitu aku putus dengan Fian memang di luar prediksi. Menghilang dari hidup Fian sudah kurencanakan, tapi hal-hal yang terjadi dalam prakteknya bukan bagian dari rencanaku.

Tepat pukul 22.30 dia mengantarku pulang. Perjalanan dengan secuil insiden unik yang membuat kami tertawa bersama-sama.

Aku turun dari boncengannya, mengucapkan serangkaian ucapan selamat tinggal dan hati-hati.

Dan kami kembali berpisah. Benar-benar berpisah.

Tadi kami membicarakan banyak hal. Lebih banyak dari dulu, saat kami masih berpacaran. Kini aku lebih terbuka mengungkapkan apa yang mengganjal di hatiku. Seperti saat aku mengatakan : “Kalo di foto A jelek, cakepan aslinya.” Padahal dulu aku mana berani bilang begitu.

Tawanya langsung meledak. “Bener, kan? Baru aja A ngomong.”

Lewat pertemuan ini pun aku jadi tahu bahwa anggapanku selama ini keliru. Selama ini aku selalu mengira dia suka Laruku, tapi ternyata tidak. Dia hanya suka style ala Jepang, bukan suka Laruku.

Ya ya, aku sudah tahu dia suka sesuatu yang berbau Jepang (anime, manga, dan Ost anime). Cuma kukira karena dia suka J-rocks, maka otomatis dia suka Laruku. Haha, aku salah. Baiklah tak apa. Toh aku suka Laruku bukan karena dia juga suka. Lagu-lagu kerennya yang membuatku suka Laruku.

Sadar atau tidak, topik obrolan kami dominan membahas Fian. Aku bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana ucapannya sesaat setelah ia melihat-lihat foto Fian satu album penuh.

“Cowok kamu itu… siapa tadi namanya?”

“Fian?” jawabku bernada tanya.

“Iya. Dia… tau A Rooo?”

Aku diam.

Melihatku hanya diam, dia meneruskan. “Atau gak tau sama sekali?”

“Tau ko… dulu kan aku pernah bikin status pake nama A. Jadi dia tanya A Rooo itu siapa?”

“Trus kamu jawab apa?”

“Mantan pacar.”

Dia langsung cengengesan gak jelas. Waktu kutanya kenapa, dia berkata, “Nggak. Keceh aja kedengerannya. Oh ya, dia pernah nanya-nanya tentang A Rooo ga?”

“Iya. Nanya A Rooo orang mana…” (aku nyebutin beberapa hal, dan aku lupa apa aja itu).

Kesunyian memenuhi udara. Dia menggumamkan sesuatu. Tidak jelas, aku tidak tahu barusan dia bilang apa.

“Mmmm…” Dia menatapku. “Dia gak nanya yang lain? Kayak misalnya kita pernah ngapain aja?”

Otakku langsung menyimpulkan yang dimaksud dengan ‘pernah ngapain aja’ itu pastilah berhubungan dengan kontak fisik ‘berlebih’ antara laki-laki dan perempuan. “Iya. Aku jawab nggak pernah ngapa-ngapainjujur kan? Kita emang gak pernah ngapa-ngapain kan?”

Ia mengiyakan. “Emang. Kamunya kan pendiem banget. Akunya juga gak berani macem-macem. Aku masih imut banget kayak anak kecil.”

Kami tertawa kompak.

Jujur saja, pertemuan ini terasa sangat menyenangkan. Baru kusadari ternyata aku merindukan saat-saat berada di sampingnya. Rasanya ingin menghentikan waktu barang beberapa jam agar kebahagiaan ini tidak cepat berakhir.

Kala membuka pintu rumah, entah mengapa aku merasa ini adalah pertemuan terakhir kami. Kami tidak akan pernah seperti ini lagi. Inilah yang terakhir.

Mendadak perasaanku diliputi kegamanangan. Ada yang lain di hatiku. Sesuatu yang selama ini luput dari pengamatanku.

Setelah sekian lama baru kali ini aku menyadari seseuatu : aku nyaman berada di sampingnya. Lebih nyaman dibanding saat aku bersama Fian.

Begitu aman di dalam rumah, pintu kembali kukunci. Semua orang sudah terlelap, aku mengendap-endap ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ketika kepalaku telah berada di atas bantal, apa yang baru saja kualami terputar kembali dalam benakku. Lagu The 4th Avenue Café memenuhi udara. Perasaan Déjà vu mengiringi setiap desah napasku. Tahu-tahu badanku sudah berguncang hebat. Aku menangis. Menangis menyesali diri.

