Satu lagi kenangan manis di hari Rabu, 30 April 2014. Subuh itu aku mengirim pesan kepada Fian, mengucapkan selamat pagi beserta kawan-kawannya. Mencoba menyapa duluan (biasanya dia yang pertama membuka percakapan di SMS setiap pagi). Namun hingga siang menjelang tak kunjung datang balasan darinya ke ponselku. Saat tengah mengetik di PC, barulah aku ingat pulsanya habis digunakan untuk meneleponku kemarin-kemarin. Sisa pulsa yang tinggal 400 rupiah berakhir di SMS hari Selasa.
Aku tersenyum maklum. Kembali melanjutkan aktivitas rutinanku, membaca dan mengetik.
Kutatap tiga lembar uang berwarna biru di samping kananku. Ah ya, hari ini aku harus segera membeli tabung gas, setelah dua hari sempat tertunda. Karena tidak tahu tempat mana yang menjual tabung gas, akhirnya ku-dial nomor Fian saat itu juga.
"Halo," suara di seberang sana menyahut.
"Kamu gak punya pulsa, ya?" tanyaku memastikan.
"Iya. Aku udah kirim inbox ke facebook kamu juga," jawabnya.
"Oh ya? Aku belum baca," kataku takjub. "Eh Bi, tau gak tempat yang jualan tabung gas?"
Terdengar Fian berbicara pada orang di dekatnya. Dapat kutebak itu pasti ayah Fian. "Ada, Bi. Di GS."
"Di sebelah mananya?"
Fian mengulangi penjelasan yang diberikan ayahnya. "Ya pokoknya daerah Pasar Mambo gitu."
Aku manggut-manggut. "O iya-iya."
"Mau aku anter gak?" tawarnya tiba-tiba.
"Anter?"
"Iya. Mau gak?"
Aku tak dapat menyembunyikan senyumku yang mengembang. "Hayu, Bi. Tapi gimana janjiannya?"
"Di GS aja."
"Yeh, gimana bukan di mana?"
"Gimana apanya?"
"Kamu kan gak punya pulsa. Terus gimana janjiannya, Oneng?"
"Entar kan pulang... Kata aku juga baca dulu inbok aku deh. Emang kamu mau berangkat jam berapaan?"
Aku menimbang-nimbang. Mengamati penampilan acak-acakanku sekilas, melihat jam tanpa benar-benar berpikir, kemudian kembali fokus ke telepon. "Siangan deh ya. Jam sebelas atau dua belasan aja."
"Iya Bi, siang aja. Aku juga mau sekalian beli karet elastis ke toko AA."
Pasti pesanan ayahnya.
Aku mengiyakan dan terpaksa mengakhiri panggilan dengannya. "Udah dulu ya, Bi. Bida manggil aku tuh." Bida, panggilan khusus untuk kakakku.
"Oh iya-iya. Bye, love you."
"Love you too..."
***
Begitu panggilan berakhir, segera kubaca pesan masuk facebookku. Benar, ada satu pesan yang belum kubaca.
Fian : Bebi aku ga ada pulsa nanti isi pulsanya plg dagang
Sebagai anak yang berbakti, ia kerap membantu ayahnya berjualan mainan di TK Iqro (hingga detik ini aku tidak tahu di mana lokasi TK tersebut).
Aku : Iya bebi kutunggu smsmu
mangat ya dagangnya
Fian : iya bebiku siap
sayang dan cinta kamu:* muach:*
Aku tersenyum-senyum sendiri. Beginilah kelebayan kami di mata orang lain, namun manis di mata kami berdua. Sebab kami lah yang menjalani, bukan mereka atau bahkan kalian. Bukan. Kalian tidak akan pernah tahu bagaimana manisnya suatu hubungan jika belum pernah mengalaminya. Semua akan kau rasakan saat kau menemukan soulmatemu, belahan jiwamu.
***
Pukul 12.30 aku baru selesai mandi. Begitu kulirik ponsel, telepon Fian segera menyambut indera penglihatku.
"Ya?"
"Kamu masih di mana?"
"Masih di rumah. Tunggu sebentar lagiiiii aja, ya."
