1 Oktober 2012 pukul 10:04
Oleh : Devi Liandani
Hembusan lembut angin malam memainkan ikal-ikal kecil rambut Diana. Berkali-kali gadis remaja bertubuh tinggi kurus itu merapatkan jaket demi mengusir hawa dingin yang menjalari tubuhnya. Cukup berhasil, ia merasa lebih hangat sekarang. Kemudian ia berpaling ke kanan, mata coklatnya menatap sayang dua sosok yang duduk tak jauh darinya. Mereka adalah orangtua Diana. Ah bukan, orangtua angkat tepatnya, karena orangtua kandung Diana telah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya dalam sebuah kecelakaan beberapa tahun silam. Kecelakaan yang juga hampir merenggut nyawanya sendiri.
Diana bergidik. Ia selalu ngeri bila mengingat kejadian nahas itu.
“Diana, ayo masuk, Nak! Udahan lihat bintangnya,” kata Deborah, ibu angkat Diana, yang entah sejak kapan sudah berada di ambang pintu dan berangkulan dengan suaminya, Steve.
Diana mengangguk tanpa banyak membantah. Udara di luar memang semakin dingin, ia khawatir jika ia tetap bergeming di situ, maka tidak lama lagi tubuhnya akan membeku seperti es di kutub utara.
“Minggu depan kita lihat bintang bersama-sama lagi,” tambah Steve sebelum menutup pintu.
Menatap bintang. Ya, mungkin sebagian dari kalian menganggap aneh pada kegiatan satu ini, tapi tidak bagi Diana dan keluarganya. Ia—baik bersama orangtua kandung maupun orangtua angkatnya—sangat menyukai bintang. Mereka selalu menanti saat langit dalam keadaan cerah kemudian bersama-sama saling berangkulan menatap bintang di alam terbuka. Sangat menyenangkan.
Namun, bintang jugalah penyebab kematian orangtua Diana ...
***
Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak 30 menit yang lalu tapi Diana masih sibuk menatap gelas uji coba di labolatorium kimia sore itu. Ia seorang diri di sana, tidak ada yang menemaninya. Atau mungkin Diana yang tidak ingin ditemani. Keningnya berkerut dalam tanda konsentrasi. Keringat dingin mengucur deras seiring berjalannya proses pengerjaan ramuan yang sedang digarapnya kali ini.
Harus berhasil, tekadnya dalam hati.
***
“Pulang malam lagi?” tagur Deborah begitu Diana mendaratkan pantatnya di kursi ruang tamu.
“Maaf,” ujar Diana datar. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit-langit. Pikirannya melayang pada kejadian di labolatorium tadi. Entah apa yang salah, namun lagi-lagi hasil uji cobanya gagal. Gagal. Ya, gagal.
“Ya udah, sekarang kamu mandi dulu, terus nanti ke ruang makan, ya? Kita makan malam bareng,” kata Deborah sambil berlalu dari hadapan Diana.
Makan malam bersama? Diana tersenyum kecut. Dulu, hampir setiap hari ia makan malam bersama kedua orangtua kandungnya. Makan malam yang hangat dan penuh canda tawa. Dan sekarang? Ia dan keluarga barunya memang tidak jarang makan malam bersama. Akan tetapi, tetap saja rasanya berbeda. Tidak akan pernah sama sampai kapan pun juga.
***
Suapan terakhir mengalir dengan mulus memasuki kerongkongan Diana. Sekarang piringnya sudah licin tak bersisa makanan sedikitpun. Deborah dan Steve yang sudah lebih dulu menghabiskan makanannya, beralih pada hidangan penutup.
“Gimana sekolah kamu, Nak? Lancar?” tanya Steve di sela kesibukannya mengunyah buah apel.
“Baik.”
“Mata kamu bagus,” gumam Deborah namun masih terdengar cukup jelas di telinga Diana. Gadis itu menatap meminta penjelasan.
“Yah, mata coklat kamu mengingatkan Mama sama seseorang.”
“Siapa?” tanya Diana.
“Diana.”
“Diana?” Diana menunjuk dadanya sendiri. Bingung.
“Haha ... bukan kamu, Nak,” ujar Deborah. “Diana itu nama anak kandung Mama dan Papa. Seandainya dia masih hidup, pasti sekarang dia udah sebesar kamu.”
“Meninggal?”
Deborah mengangguk. Sedetik kemudian, matanya sudah dibanjiri air mata. Steve meraih pundak istrinya dengan sigap lalu membisikkan sesuatu di telinga Deborah. Deborah menggeleng linglung, tangisnya pecah di bahu Steve.
“Sebenarnya Papa udah gak mau mengingat kejadian ini lagi, tapi ya ... agar kamu tidak merasa dibohongi, jadi Papa akan menceritakan semuanya sama kamu.”
