Kalian yang
memiliki novel Honey Money pasti pernah membaca atau setidaknya melirik ‘Catatan
Penulis’ yang disimpan di bagian akhir novel. Bukan hanya pernah, aku pribadi
sampai berkali-kali membaca bagian tersebut. Be honest, apa yang disampaikan
Debbie benar-benar persis seperti yang kurasakan, kualami, kuhadapi.
Seperti Debbie, aku
pun pernah jatuh cinta dalam-dalam pada sosok ‘Rifaldi’.
Ia asli, nyata,
bukan tokoh imajiner. Ia sungguh sempat hadir dalam hidupku, mengisi kehampaan
hatiku, membuatku jatuh cinta dalam-dalam lalu akhirnya menghilang begitu saja.
Aku bingung, kacau,
hilang arah.
Mengapa, mengapa,
dan selalu mengapa pertanyaan yang bergaung dalam otakku.
Mengapa ia datang
di kehidupanku?
Mengapa ia
membuatku merasa nyaman?
Mengapa ia
membuatku jatuh cinta dan terobsesi?
Lalu,
Mengapa ia pergi?
Tanpa pesan, tanpa salam.
Mengapa ia
meninggalkan perih di hatiku?
Bak disayat sembilu.
Mengapa, mengapa ia
hadir bila akhirnya pergi kembali?
Kita berbeda, tapi aku tidak keberatan.
Saat itu
aku kelas 10 dan dia kelas 11. Aku di SMA, dia di SMK. Aku di sekolah
negeri, dia di swasta. Aku perempuan dan dia laki-laki. Aku tinggal di
Pasawahan, dia di Simpang. Kami sangat bertolak belakang tapi aku tidak pernah
mempermasalahkannya sama sekali. Aku menerima dia apa adanya!
Aku selalu sabar
mengadapinya.
Aku sabar menanti
SMS-nya yang hilang-timbul. Aku sabar hanya berteman dengannya tapi tidak
dengan cowok lain. Aku sabar menunggu ia menyatakan komitmen ‘serius’ di antara
kami yang tidak jua kudengar hingga ia pergi meninggalkanku.
Mungkin aku sakit
dan tidak bisa memaafkannya begitu saja, namun entah mengapa aku tidak pernah
melupakan detail tentangnya.
Aku ingat saat
berbicara bibirnya akan tertarik ke kanan beberapa senti, khas cowok keren. Ia selalu
mengenakan kemeja, jam tangan di sebelah kiri, dan sepatu keds setiap bertemu
denganku. Motornya matic berwarna merah, dengan helm hijau. Ia berasal
dari Bandung, di tempat asalnya ia biasa dipanggil Edo. Waktu itu merk ponselnya Nokia.
Aku ingat!
Saat ia pergi tanpa
alasan, dan tak bisa kuhubungi lewat apa pun, aku menangis sejadi-jadinya. Kukunci
pintu kamar rapat-rapat, memutar musik keras-keras, dan mulai histeris. Selalu mengapa,
mengapa, dan mengapa yang terngiang dalam benakku!
Seminggu kemudian
kudengar ia telah memiliki kekasih. Aku tidak bisa berbohong pernah mencari
tahu siapa dan seperti apa cewek yang akhirnya menjadi pacarnya itu. Cantik, kaya,
modis. Sudah kuduga.
Dua minggu penuh aku
meratapi kepergiannya. Tak mampu menahan tangis setiap mendengar lagu Kimi Sae
Ireba diputar. Melamun sampai tak tahu hari apa ini, sudahkah aku mandi,
mengapa aku tidak lapar? Saat itu aku nyaris hilang akal, gila. Yes, love is
blind!
Pernahkah aku
seperti ini? Maksudku, ini adalah kali pertama aku mencintai seseorang yang bahkan baru kukenal selama beberapa saat sampai sedalam ini. Dia bahkan belum menjadi
pacarku, namun rasa perih saat ditinggalkan benar-benar tak tertahankan.