Aku bersiap-siap secepat yang kubisa. Pakaian, bedak, sisir, tas, pin, dan lain sebagainya tergeletak tak berdaya di ranjangku. Setelah tampak rapi, waktu menunjukkan pukul 13.15. Selama bersiap-siap, terjadi pertengkaran singkat antaraku dan Fian. Dia marah gara-gara menungguku nyaris satu jam. Kusuruh dia pulang jika tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dan dia benar-benar pulang.
Ketika aku melangkahkan kaki keluar rumah, mendadak aku menyesal sudah menyuruhnya pulang. Banyak hal. Aku membutuhkannya saat ini untuk : memberitahu di mana lokasi penjual tabung gas, membawakan gas yang pasti berat tersebut, dan yang terpenting aku ingin melihat sosoknya lagi.
Aku pun meminta agar ia kembali ke GS. Tanpa diduga, ia setuju...
***
Aku membuatnya menunggu beberapa menit lebih lama lagi. Dia mencak-mencak kesal mengapa aku begitu lama sekali. Sebenarnya aku merasa kasihan, namun rasa geli mengalahkan rasa belas kasihku. Lucu juga membuatnya menunggu berjam-jam begini.
Tepat ketika aku sampai di tempat tujuan, nomor ponsel Fian mendadak tidak aktif. Kuperhatikan sekeliling, tak kutemukan kehadirannya. Akhirnya kucoba masuk ke pelataran GS, berharap menemukannya di sekitar sana. Saat kakiku berbelok ke arah kiri, di arah berlawanan tampak Fian tengah membelok ke arah yang sama denganku. Senyumku dan senyumnya terlontar tanpa sadar. Terlebih setiap kuingat telah membuat ia menunggu lama.
"Nomer kamu gak aktif ih." Kalimat pertama yang terlontar dari mulutku seraya menepuk bahu kirinya cukup kencang.
"Devi nyebelin bikin gue nunggu lama," kata Fian nelangsa, namun senyum bahagia tercetak jelas di bibirnya. Bagaimanapun kesalnya di SMS, jika bertemu kami pasti akur kembali. Sangat manis malah.
Kami duduk berdampingan di depan GS, mengobrol basa-basi sejenak.
"Sini, aku aja yang beli tabung gasnya. Tadi aku udah ngebooking, jadi kalo kamu yang ke sana pasti bilangnya gak ada. Soalnya tinggal sisa satu," kata Fian.
"Berapaan?"
Fian menyebutkan sejumlah angka.
"Murah banget," komentarku. Setahuku, harga tabung gas lebih mahal dari angka yang ia sebutkan, jadi kuanggap harga di sini termasuk murah sekali.
"Nanti aku anterin kamu pulang gak?" tanyanya.
"Ya iya lah," jawabku. "Kalo nggak, siapa yang mau bawain tabung berat itu sampai Simpang."
"Sialan, Devi..."
Kami tertawa kompak.
"Ya udah aku beli tabungnya dulu, ya. Nanti kamu tunggu di depan aja."
Aku mengangguk. Kami pun berjalan beriringan. Sesuai kesepakatan, aku menunggu Fian di depan pasar tradisional yang baru kutahu ada di sana. Demi Tuhan, aku baru tahu ada pasar seperti itu di pinggir GS.
Beberapa menit kemudian ia kembali dengan tabung berwarna hijau di tangan kanan. Lagi-lagi kami tertawa kompak.
"Abis ini kita gak akan kemana-mana lagi, kan?"
"Emang mau ke mana?" Mataku melebar antusias.
"Ya nggak, malu aja bawa-bawa tabung gas gini."
"Katanya mau beli capcin dulu?"
"Oh iya. Emang ada tukang capcin di sini?" Fian balik bertanya.
"Ada di sebelah sana kalo gak salah. Aku pernah beli,"
Kami berjalan lagi menuju tempat yang kumaksud.
"Tuh kan ada gerobaknya," ujarku seraya menunjuk dengan dagu. "Dulu aku belinya pop ice. Gak tau ada capcin atau nggak."
Sampai di samping si ibu penjual, kami memesan sesuatu. "Ada capcin ga, Bu?"
