Cerpen : Lavia ~ By Alexandra Leirissa

Saturday, 29 March 2014
Suatu malam remang-remang. Di sebuah jalan raya yang sepi. Tepat pukul sembilan lewat tujuh menit.

Dari balik kaca mobil, Dio membelalakkan mata. Astaga! Apa tak salah lihat nih? Bidadari turun dari mana itu?

Di bawah sinar temaram lampu kuning, di tepi jalan nan sepi itu, berdiri sesosok gadis di keremangan. Tampak begitu memesona.

Tanpa berpikir dua kali, Dio membanting setir Panther hijau tuanya. Secepat itu pula kakinya menginjak rem kuat-kuat.

CIIITTTT!!!!!

Gadis itu tersentak. Menoleh dengan mata terbelalak.

Ooh… My God! Dia benar-benar cantik! pikir Dio. Dan saat dia menurunkan kaca mobil, rasanya pikirannya sudah tak bisa lurus lagi.

“Hai. Malam-malam begini, kok sendirian?” sapa Dio dengan mata berbinar-binar.

Gadis itu menatap Dio dengan saksama. Hati Dio semakin gencar memuji makhluk memesona di hadapannya. Ya. Karena memang gadis di hadapannya itu sangat cantik. Rambutnya hitam lurus hingga melewati garis pinggang. Matanya bersinar lembut dan begitu dalam, memberikan pijar mengesankan yang misterius. Ditambah kulitnya yang putih bersih, dagu lancip yang menawan, serta bibir berbelah, dia sungguh tampak sempurna.

Dio menelan ludah. Ini benar-benar malam keberuntungannya! Tanpa ada keraguan, dibukanya pintu mobil. Dio melangkah turun.

“Namaku Dio. Kamu?” Dio mengulurkan tangan kanannya.

Sepasang mata itu memandang tangan Dio sejenak. Kemudian beralih pada wajah Dio.

Entah mengapa, Dio merasa ada keganjilan yang dipendarkan gadis itu untuknya. Dio sedikit ngeri. Hei! Jangan berprasangka! bisik hatinya.

“Lavia,” jawab gadis itu lirih, tanpa mengacuhkan tangan Dio di hadapannya.

Bahkan suara gadis itu pun begitu halus dan merdu. Dio menurunkan tangan kanannya yang terulur sia-sia. Tak apa! Jangan pesimis! bisiknya penuh semangat.

“Mau pulang?” tanyanya seramah mungkin.

Gadis itu mengangguk.

“Nunggu dijemput, ya?” pancing Dio.

Sekali lagi gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang begitu tipis dan mengena. “Dijemput angkot.”

Dio kian terpesona.

“Aku baru saja selesai les di bimbingan belajar itu…” Gadis itu menunjuk sebuah bangunan bimbingan belajar yang tak jauh dari tempat itu.

Dio manggut-manggut. Otaknya berpikir cepat. “Angkot jarang lewat di tempat ini, tau!” Ia mulai menjalankan rencananya.

Gadis jelita itu menatap ke ujung jalan yang sepi dengan wajah sedih.

“Gimana kalau kuantar pulang?” tanya Dio hati-hati.

Jangan ditolak! Jangan ditolak! hati Dio berharap setengah mati.

Gadis itu tampak ragu-ragu.

“Mau, ya? Aku nggak gigit kok!” desak Dio basi. Sedikit cemas kalau angel di depannya ini akan menggeleng.

“Aku nggak mau merepotkan.”

“Nggak! Tentu aja nggak! Sama sekali nggak akan merepotkan!” sergah Dio tergesa-gesa.

Sejenak lagi sosok elok itu tampak menimbang-nimbang.

Dio memanjatkan sejuta doa dalam hati. Matanya tak berani berkedip. Seolah takut kalau sampai tak melihat seandainya gadis itu mengangguk.

“Baiklah…” Gadis itu pun tersenyum.

Tiba-tiba Dio merasa bunga-bunga merekah di sekelilingnya. Senyum gadis itu… ck ck ck… wuihhh…. Alangkah memesona….

***

“Dio! Gue serius! Jangan main-main sama tuh cewek deh!”

Dio mengerutkan keningnya kurang suka. Wajah Bagas tampak sedikit memucat di hadapannya. “Eeh, lo jangan sirik gitu dong! Mentang-mentang gue yang ketiban rezeki, kenalan sama cewek cuaaantiiik!”

“Gue serius, man!” tegur Bagas semakin keras kepala.

“Tapi kenapa?” balas Dio tak mau kalah.

Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gelisah. “Soalnya… abang gue sempet juga mengalaminya.”
Dio langsung membelalak tak menyangka. “Bang Ari juga kenal sama angel gue?”