Aku merenung, memikirkannya,
mencoba membuat novel dan cerpen tentangnya. Aku menulis diiringi
linangan air mata. Dadaku amat sesak, bernapas pun sulit. Segala yang terbayang
di benakku hanya Rifaldi, Rifaldi, dan Rifaldi.
Setahun kemudian
aku merasa berhasil berhenti memikirkannya. Tiga bulan setelah kepergiannya, ia
memang kembali menyapaku di facebook. Menanyakan kabarku layaknya sepasang
sahabat yang lama tak jumpa. Mungkin ia biasa saja saat melakukannya, tapi aku
sangat bahagia! Sayangnya, setelah itu ia kembali menghilang lalu datang lagi
sebulan kemudian. Saat itulah momen yang kutunggu-tunggu tiba, saat ia menyatakan
cinta padaku, ingin menjadi pacarku.
Dulu aku memang
mengharapkan itu terjadi. Tapi tidak setelah ia menarik-ulur hatiku tanpa dosa!
Maka aku memutuskan pergi dari kehidupannya. Seperti ia telah meninggalkanku
begitu saja. Walaupun sejujurnya, aku masih menyayanginya. Sedikit.
Kemudian Fian
datang, seperti cowok-cowok lain yang berlalu-lalang di kehidupanku. Aku meresponnya
namun tidak berharap lebih. Aku menerima cintanya namun tidak dengan hatiku,
aku belum bisa jatuh cinta padanya. Tapi aku tetap mencoba. Yakin suatu hari
nanti dapat mencintai cowok yang belum apa-apa sudah berkorban untukku dengan
sepenuh hati.
Namun suatu malam tiba-tiba
aku kembali membaca SMS-SMS jadul Rifaldi yang berisi candaannya, basa-basinya,
serta permintaannya untuk menjadi pacarku. SMS lama yang tidak pernah kuhapus. Mendadak
aku meragu. Rasanya mustahil mencintai Fian sementara hatiku masih terperangkap
di masa lalu. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan hubungan dengan Fian
begitu saja.
Menurut pengakuannya,
saat itu Fian dilanda kebingungan atas tindakan sepihakku. Tapi aku tidak
peduli. Aku paham betul hati tidak bisa dipaksakan. Aku tidak mencintai Fian, lantas
untuk apa aku berpacaran dengannya!? Mungkin itu juga yang dulu Rifaldi
rasakan. Ia tidak mencintaiku, jadi untuk apa terus bersamaku?
Hasil pemikiran
puluhan kali serta kegigihan Fian untuk membina hubungan kembali membuatku
memutuskan untuk try again. Dan kau tahu, jika dulu aku tak berani
mencoba, kupikir aku tidak akan pernah merasakan kebahagiaan ini, rasa cinta
ini, rasa nyaman ini.
Aku ingat, tanggal 21
Februari 2013 itu, saat kami berada di rumah Niffa dalam rangka double date,
Fian akhirnya memaksaku benar-benar melupakan Rifaldi. Ia hapus seluruh SMS
di ponselku hingga 0. Ia hapus seluruh curhatan tentang Rifaldi di catatan di
ponselku. Pokoknya segala sesuatu yang berhungan dengan Rifaldi, Fian hapus!
Semakin lama, aku
makin nyaman dengannya. Rupannya kami satu sifat, satu pemikiran, satu kenakalan,
satu hati.
Tak terasa 15 bulan
berlalu terhitung sejak 24 Februari 2013. Kuharap kami dapat terus bersama
selamanya. Aamiin.
#N.B : Januari lalu
Rifaldi kirim chat padaku, katanya sekarang ia bekerja di Hotel Marbela di Dago
Pakar. Dan kabarnya ia punya cewek baru, cewek keempat sejak pertama aku
mengenalnya. Pokoknya selamat, cepet tunangan ya! :D