Si ibu mengangguk. "Ada. Mau berapa?"
"Satu, Bu. Satu lagi Pop Ice komlit." Fian yang ingin Pop Ice.
"Pop ice rasa apa?"
"Permen karet aja, Bu."
"Permen karet? Buble gum, Bi," ralatku.
Fian terkekeh. "Sama aja."
Kami menarik kursi dan duduk berdampingan di ruang makan yang disediakan si ibu penjual es tadi.
Selama di sana kami mengobrol seru mengenai banyak hal. Tentang ayahnya, tentang nenekku, tentang jadwal pengajianku, tentang alasan membeli tabung gas lagi, dan lain sebagainya seolah tak habis-habis topik untuk kami diskusikan.
Beberapa menit begitu es masing-masing habis, kami memutuskan langsung pulang ke rumah.
"Nanti kamu ke sananya naik ojek, kan?" tanya Fian.
Aku mengangguk.
Ia menuntunku saat kami menyeberang jalan. Saat sampai di seberang, sebuah angkot 01 berhenti di depan kami. Fian langsung menggoyang-goyangkan tangannya tanda menolak.
"Kenapa gak mau, bi?"
"Banyak ceweknya. Peluang aku buat dimarahin kamu jadi makin besar. Ngeliat ke mana pun jadi serba salah. Dikiranya lirik cewek lain."
Sekali lagi kami tertawa kompak.
Tak lama angkot 01 lain berhenti di depan kami. Kali ini hanya berisi dua orang ibu-ibu. Kami pun naik lalu duduk berdampingan.
Obrolan seru terlontarkan selama perjalanan Pasar Jum'at-Simpang. Sikap Fian pun amat manis padaku. Ia memujiku 'cantik banget' seraya tersenyum lembut. Aku jadi malu. Sejujurnya, ia pun tampak tampan hari ini dengan baju biru-abu membalut tubuhnya.
Sampai di Simpang, kami mesti berpisah kembali. Aku naik ojek, dan ia mencari angkot 07 atau 03 untuk pulang ke rumahnya. Ritual perpisahan kami lakukan. Salam, ucapan hati-hati, dan lambaian tangan diiringi senyum kami lakukan saat itu juga. Seorang tukang ojek di samping Fian ikut melambaikan tangan, membuat aku, Fian, serta dirinya tertawa geli.
Hari yang baik. Akhir pertemuan yang baik.
***
SMS sorenya. . .
Fian : Bebi tadi hp na mati wae :(
Aku : Jangan lupa ngucapin met ultah :o makanannya udah dikasihin? :D
Fian : Udah di makan sama aku abis :p
Aku : Dosa gak menyampaikan amanat :o
Fian : Ya ntar disampein, masa kue ultah kayak gini :p yang kayak gini buat aku B-) :D
Aku : Rakus :p kompor teh Rinnai bi
Fian : Tuh kan rinai kata aku ge :p
Aku : Kebetulan weh :p
Fian : Aku tau keles merk2 kompor yang bagus :p
Aku : Biasa da tukang kompor mah apal wae :p
Fian : Oke fine ngatain :p
Aku : Yang punya pabrik kompor gas miliyuner keles :p
Fian : Cie so ngebaikin :p kangen kamu yang makin cantik aja :*
Aku : Cie bebi ngegombal aja :* aku gak kurus banget kan sekarang mah? :D
Fian : Serius bu cantik banget :* ga ko bi :D
Aku : Bebi tadi senyum terus jadi keliatan ganteng banget :* mun cemberut mah goreng :p tadi itu pertemuan singkat yang manis banget ya bi :D
Fian : Kamu makin cantik tuda jadi senyum wae :* manis da beli pop ice :D
Aku : Bebi bisa aja bikin geernya :D :* so sweet bi, lain pop ice atau capcin :p
Fian : Beneran bebi ih jangan geer :p :* iya bebi so sweet :*
Aku : Makasih pujiannya mybii :* Jangan lupa shalat ya bebiku :*
Fian : Iya sama2 bebi :* kamu juga yah :*
INI SALAH SATU HARI TERBAIK DEFIAN. YEAH!