Di mana rasa bersalahku? Mengapa aku tidak menyesal telah mengkhianati Fian? Fian yang jauh di sana tengah menanti kabar dariku…

Kembali

Pagi-pagi buta aku pulang ke Purwakarta. Meninggalkan 3 kota yang telah kusinggahi selama kurang lebih 4 hari ini. Meninggalkan kota juga kenangan yang tertinggal di dalammnya.

Aku pulang dengan keyakinan dan tekad baru. Tidak akan kubiarkan semuanya bertambah runyam. Aku pulang demi Fian, demi kelangsungan hubungan kami, demi kebahagiaan kami.

24 Juli 2013, kejutan!!!

“Astagfirullahaladzim!” Seruan terkejut itu keluar dari bibir Fian. Yeah, dia terkejut melihatku tiba-tiba muncul di luar jendela kamarnya.

“Hai,” sapaku pelan berusaha menahan tawa. Air muka Fian saat itu benar-benar lucu.

Fian buru-buru menyingkirkan ponsel dalam genggamannya ke atas kasur. Aku tahu dia baru saja mengirim SMS pada seseorang, cewek tepatnya. Tadi aku sempat melihat delivery report-nya.

Dia menempelkan tangannya di kusen jendela, berhadap-hadapan denganku. “Mau apa lo ke sini?” tanyanya. Pertanyaannya tidak mencerminkan isi hatinya. Dia jelas-jelas tahu maksud kedatanganku ke mari untuk apa dan tentu saja senyumnya menunjukkan dia bahagia karenanya.

“Mau buka bersama, kan?” Jauh sebelum kekacauan ini terjadi, kami memang berencana untuk buka puasa bersama. Bahkan kami sudah menentukan di mana tempatnya. Kami bukannya belum pernah buka bersama sebelumnya. Hanya saja yang ini berbeda. Acara ini untuk merayakan hari jadi kelima kami!

“Emang mau jadi?”

Aku mengangguk.

“Lo kemana aja? Gue galau, jadinya update tiap hari.”

“Aku tau, kok.”

Kami pun berbincang-bincang sambil berdiri. Aku tidak ingat apa saja yang kami diskusikan, semua topik mengalir begitu saja. Akhirnya aku mencoba meminjam ponselnya, ingin tahu seperti apa isi SMSnya dengan cewek-cewek lain itu.

“Jangan, nanti aja.” Ia berusaha mencegah.

“Pinjem, dong. Gue tau ko, elo SMSan sama cewek lain. Di facebook aja kirim-kirim pesan ke cewek, colek-colek cewek.”

Dia tertawa malu. “Ya udah atuh, Dev. Jangan dibahas-bahas lagi. Malu.”

“Pinjem, dong!”

“Jangan, ih. Emangnya lo siapa?”

Oke, aku tahu aku bukan siapa-siapanya lagi. Tapi kukira…

“Oh, ya udah,” ujarku seraya membalikkan badan, siap-siap pergi.

“Lo mau ke mana?” tanya Fian.

“Pulang.”

“Jangan.” Ia mencegahku pergi. Tangannya melingkari bahuku. Ia memelukku dari belakang. “Gue emang SMSan dan inbox-an sama cewek lain. Tapi kalo lo mau balik lagi sama gue, gue bakal tinggalin mereka. Gue bakal setia sama lo.”

Tentu saja aku percaya. Bahkan sebelum ia mengatakannya.

Express Chicken

Di samping Giant ada tempat makan bernama ‘Express Chicken’. Kami makan di sana. Aku memesan ayam goreng, sedangkan Fian memesan nasi goreng. Masing-masing 1 porsi. Fian yang mengantri di konter, aku hanya duduk menunggu sambil browsing.

Aku tidak akan menceritakannya secara rinci. Satu hal yang mesti kalian tahu, aku sangat menikmati makan bersama ini. Sederhana namun menorehkan kesan mendalam.

Selesai makan, Fian mengajak bermain ke Time Zone. Aku mengiyakan cepat. Kami pun berjalan berdampingan menuju lantai 3 Giant. Lengannya merangkulku hangat.

Kami bermain-main di atas sana lumayan lama. Permainan paling asik yang kami mainkan bersama adalah basket ball. Apalagi saat kami tanding skor. Ini aneh, skor akhir kami seri (padahal awalnya aku tertinggal cukup jauh).