“Apa?”
Steve menghela napas panjang kemudian berkata, “Kami minta maaf karena dulu pernah membohongi kamu. Waktu kami mengadopsi kamu di panti asuhan, kami bilang kami gak punya anak padahal sebenarnya kami punya. Anak kami meninggal dalam kecelakaan di jalan menuju puncak tiga tahun yang lalu. Kami selamat sedangkan Diana tidak, ia meninggal di tempat kejadian. Deborah benar-benar terpukul. Dia ...”
Steve masih terus bercerita panjang lebar namun hanya sebagian kecil yang masuk ke telinga Diana. Gadis itu sudah tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Pikirannya berkelana kemana-mana.
***
“Berhasil,” bisik Diana sambil menuangkan cairan berwarna hitam pekat ke dalam gelas ukur. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Tidak boleh ada kelalaian sedikitpun.
Seseorang membuka pintu labolatorium kimia, tempat Diana berada. Diana tidak menyadari kehadiran orang itu sama sekali, ia terlalu berkonsentrasi pada pekerjaannya. Orang itu berjalan mendekati Diana, perlahan-lahan.
“Kamu lagi ngapain?”
Diana bergeming.
Tidak sabar, orang itu menepuk bahu Diana cukup keras. Usahanya berhasil, Diana menoleh padanya dan bertanya ada apa. Orang itu mengulangi pertanyaannya.
“Ini.” Diana mengangkat botol kecil dalam genggamannya. Botol berisi cairan bening hasil racikannya selama seminggu ini.
“Itu apa?” tanya orang itu heran.
“Lumpuh.”
“Maksud kamu? Apanya yang lumpuh?”
Diana melengang pergi tanpa menjawab pertanyaan orang itu. Seringai lebar tampak di wajah manisnya, membuat ngeri siapapun yang melihatnya.
***
Deborah menuangkan sayur asem ke atas piring Diana. Disusul tempe, tahu, jengkol, dan ikan asin. Semua itu adalah menu kesukaan Diana. Sedikit aneh memang. ”Diabisin, ya.”
“Papa?” tanya Diana, menanyakan keberadaan ayahnya.
“Papamu masih di kantor. Dia baru pulang tengah malam nanti.”
“Oh. Boleh aku bilang sesuatu?”
Deborah menatap takjub, baru kali ini ia mendengar Diana berbicara lebih dari satu kata. “Ya?”
“Apa pesan terakhir Mama?”
***
“Apa pesan terakhirmu, Deborah?” desis Diana sinis. Tangannya memainkan sebilah pisau tajam, siap menerkam setiap saat.
“APA-APAAN KAMU, DIANA?!” jerit Deborah berusaha bangkit. Tidak bisa. Ia tidak bisa bergerak sama sekali padahal tidak ada suatu apapun yang membelenggunya. Tubuhnya mendadak lumpuh.
Diana bertolak pinggang. “Katakan sebelum aku menghabisimu.” Suaranya datar tanpa emosi. Tapi justru nada seperti inilah yang menunjukkan kekejaman seseorang. Deborah mengerut di atas kursinya, tidak bisa kabur.
“Katakan!” bentak Diana diiringi suara tamparan keras yang dilayangkannya ke pipi Deborah.
“Akh!” pekik Deborah. “Kamu kenapa Diana?!”
“Namaku Liana. Ibuku yang memberikan nama itu buat aku. Jadi kamu jangan pernah mengubahnya.”
“Apa mau kamu ... Liana?”
Diana menyeringai lebar. “Aku mau melihat kamu menderita.”
“Kenapa? Apa salahku?” pekik Deborah putus asa. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi, semua ini terlalu mengejutkan baginya.
“Kamu masih tanya apa salah kamu!?” bentak Diana. “Salah kamu adalah kamu dan suamimu udah membunuh ayah dan ibu aku. Sebagai balasannya kamu harus menderita!”
“Kami gak membunuh siapapun!”
Pandangan Diana berubah nanar. Emosinya meluap ke permukaan. Ia menatap Deborah seolah melihat binatang menjijikan. “Kau tau, seandainya malam itu mobil sialanmu tidak salah jalur, mobilku pasti tidak akan jatuh ke jurang. Dan orangtuaku tentu masih hidup sampai saat ini. Tapi ...”