Bagas mengangguk berat. “Kejadiannya sama persis. Abang gue ngelewatin jalanan itu di suatu malam, dan ketemu cewek yang cuaantiiik banget lagi berdiri di bawah sinar lampu jalanan sepi yang remang-remang itu…”

Dio langsung mendengus tak rela. “Mungkin aja cewek cantik lain.”

“Namanya Lavia,” sahut Bagas sambil menatap Dio lurus-lurus.

Kali ini Dio tertegun.

Bagas tersenyum puas, menyadari bahwa sekarang dia berhasil membuat Dio tertarik pada ceritanya. “Tuh cewek cantik nggak nolak diantar pulang. Jelas aja abang gue kegirangan.”

“Terus?”

“Merasa mendapat angin, beberapa hari kemudian Bang Ari datang ke rumahnya. Tapi lo mau tau apa yang terjadi?”

“Apa?” tanya Dio berdebar.

“Katanya, cewek bernama Lavia itu telah lama meninggal! Meninggal karena ketabrak mobil waktu pulang dari tempat lesnya…!”

Dio melotot. “Maksud lo, angel gue itu setan?”

Bagas tersenyum pahit. “Yah…., silakan simpulkan sendiri!”

“Nggak mungkin!” seru Dio marah. “Elo pasti bohong!”

“Bohong gimana?! Abang gue yang cerita kok!”

“Kalo gitu, abang lo yang bohong!”

Bagas menatap sahabatnya dengan sedikit kesal. “Dio, gue kan cuma berusaha mengingatkan elo.”

“Mana ada setan secantik itu?!”

Bagas menghela napas putus asa. “Oke… Gini deh! Kalo elo nggak bisa percaya, gimana kalo kita buktikan aja? Elo kan udah tau rumahnya. Coba aja kita kunjungi dia.”

Dio tercenung. Terdiam. Bagaimana kalau gadis itu benar-benar setan? Bisa-bisa…

“Takut?” sindir Bagas dengan senyum mengejek.

Ego Dio tergelitik. Segala kekhawatirannya pun berguguran. “Takut? Takut apa?” tantangnya merasa dihina.

“Jadi berani nih?”

Dio mencibir. “Gue nggak mau buang-buang waktu. Langsung pulang sekolah nanti, kita berdua ke sana!” sumringah Dio.

Bagas melotot. “Eh! Eh! Eh! Kenapa gue jadi dibawa-bawa?” protesnya.

“Elo kan juga harus melihat bukti bahwa Lavia itu manusia! Bukan setan! Kalo nggak, ntar elo nyangka gue bohong, lagi!” sahut Dio dengan nada memaksa. Padahal, kalau cuma sendirian, tentu aja gue ngeri, semprul!!! gerutunya dalam hati.

“Tapi…” ujar Bagas ragu.

“Takut?” Ganti Dio yang mengejek.

“Takut?” dengus Bagas memasang tampang belagu. “Jadi jam berapa kita berangkat?”

***

Dengan tangan gemetar, Dio menekan tombol bel listrik di sisi kiri pagar rumah itu. sementara Bagas sudah mengkeret di balik punggung Dio, mencari perlindungan dari ketakutan yang membuat detak jantungnya tak punya frekuensi yang jelas lagi.

Rumah itu terlihat sangat sederhana dan asri. Berpagar rendah yang dicat putih dengan celah-celah lebar.
Dio sibuk menenangkan hatinya. Mana mungkin ada setan punya rumah begini indah dan ceria? Pasti salah. Bagas pasti salah. Tak ada setan di rumah ini. Apalagi kalau Lavia yang jadi setannya.

Ketika terdengar suara kunci pintu depan mulai dibuka, jantung Dio terasa menggelepar tak keruan. Tiba-tiba saja dia berpikir untuk minggat dari tempat itu, saat itu juga.

“Dio, kita pulang aja yuk,” desis Bagas yang tak kalah ketakutan.

Dio merasa kakinya nyaris tak mampu berdiri tegak lagi. Hampir dia mengangguk dengan penuh persetujuan. Tapi…

Pintu itu terkuak, dan menampilkan makhluk jelita di baliknya. Lengkap dengan rambutnya yang panjang hingga melewati pinggang, kulitnya yang putih bersih, dan dagu lancipnya yang menawan….

Dio membelalak. Lavia!

Dilihatnya Bagas sampai terlongo-longo melihat angel-nya itu. Lalu Dio mendengar napas lega yang ditariknya sendiri.

Ternyata Lavia bukan hantu! Ah, ya jelas bukan!!! Mana mungkin gadis secantik itu hantu gentayangan? Lavia itu manusia. Manusia yang tercipta dengan sangat menawan. Ya! Jelas-jelas manusia. Buktinya dia berdiri di sini. Dan kakinya pun tidak mengambang! pikir Dio benar-benar lega.