Kurang dari pukul 19.30 kami telah kembali ke rumah Fian. Lagi-lagi kami mengobrol seru. Haha, jika dengan orang tersayang, walau hanya mengobrol rasanya akan menyenangkan sekali. Seperti yang tengah kualami saat ini.

“Gue tuh bener-bener sayang sama lo, Dev. Gue gak mau kehilangan lo. Gue emang nge-inbox, colek, dan SMSan sama cewek lain. Tapi ketika ngelakuinnya gue ngerasa hambar. Gak ada feeling sama sekali. Gue gak bisa ngeboongin kalo cuma lo yang ada di hati gue.”

“Tapi kamu sering nyia-nyiain aku.”

Fian menarik tubuhku ke dalam pelukannya. “Aku janji gak akan nyia-nyiain kamu lagi. Aku bakal ngasih yang terbaik buat kamu.”

Aku menghela napas. Segala kejanggalan yang kemarin terasa kini terjawab sudah.

-       Mengapa aku bisa lebih nyaman dengan mantan pacarku daripada Fian? Karena Fian biasa melirik cewek lain setiap jalan bersamaku. Aku tahu itu hanya iseng semata, tapi tetap saja aku risih. Sedangkan mantan pacarku ini, setiap jalan bersamaku pantang melirik cewek lain, walau cewek seksi dan cantik ada di sampingnya dan tengah memerhatikannya.

-       Mengapa aku tidak menyesal bertemu dengan mantan pacarku tanpa sepengetahuan Fian? Karena dia sudah mengecewakanku begitu dalam. Rasanya bermain beberapa jam bersama cowok lain bukan masalah besar dibanding sakit dan kekecewaan yang telah dia torehkan untukku.

-       Mengapa aku kembali pada Fian? Karena aku sangat menyayanginya dan tidak ingin kehilangannya. Berada di sampingnya lagi membuatku sadar bahwa kebahagiaan dan perasaan déjà vu yang kurasakan sesaat setelah bertemu dengan A Rooo itu semu, sesaat. Aku merasa bahagia karena saat itu baru saja dikecewakan Fian. Bertemu dengan A Rooo seperti penawar kekecewaanku.

Selain itu aku ingin membuktikan bahwa kesempatan tetap ada selama dia tidak mempermainkannya dan sungguh-sungguh ingin berubah. Aku tidak ingin dia menyesali setiap tindakan gegabah yang diambilnya untuk yang kesekian kalinya.

Namun satu hal, kesempatan ini pun tak selalu ada. Dia mesti memanfaatkan dan tidak menyia-nyiakannya selagi masih ada. Ini tidak mudah, aku tahu itu. Maka dia mesti belajar dari masa lalu. Aku ingin dia sadar bahwa menyia-nyiakan orang yang tulus menyayanginya hanya akan menimbulkan rasa sakit mendalam dan baru dapat terobati saat ia menemukan orang yang lebih baik dari cewek yang telah disia-siakannya itu (seperti yang dia alami saat menemukan orang kayak aku mungkin, haha.)


Saat mengantarkanku pulang ke rumah, Fian sempat mengatakan beberapa hal. Salah satunya adalah : “Gak tau kenapa dari kemarin gue yakin kalo malem ini lo bakal dateng. Kata gue ‘Devi pasti dateng, Devi pasti dateng.’ Dan lo emang dateng sorenya. Gue seneng banget. Lo selalu ngewujudin apa yang ada di hati gue.”

Sambil mengemudikan motor, tangan kirinya meraih telapak tanganku, menggenggamnya erat.

Malam ini terasa sangat sempurna. Pelukan hangat, rangkulan setiap kami berjalan berdampingan, juga kecupan lembut di kening, membuatku semakin nyaman bersamanya. Aku berjanji akan mengabadikan momen ini dalam memoriku.

Happy 5th months anniversary, Baby J I love you till the end :*

SMS terakhir Fian sebelum aku tidur (no edited) =>

Selamat tidur bebi semoga mimpiin yang tadi yah :D :*
ga nyangka banget ada kamu dijendela bikin kaget tapi seneng luar biasa L :D
makasih buat malam ini yah bebi :*
#ongkos ojek mana :O B-)
good night my favourite girl :*
love you so much baby :*
Happy anniversary 5 month :* :* :*
Bye …



Rabu, 24 Juli 2013


Devi Fiandani