Deborah terenyak. Sekarang ia mengerti apa maksud Diana. Ya, malam itu arus di jalur menuju puncak padat tapi di arah sebaliknya lengang, maka Steve menjalankan mobilnya di jalur sebelah. Namun siapa sangka saat ia membelok ternyata di jalur itu ada mobil yang tengah melaju kencang menuju ke arahnya. Steve tidak bisa menghindar. Ia membanting stir hingga mobil menabrak pagar pembatas. Deborah menutup matanya, sudah memastikan mereka akan mati saat itu juga. Mobil terombang-ambing ke sana-ke mari menuruni jurang serta menghantam apa saja yang dilaluinya. Dalam hati Deborah tak henti memanjatkan do’a agar mereka diberi keselamatan. Tak lama, guncangan berakhir. Perlahan, wanita itu membuka mata. Ia terperanjat. Beberapa meter darinya, tampak sebuah mobil meledak dan seketika itu juga api langsung menjilati seluruh bagian mobil. Namun ia tidak sadar ada seorang gadis kecil yang merangkak di tengah-tengah kegaduhan di bawah jurang tersebut. Gadis kecil bermata coklat yang menatapnya tajam.
“Sudah ingat?” Suara datar Diana mengusik lamunan Deborah.
Hening.
Diana berjalan menghampiri Deborah. Diraihnya lengan lumpuh Deborah lalu ia menyuntikkan sesuatu di situ. “Ini supaya kamu gak menjerit-jerit alay dan menarik perhatian tetangga.”
“ ... “ Suara Deborah lenyap.
Diana merogoh pisaunya dari dalam saku celana kemudian mengacungkannya tinggi-tinggi. Deborah terkesiap. Rasa takut dan cemas mulai menjalari tubuhnya.
“Deborah, seharusnya malam itu menjadi malam paling membahagiakan bagi kami karena kami telah melihat bintang di alam bebas. Tapi kau menghancurkan semuanya! KAU PENGHANCUR!”
Perlahan Diana menurunkan pisaunya dan pada jarak 2 meter ia melayangkan pisaunya dengan cepat lalu menusuk pergelangan tangan Deborah kasar. Wanita itu menjerit tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Diana tersenyum, ia menarik kembali pisaunya secara paksa. Darah segar berceceran di atas lantai.
Diana melanjutkan dengan mengiris lengan atas Deborah. Mengulitinya sampai tulangnya mencuat ke permukaan. Warna putih tulang dan merah darah berbaur menjadi satu.
Tangan Deborah diletakkan di atas meja. Pisau pemotong daging melayang menghantam jari wanita nahas tersebut. Deborah meringis saat melihat jari-jarinya terpangkas rata. Rasa perih menjalari seluruh tubuhnya.
Diana menarik lidah Deborah. Tentu saja ia tidak akan membunuh Deborah cepat-cepat. Dia masih ingin bersenang-senang. Perlahan, diirisnya lidah tersebut dengan cutter tajam yang sudah diasahnya tadi pagi. Ia menikmati proses pemotongan lidah yang berjalan lambat ini. Pasti rasanya sakit sekali. Sekarang lidahnya sudah terpotong setengah.
Deborah menangis terisak, tubuhnya berguncang kaku. “Aku jadi iba padamu,” gumam Diana datar. “Sini, biar kuhapus air matamu!” Ia menyentuh wajah Deborah lembut.
“Aaaaaaaakkkkkkkkkkkkkhhhhhhhh ...”
Diana mencongkeli mata Deborah dengan brutal. Garpu makan dijadikan alat pembunuh. Setelah lepas dari tempatnya, mata itu menggelinding di atas lantai. Saling bertubrukan satu sama lain.
Tergesa, Diana mengambil martil di tempat perkakas yang telah diambilnya dari dalam gudang, dan menghantamkannya ke rahang Deborah sehingga giginya rontok sebagian. Lagi, darah segar mengucur dari seluruh permukaan wajahnya. Sebagian darah terciprat ke baju Diana.
Deborah sudah tidak berdaya. Sekarang Diana akan mengakihiri semuanya.
Dalam hati Diana menghitung, 1, 2, 3 ...
Kapak melayang menghantam leher Deborah. Sangat keras hingga kepalanya terpental beberapa meter dan mendarat tepat di depan pintu kamar mandi. Mata dalam kepala itu menatap kosong ke atas langit-langit. Kosong tanpa bola mata.
Tubuh tak bernyawa Deborah dipotong-potong hingga berukuran sangat kecil oleh Diana. Kemudian ia memasukkan dagingnya ke dalam panci sayur asem. Ia akan memasak daging ini besok.
Diana menarik napas lega. Tugasnya sudah berakhir sekarang. Ayah dan ibunya sudah bisa tenang.
Tapi ... rasanya ia melupakan sesuatu. Apa itu?
“Diana.”
Diana menoleh. Ah sial, ia melupakan Steve.
Steve beringsut maju dengan kapak dalam genggaman, Ia menyeringai. “Ayo kita makan daging Deborah bersama-sama.”
0 comments:
Post a Comment