Dio menoleh ke arah Bagas. Disunggingnya sebuah senyum lebar penuh kemenangan. Tahu rasa dia! Belaga menakutinya dengan cerita misteri picisan. Padahal Bagas sendiri malah terbengog-bengong dengan mulut menganga lebar dan mata nggak bisa berkedip gara-gara menyaksikan gadis yang dituduhnya sebagai setan.

“Setan gentayangan di siang bolong?” sindir Dio nyinyir.

Bagas tak peduli. Masih takjub melihat si cantik jelita yang melangkah mendekat. Pantas saja Dio memberinya gelar angel! batin Bagas terpesona.

Lalu, dengan penuh semangat dan pede berlebihan, Dio memandang gadis yang kini berdiri di balik pagar di hadapannya. Gadis itu tengah menatap mereka, tanpa berkata-kata.

“Maaf nih, aku mengganggu. Aku dan nih cowok bego kebetulan lagi lewat daerah sini. Boleh kan kami mampir sebentar?” dusta Dio riang.

Sepasang alis hitam gadis itu bertaut. Sayang, Dio tak sempat menyadari.

Dio menoleh kea rah Bagas dengan sumringah. Lalu dengan penuh keyakinan dia berkata, “Bagas, kenalin dulu. Ini…”

“Kalian siapa?” suara halus itu menyela tegas.

Dio terenyak. Dengan cepat dia menoleh ke wajah cantik yang tadi bertanya. Lho, kok?

Gadis itu memandang ke arahnya dengan raut kebingungan. “Kalian ini sebenarnya siapa?” ulangnya.

“Lavia? Masa sudah lupa sama aku? Aku kan baru nganterin kamu pulang les tadi malam…” Dio kebingungan.

Detik itu juga, gadis itu membelalakan matanya. Napasnya tertahan tiba-tiba. Seolah sesuatu yang pekat menjerat kerongkongannya. “La… Lavia?” desisnya. “Kalian bertemu Via?”

Bagas jadi tak mengerti. Apalagi Dio. Tapi prasangka buruk mulai bergema.

Gadis itu menarik napas dalam dan panjang. Wajahnya tampak murung. “Rupanya dia melakukannya lagi…,” terdengar gadis itu mengeluh lirih.

“Sebenarnya ada apa?” akhirnya Bagas tak tahan untuk tetap diam.

Gadis itu tersenyum pahit. “Namaku Lania. Lavia itu kakak kembarku.”

“Ka… kakak kembar?” Dio menekan debar-debar buruk yang memekakkan perasaannya. Diliriknya Bagas. Tapi wajah sahabatnya itu bahkan sudah lebih dulu memucat.

“Via… Via sudah meninggal… Kira-kira dua tahun yang lalu…” Gadis itu memandang Bagas dan Dio penuh luka. “Dia meninggal karena tertabrak mobil ketika pulang dari tempat lesnya.”

Dio merasa segalanya mulai berputar. Jadi… Jadi yang tadi malam itu… Yang berkata baru pulang dari les di sebuah bimbingan belajar…?

Bagas membelalak. Sementara Dio merasa keringat dingin menetes pelan-pelan.

“Sebelum ini, Via memang pernah melakukan hal semacam ini. Tapi nggak kusangka dia akan mengulanginya lagi…”

Bagas makin memucat. Sementara Dio tetap terperangah.

Lavia ternyata benar-benar setan?

“Kaa… Kami pppeeerrmissssi…” Tangan Bagas yang bergetar mencekal tangan Dio yang gemetar. Menyeretnya ngibrit tunggang-langgang dari tempat itu.

***

Tentang hati Lania.
Suatu malam remang-remang. Di sebuah jalan raya yang sepi. Tepat pukul sembilan lewat tujuh menit.

Aku berdiri di bawah lampu kuning yang dramatis. Di antara keremangan malam yang penuh misteri.

Kikikan geli di hatiku kembali berkumandang. Terkenang akan dua cowok tolol pengecut tadi siang.

Hanya sebuah permainan sederhana yang mengasyikkan. Mengaku sebagai setan, dengan menghadirkan seorang kakak kembar yang tak pernah ada. Hihihi… Sederhana sekali, bukan?

Dan dua cowok itu benar-benar badut-badut yang menggelikan. Lagaknya seolah berani menempur dua ribu serdadu. Ngiler setiap melihat makhluk manis sendirian di pinggir jalan. Tapi begitu berurusan dengan hantu, nyali mereka tak lebih besar daripada nyali seekor ayam betina bangkotan yang hampir masuk liang kubur.

Sebuah cahaya redup menyorotku dari ujung sana. Hehehe… Sasaran baru rupanya! Aih, betapa bergairahnya aku mempermainkan seorang cowok, yang pasti tak kalah tololnya, sekali lagi.

Sedan kelabu nan kusam, berhenti tepat di depanku. Seraut wajah menyeruak di balik kaca yang sudah diturunkan.

