Cerpen : Setelah Rifa, Siapa Lagi?

Thursday 7 February 2013

Rrrrrt ...
Untuk kesekian kalinya di hari yang sama, ponselku bergetar. Dengan euforia berlebih, kuraih benda tersebut dan langsung menekan gambar amplop yang tertera di display ponsel.
SMS dari Rifa, sudah kuduga.
Rifa : Hi, dev. Udh mkn blm?
Tanpa sadar, bibirku menyunggingkan senyum lebar. Rifa memang perhatian. Sejak dua minggu yang lalu, makhluk tak dikenal bernama Rifa ini mengirimiku SMS nyaris setiap waktu. Anehnya, aku tidak risih sama sekali. Aku selalu menyambut, bahkan menanti SMS darinya mampir ke ponselku. Sampai akhirnya aku berharap terlalu banyak ...
***
Tubuhku bergetar hebat, mataku nyaris bengkak setelah seharian penuh menangis tanpa henti. Bukan, aku menangis bukan karena sakit, tapi kecewa. Pacarku, Tian, seenaknya berpacaran dengan perempuan lain di saat dia masih memiliki hubungan denganku. Siapa yang tidak kecewa diperlakukan seperti itu?
Aku menyusut air mata yang masih bergulir di pipiku dengan selimut yang sudah tak berbentuk saking kusutnya. Selimut itu sudah sangat basah. Di tengah kegalauan, aku bahkan merasa kasihan pada Ibu yang pasti akan kesulitan mencucinya.
Malam beranjak naik. Ibu berteriak-teriak dari luar kamar memanggil namaku. Beliau meminta aku segera makan. Aku mendesah, baru sadar kalau aku belum makan sejak tadi pagi.
Setengah melamun, aku beranjak dari atas ranjang menuju ruang makan. Ibu dan Ayah sudah ada di sana, lengkap dengan sepiring nasi dan lauk-pauk di hadapan masing-masing. Aku tersenyum sekilas pada mereka kemudian duduk di samping ibu, berseberangan dengan ayah.
“Kamu kenapa, Nak?” tanya Ayah.
Aku mendongak. “Apanya yang kenapa? Aku baik-baik aja.”
Ayah menggeleng tidak percaya. Ibu, yang duduk di sampingku, ikut melirik ke arahku dengan tatapan cemasnya yang khas. Beliau menyentuh wajahku. Lembut. Tanpa sempat berpikir ulang, aku langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan ibu dan mulai menangis tersedu-sedu. Air mataku tumpah tak terbendung. Rasa kecewa yang sempat ingin kulupakan sejenak, menyeruak kembali ke permukaan. Ya, sama sekali tidak pernah terbayangkan, aku—yang selalu dipriorotaskan oleh Ayah—justru disakiti, dikhianati, dan tidak dihargai oleh seseorang yang mengatasnamakan dirinya sebagai pacarku. Keterlaluan!
Ibu membelai rambutku sayang. “Jangan sedih, Nak. Masih banyak laki-laki lain yang jauh lebih baik dari Tian. Tetap semangat.”
Aku tercengang. Ibu tahu dari mana? Sejauh yang bisa kuingat, Ibu dan Ayah adalah tipe orangtua yang tidak pernah mengizinkan anaknya berpacaran sebelum lulus SMA. Maka dari itu aku dan Tian jadi backstreet. Lalu ...
“Ini.” Ibu menepuk bagian dadanya. Seulas senyum bijak terukir di wajah teduhnya. “Seorang ibu selalu tahu apa yang dirasakan anaknya.”
Seketika darahku berdesir. Terbersit rasa bersalah telah membohongi kedua orangtuaku. Mungkin jika dari awal aku jujur pada mereka, Tian tidak akan berani kurang ajar padaku. Mungkin jika aku berterus terang pada mereka, aku tidak akan pernah disakiti oleh cowok manapun. Mungkin, mungkin saja.
“Devi!” panggil Ayah.
Aku menoleh. “Ya?”
“Ponsel kamu bunyi, tuh!”
Ibu melepas pelukanku. Aku mengerti kemudian mengulurkan tangan meraih ponsel yang tergeletak di atas meja makan. Saking seriusnya memeluk Ibu, aku sampai tidak sadar ponselku berbunyi cukup nyaring.
+6281909343434 : hi, dev. Apa kabar?
Keningku berkerut dalam begitu membaca SMS tersebut. Siapa ini?
***
Ternyata dia Rifaldi. Dia bilang namanya Rifaldi tapi biasa dipanggil Edo. Merasa tidak terima dengan panggilan aneh itu, aku meminta izin untuk memanggilnya Rifa saja dan dia setuju.
Rifa bukan orang yang kukenal. Dia adalah orang asing yang secara mengejutkan tahu siapa aku dan tahu nomor ponselku. Dia mengaku mendapatkan nomorku dari teman lamanya yang juga teman lamaku. Nama temannya Hilda. Dan sumpah demi apapun, aku tidak pernah punya teman bernama Hilda. Biasanya aku enggan meladeni SMS dari orang asing. Namun, entah apa yang salah, aku membuat pengecualian untuk Rifa. Aku membalas pesan-pesannya penuh suka cita.
Kegiatan saling berbalas pesan baru kami akhiri saat waktu menunjukkan pukul 23.00 malam. Akan tetapi, sebelum semuanya benar-benar berakhir, aku meminta alamat facebook Rifa. Yah, biar bagaimanapun aku tidak ingin berakrab-ria dengan orang yang tidak jelas seperti apa wajahnya. Siapa tahu ternyata dia perempuan yang berpura-pura jadi laki-laki hanya untuk mengerjaiku. Atau malah dia laki-laki sungguhan tapi berandalan. Semua hanya kemungkinan semata dan facebooklah yang akan menjawab segalanya.
***
Tidurku semalam benar-benar nyenyak. Kupikir aku tidak akan bisa bangun lagi karenanya. Susah payah kubuka kelopak mataku yang rapat bagai direkatkan lem.
Rifa cakep. Itu kalimat pertama yang melintas di benakku begitu kesadaranku terkumpul kembali. Lewat foto-fotonya di facebook, aku yakin Rifa bukan anak berandalan. Ia imut, manis, lucu dan ... keren? Mungkin hanya kata itu yang pantas disematkan padanya.
Rrrrttt ...
Ponselku, yang semalam telah kuseting sunyi, bergetar. Ada pesan masuk. Kuraih benda mungil tersebut untuk mengecek ada SMS dari siapa.
Rifa : pagi, dev. Nyenyak kah tidurmu smalam? Ada ngimpiin aku ga?
Kupukul keningku kuat-kuat. Ya ampun, Rifa narsis juga ternyata.
Jariku baru saja akan menekan tuts ponsel ketika terdengar suara ketukan di luar kamar. “Devi, kamu lagi ngapain, Nak? Ayo mandi sana. Hari Minggu jangan malas-malasan!”
Oh, Ibu, kukira siapa. “Iya, sebentar,” kataku.
Tergesa, kubalas pesan dari Rifa. Lalu secepat kilat aku melesat menuju kamar mandi sebelum Ibu menyuruh dua kali. Beberapa menit kemudian aku ke luar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di kepala. Dan sesuai dugaan, sudah ada pesan masuk menanti balasanku.
Rifa : udh mndinya? Eh, fb rifa udh dikonfir blom? Smalem rifa add pnya km loh.
Well, begitulah. Sejak saat itu Rifa jadi rutin mengirimiku pesan singkat mulai dari sapaan basa-basi, cerita gak penting, sampai curhat masalah pribadi. Tapi cowok tetaplah cowok. Selain menyapa, cerita, dan curhat, dia juga tidak jarang meminta bertemu. Aku tidak menolak, tentu saja, selain karena penasaran seperti apa wajah aslinya aku juga ingin mengenal Rifa lebih dalam. Tapi permintaan Rifa tidak lantas aku penuhi begitu saja, aku menundanya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dan jika kau ingin tahu alasanku, itu sederhana : aku belum siap. Butuh waktu 2 bulan bagi mentalku agar siap bertemu dengan orang yang belum pernah kukenal sebelumnya.
Aku terus menunda sampai akhirnya tiba hari itu. Hari di mana aku berkunjung ke rumah teman SMPku, Melani ...
Jalanan sepi. Tidak ada satupun angkutan umum yang melintas di depanku, padahal kalau tidak salah sekarang baru pukul delapan malam. Namun beruntung aku tidak sendirian di sana. Beberapa meter di belakangku ada dua orang bapak-bapak yang tengah sibuk bercengkrama satu sama lain. Aku tidak kenal siapa mereka tapi aku yakin mereka orang baik-baik.
Mengabaikan orang-orang itu, sekali lagi kulirik arloji yang melingkari pergelangan tanganku dengan lesu. Pukul 20.05. Aku menghela napas berat. Yeah, seharusnya aku ingat tidak akan ada kendaraan yang melintas larut malam begini di Pasawahan. Jadi aku akan berusaha pulang lebih awal dari rumah Melani.
Sebenarnya Melani sempat menawarkan jasanya untuk menemaniku menunggu kendaraan di pinggir jalan. Namun karena aku khawatir tubuh mungilnya menjadi semakin kurus akibat terkena angin malam, maka aku menyarankan lebih baik dia pulang saja. Ia menolak. Kami pun berdebat panjang lebar di sepanjang jalan menuju jalan raya dengan keputusan akhir Melani menyerah. Ia kembali ke rumahnya sambil berujar, “Hati-hati, ya?” kepadaku.
Jadi, di sinilah aku, mematung seorang diri di jalanan yang sepi tanpa lalu lalang manusia, terpaku menanti kendaraan yang bersedia melintas di hadapanku. Sayangnya, apa yang kunanti tak kunjung datang.
Tak sabar, kutekan nomor ponsel Ayah dan meminta beliau segera menjemputku. “Ayah lagi di tempat kerja,” kata Ayah sukses membuat lututku lemas seketika.
Dua orang bapak-bapak yang sedari tadi tak mengacuhkanku, kini menatap penasaran padaku. Mereka heran mengapa dari tadi aku diam terus di depan mereka. Ah, biarlah. Aku sudah cukup pusing tanpa perlu mengacuhkan mereka.
Tiba-tiba terasa sesuatu menggelitik pahaku. Aku terhenyak, rupanya ponselku bergetar. Ada panggilan masuk.
“Halo?”
“Halo, Devi. Kamu lagi di mana?”
“Aku lagi di Pasawahan. Ini siapa?”
“Ini Rifa.” Darahku berdesir. Tumben sekali Rifa meneleponku. “Lagi ngapain kamu di Pasawahan? Sama siapa?”
“Abis main di rumah temen, sendirian. Sekarang mau pulang, kok,” jawabku berusaha tenang.
“Ya udah, tunggu sebentar. Rifa jemput kamu sekarang.”
Klik. Rifa langsung memutuskan sambungan tanpa mendengar persetujuan dariku. Aku terkesima ... dan panik! Gawat, aku belum siap bertemu dengan Rifa sekarang. Aku masih butuh waktu untuk berpikir, sungguh.
Meskipun aku telah berusaha menolak sehalus mungkin, akhirnya Rifa datang juga. Ia menepikan motornya tepat di sampingku, dan dengan gaya cool ala cowok berkelas, ia membuka kaca helmnya, dan tersenyum. Kau tahu, andai jantungku lemah, aku pasti akan mati saat itu juga saking terpesonanya. Napasku tercekat. Dia ... orang itu ... Rifa, sangat tampan. Lebih tampan dari Yong Hwa CN Blue.
“Ayo pulang,” katanya menyisakan tempat di boncengannya. Aku mengangguk kikuk kemudian naik ke atas motor, bersentuhan dengan tubuh hangat Rifa. Motor kembali melaju membelah kegelapan malam.
Tidak pernah kusangka ternyata malam itu menjadi awal dari pertemuan-pertemuan kami selanjutnya. Setelah kejadian itu, seolah muncul kontrak tak tertulis yang mengharuskan Rifa mengantar-jemputku ke sekolah setiap hari, menemaniku bermain setiap Sabtu malam, dan membantuku menyelesaikan PR sekolah yang menumpuk. Kami melakukan pertemuan tersebut di luar pengetahuan Ibu dan Ayah tentunya.
Rifa begitu perhatian dan aku bahagia karenanya. Ia selalu ada untukku. Menemani di saat suka dan duka. Mendengarkan segala keluh-kesah yang kucurahkan padanya. Menghibur kala duka menghampiriku.
Yang kulakukan setiap bertemu dengannya adalah melamun. Aku betah memandang wajahnya berlama-lama. Semakin diamati ia tampak semakin tampan. Tidak ada laki-laki lain yang bisa menandingi pesona dan kharismanya.
“Rifa pulang dulu, ya?” kata Rifa begitu aku aman di depan gerbang rumahku. Kami baru saja pulang dari petualangan malam mengerjakan PR di alam bebas dan sebagai cowok yang bertanggung jawab, ia mengantarkanku pulang. Aku hanya mengangguk kikuk mengizinkannya pulang.
“Bye!” seru Rifa. