Entahlah, mungkin ini bulan terberat dalam
hubunganku dan Fian. Banyak air mata yang tumpah menuju bulan ke-5 hubungan
kami ini. Sungguh-sungguh bulan yang menguras energi, tenaga, pikiran, dan—yang
terparah—menguras emosi.
Pengkhianatan
Kalian dan sejuta manusia di dunia ini pasti
tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang benar-benar kita sayangi. Ya,
rasanya sakit, perih, dan sejuta kepedihan lain yang tak dapat diungkapkan
lewat kata-kata.
Hatiku bagai disayat sembilu. Peribahasa tersebut amat sangat tepat untuk
rasa sesak tak terdefinisikan yang tengah melandaku ini. Saking sakitnya tidak
ada yang dapat kulakukan selain menangis. Bahkan keinginan untuk membalas rasa
sakit ini pun menguap entah ke mana. Aku hanya menangis, menangis, dan terus
menangis. Berharap dia mengerti perasaanku, lalu meminta maaf atas segala kekhilafannya.
Tapi tidak! Dia tidak melakukannya. Dia tidak memedulikanku!
Oh Tuhan… aku benci harus merasakan kepedihan
ini kembali. Pedih yang kupikir tidak akan pernah kurasakan lagi. Sayangnya
saat itu aku justru malah merasakannya, meski disebabkan oleh dua orang yang
berbeda.
Aku
butuh tempat berbagi
Aku pernah sakit hati, atau mungkin sering.
Bukan hanya karena seorang kekasih, namun banyak hal. Biasanya aku memendam
perasaan tersebut rapat-rapat, mecoba melupakannya. Jika terlalu sakit dan
memungkinkan, maka aku akan membalas untuk rasa sakit serupa. Misal aku dimaki
musuh, aku akan balas memaki, tidak peduli seberapa besar ukuran tubuh dan
berasal dari keluarga mana dia. Toh aku masih punya keluarga yang akan membela
jika terjadi sesuatu di luar ekspektasi nantinya.
Untuk sekali ini aku benar-benar tidak tahan
menyimpannya seorang diri. Diiringi isak tangis, aku mengetik SMS untuk
orang-orang terdekatku : Tuti, Irfan, Iriana. Kukatakan aku tengah menangis
saat ini. Lalu mereka bertanya : “Mvi kenapa?”
“Fian… dia nyakitin aku.” Begitu balasku
kemudian.
Begitu mendapat balasanku, Irfan langsung
menelepon untuk memastikan bagaimana keadaanku kala itu. Tersendat-sendat, aku
memintanya datang ke rumahku. Aku butuh teman. Aku butuh tempat berbagi. Aku
sudah tidak tahan lagi!!
“Bapa Ipan teu aya, motor teu aya. Ipan teu
gaduh acis,” jawabnya.
“Atuh, Paaaannn…” Aku terus menangis.
Akhirnya, karena mendapati tangisku tak
kunjung reda, Irfan menyanggupi untuk datang ke rumahku. Sebelumnya dia
berpesan agar aku berhenti menangis, dia akan segera tiba.
Dia datang, menatapku dengan pandangan iba.
Ia berkata wajahku sangat pucat. Benarkah aku menangis sejak pagi?
Setelah lama diam, akhirnya mengalirlah
ceritaku tentang Fian. Tentang pengkhianatan dan sejuta sakit yang
ditimbulkannya. Kuperlihatkan pula SMS-SMS yang mendukung ceritaku.
Tidak ada tanggapan berarti yang keluar dari
mulutnya. Dia hanya berkomentar bahwa Fian adalah cowok terjahat di dunia serta
menghimbau agar aku jangan menangis lagi.
Ah ya, ternyata Irfan sudah resmi jadian
dengan Rani, adik kelasnya, akhir bulan lalu. Selamat!
Perasaanku sedikit tenang. Tapi begitu dia
pulang, aku kembali menangis.
Malamnya, ketenangan hati kembali kurasakan.
Aku bersyukur. Iseng-iseng kulihat deretan nama di phone-book. Nomor-nomor
teman lamaku masih ada di sana, termasuk seseorang yang pernah kusuka.
Entah bagaimana aku mengiriminya pesan begitu
saja.
Tak lama dia membalas ‘siapa?’ Ah, aku lupa
sudah berganti nomor seluler. Akhirnya kukatakan siapa diriku. Selanjutnya kami
saling bertukar kabar dan berbasa-basi ini itu hingga kemudian—entah bagaimana caranya—dia
bertanya ada apa denganku? Apa aku ada masalah?
“Kok kamu tau aku lagi gak baik?” tanyaku.
“Haha… nggak kok, biasanya kamu gak SMS.
Curiga aja kamu lagi galau,” jawabnya.
Secara samar, kuceritakan masalahku.
Mengumpamakan orang lain yang mengalami kisahku. Dia berpendapat dan memberi
nasihat. Kalimatnya tidak menggurui namun sangat berkesan.
Selagi menunggu balasannya, aku mencari nama
lain di phonebook. Mataku terhenti pada satu nama berawalan W, mantan pacarku.
Meski sudah tidak memiliki hubungan apa pun lagi, di antara kami tidak ada
masalah. Kami baik-baik saja. Maka untuk sekedar berbagi cerita rasanya bukan
hal yang salah.
Jariku nyaris mengetik SMS untuknya, tapi
kuurungkan. Kupikir sudah cukup membagi kisahku dengan orang lain. Aku hanya
butuh tidur demi mengistirahatkan pikiran.
Mungkin ini seperti kisah dalam sinetron yang
terlalu banyak kebetulan, tapi ponselku langsung berdering begitu mataku
terpejam. Awalnya kukira Fian yang menelepon. Mungkin akhirnya dia menyadari
kesalahannya lalu meminta maaf padaku.
Ternyata bukan.
Ketika kutatap display ponsel yang
berkedip-kedip, bukan nama Fian yang muncul, melainkan ‘Who??’ Ya, dia. Mantan
pacar yang baru saja hendak kukirimi pesan.
Ragu sejenak, kutekan tombol answer dan mulai
mendengarkan suara-suara di seberang sana.
Seperti biasa, obrolan pembuka dalam
bertelepon pasti sapaan. Karena kami lama tak bertemu, maka bertukar kabar
adalah hal yang selanjutnya kami
lakukan.
“Kita udah lama banget gak ketemu, ya. Pengen
deh ketemu lagi sama Devi. Banyak hal yang pengen aku ceritain ke Devi,”
katanya di tengah perbincangan. Aku hanya menanggapi dengan gumaman samar, dalam
hati bertanya-tanya apakah aku ingin berjumpa dengannya juga? Jika iya,
mengapa? Dan jika tidak, mengapa?
Kami bertelepon hingga larut malam. Suaranya
menjadi hal terakhir yang kudengar kala kantuk mulai menyerang.
Aku
sempat tenang tapi…
Esoknya, ketika mata dan pikiranku terjaga,
aku menyadari satu hal : aku benar-benar telah kehilangan Fian.
Hari ini dia memang kembali mengirimiku
pesan. Tapi tetap saja rasanya tidak sama. Ia bahkan belum meminta maaf padaku.
Itu yang membuatku risau. Tiada penyesalan sedikitpun kah darinya?
Kupikir berdiam diri di rumah hanya menambah
beban pikiran saja. Maka kuputuskan untuk memenuhi janjiku kepada Tuti kemarin.
Aku akan ke rumahnya.
Apa yang selanjutnya terjadi masih terlukis
dengan jelas dalam memoriku, namun aku tidak dapat mengungkapkannya lewat
kata-kata. Yang jelas, dari sinilah akhirnya mata hatiku terbuka lebar.
Aku tahu, yang selama ini kurasakan hanya
ego. Maksudku—aku memang masih menyayangi Fian, tapi satu
hal yang belakangan ini membuatku sakit justru bukan karena aku takut
kehilangan rasa sayangnya. Tanpa bertanya, aku tahu dia masih menyayangiku,
hanya egonya menolak untuk mengakui—Sekali lagi, yang kumaksud ‘egoku’ adalah…
yeah, jujur saja, jika akhirnya harus berpisah, aku ingin akulah yang
meninggalkannya, bukan sebaliknya (ini rahasia di antara kita, Guys).
Berkat bantuan Tuti, akhirnya hubunganku dan
Fian resmi berakhir. Aku sempat galau, belum siap jauh darinya. Namun di sisi
lain aku tidak ingin terus-menerus menyiksa perasaanku sendiri. Aku harus
bertahan dengan atau tanpa dia.
“Udah, lupain dia. Mvi harus bangkit. Lebih
baik sakit banget sekarang tapi cuma sekali, daripada nanti sakitnya
berkali-kali,” ujar Tuti memotivasi.
Aku menangis.
“Dia pasti nyesel, Vi. Kamu jangan SMS dia
lagi.”
Tuti nyaris menghapus segala hal yang
berhubungan dengan Fian di ponselku : SMS, nomor ponsel, dan foto-foto. Aku
buru-buru mencegah sebelum hal itu terjadi. Aku sendiri tidak paham. Yang
jelas, sejak dulu hingga kini aku tidak pernah dengan sengaja membuang segala
sesuatu dari kekasihku, walau itu hanya sebuah pesan singkat.
Aku tidak pernah membuang, tapi mereka
(kenang-kenangan itu) terbuang dengan sendirinya. Seperti ponselku rusak total
sehingga SMS dari mereka ikut hilang, atau aku lupa menaruh benda dari mantan
pacar. Begitulah, untuk kali ini pun aku tidak ingin sengaja membuangnya,
biarkan semua hilang dengan sendirinya. Jika hubungan ini memang benar-benar
akan berakhir selamanya, biarkan waktu menunjukkan bagaimana cara kenangan antara
aku dan Fian dapat terkubur rapat-rapat.
Ketika Tuti tertidur nyenyak di sampingku,
pikiranku berkelana kemana-mana. Ada sesuatu yang tengah kususun.
Yeah, tentu saja dia akan menyesal.
Dia
memang menyesal…
Sabtu pagi, aku beserta keluarga kecilku
berangkat ke luar kota. Dengan berbagai pertimbangan, kupilih untuk hidup tanpa
ponsel selama berada di kota orang. Aku ingin tahu, apakah jika kami kehilangan
kontak dia akan tetap baik-baik saja? Akankah dia merasa kehilangan?
Kemarin sore dia mengirimiku SMS : ‘Ku menangis tertahan, sadar kau bukan milikku lagi.’ Sengaja
tak kubalas. Untuk apa?
Dan malam harinya dia datang ke rumahku!
Oke, dia datang ke rumahku hanya untuk
‘mengambil charger’. Meskipun demikian, gesturnya dengan jelas menunjukkan
maksud lain. Dia masih ingin bersamaku. Percayalah, ia bahkan tampak enggan
untuk segera pulang, hingga menawarkan diri untuk membeli charger karena
milikku rusak.
Seingatku, aku tidak pernah dengan
sengaja memintanya kembali kepadaku. Anehnya dia tiba-tiba berkata : gue lagi pengen sendiri dulu, dep. Maaf. Padahal
sedetik yang lalu dia sendirilah yang meminta agar kami jangan jadi berpisah.
Dia labil. Rasanya
keputusanku untuk pergi sementara waktu bisa membuatnya sedikit berpikir bahwa
perasaanku tidak dapat dimainkan seenaknya lagi olehnya.
Sabtu malam aku mulai
mematikan ponsel. Akun facebook miliknya kubuka setiap ada kesempatan, ingin
tahu akan bagaimana dia saat aku tidak ada.
Selama aku pergi, dia
meng-update setidaknya satu status perhari. Padahal dia sudah cukup lama absen
menulis status. Isi statusnya berisi kegalauan. Selama 3 hari 4 malam
kepergianku, ia pun mengirim 3 pesan ke akun facebookku. Salah satunya berisi
ucapan selamat hari jadi ke-5 bulan yang jatuh di tanggal 24 Juli.
Seperti pernah kutulis di postingan
sebelumnya, inilah status-statusnya tersebut :
19 Juli =>
Pergilah kasih kejarlah kebahagiaanmu J (di hari yang sama saat aku ke
rumah Tuti)
20 Juli =>
Status gue teh apaan yah ga jelas L lajang kali :’(
22 Juli =>
‘ Hidup Tapi Mati ‘ itulah kata yang tepat untukku tanpamu :’(
22 Juli =>
Selamat berbuka puasa Devi Liandani J
23 Juli =>
Get well soon to me J
23 Juli =>
H~1 J where
are you? :’(
23 Juli =>
Rumah sepi | Hp sepi | Fb sepi | Twitter sepi | Hati sepi -_-
24 Juli =>
come on baby comeback J
Sebenarnya aku sudah tidak
dapat menahan diri. Membaca statusnya membuatku ingin cepat kembali ke
sampingnya lagi. Sayangnya ada hal lain yang juga menjadi pertimbanganku. Well,
di balik itu semua ternyata dia… mencoba mendekati beberapa cewek di sosial media
facebook. Search, poked, send message <= itulah yang dilakukannya di
belakangku.
Aku bukannya tidak menduga
kemungkinan-kemungkinan tersebut. Aku bahkan sampai memikirkan kemungkinan yang
lebih jauh dari itu. Maka kubiarkan dia meneruskan kegiatannya. Berpura-pura
tidak peduli.