Hmmmm…. Kali ini punya tampang lumayan. Lebih baik daripada dua cowok tolol bertampang tak simetris, yang tadi siang kena kukerjain habis-habisan.

“Malam-malam begini, sendirian?” Hohoho… Basa-basi pembukaan cowok itu cukup norak di telingaku.
Tapi kupasang wajah tanpa senyum. Kupandang dia dengan sorot penuh rahasia. Seperti biasa, tentu saja.

Dia melangkah turun. “Namaku Orian…” Tangan kanannya terulur di hadapanku.

Aku pura-pura menatap uluran tangannya itu. Tentu saja aku tak terlalu tolol untuk mencoba menyambutnya. Mana ada setan yang bertangan sehangat tanganku?

Aku berlagak mengamati wajahnya, dengan pandangan mengisyaratkan kesan misterius.

“Aku Lavia…,” dengan terlatih, aku mampu mengucapkan nama fiktif itu, penuh kelirihan.

Dia menurunkan tangan kanannya yang tidak kuacuhkan, lalu memandangku lekat-lekat. “Nunggu orang?”

Aku kembali menatapnya penuh misteri. “Cuma angkot. Aku baru pulang les di bimbingan belajar itu…” Kali ini aku jujur.

“Malam-malam begini angkot jarang lewat. Gimana kalau kuantar pulang?” Sepasang mata cowok itu menatapku tajam.

Tentu saja aku wajib berpura-pura ragu.

“Jangan takut bikin repot. Aku senang sekali kalau kamu kuantar,” dia mendesak, sebelum aku berlagak menolak.

“Sungguh?” tanyaku lembut.

“Tentu saja.”

“Baiklah.” Kuanugerahkan senyum penuh pikatku. Lengkap dibumbui pandangan misterius yang mengena.

Dalam sesaat saja, sedan itu telah melaju.

Hatiku tak berhenti tersenyum. Permainan ini terbukti benar-benar sempurna. Betapa mudah mengelabui mereka satu-persatu. Kemudian, hanya dalam beberapa hari, aku akan bisa menyaksikan bagaimana wajah cowok ini memucat, lalu lari tunggang-langgang dari hadapanku. Hihihi… Lucu sekali.

Dan aku tahu, cowok ini akan bernasib sama dengan cowok-cowok tolol sebelumnya.

Sebenarnya, aku tak tahu mengapa aku begitu menyukai permainan ini. Aku hanya selalu merasa begitu puas, melihat kekonyolan yang mereka lakukan. Mulanya memang cuma keisengan dan ide yang sedikit gila gara-gara sulit mendapatkan angkot di depan tempat les. Tapi semakin lama permainan ini begitu mengasyikkan dan tak mungkin lagi kuhentikan, sekalipun sahabatku menasihati, “Jangan mencoba menyaingi makhluk halus. Itu bukan hakmu, Nia.”

Walah! Tentu saja aku tak menggubris ocehan yang lebih mirip ucapan dukun itu! Aku cuma tahu, permainan ini begitu mengasyikkan. Titik. Selesai.

Sedan ini masih meluncur lurus. Lurus dan lurus. Lurus yang tak berakhir.

Ehh! Tak berakhir?!

Ada sesuatu yang salah! Ada sesuatu yang ganjil!

Tiba-tiba lampu remang-remang di tepi jalan padam satu per satu. Remang. Semakin remang.

Mustahil!!! Aku mulai ngeri.

“Orian,” aku mendesis. “Kok… kayaknya… ada yang nggak beres.” Aku bahkan lupa mempertahankan kemisteriusanku.

Sepi… membisu…

Aku menoleh. Dia bergeming di hadapan kemudinya. Sesuatu yang mencekam terasa mengaliri seluruh tubuhku.

“Orian!” Kucekal tangannya. Tapi…

Aku memekik. Tangan itu beku! Tangan itu dingin dan tak punya kehidupan!

“Bebaskan aku!” aku menjerit. Tapi pintu mobil tak bisa lagi terkuak, bagaimanapun aku berusaha membuka.

Bau anyir darah merambati penciumanku. Entah dari mana.

“Orian! Lepaskan aku!”

Kuguncang dia, tapi dia tetap membeku. Aku terus menjerit. Menjerit. Dan memekik.

Lalu keyakinan yang luar biasa menyusup ke seluruh darah dan dagingku. Aku terperangkap! Aku tiba-tiba mengerti, perjalanan ini takkan pernah berakhir.

Tolonglah!!!

Entah ke mana aku akan terbawa kini.

Dan di sini, air mata maupun tangisan, tak bisa lagi kuhadirkan….

13 dan 15 Maret 1997


Cerpen ini pernah dimuat di majalah HAI tahun 1997.

0 comments:

Post a Comment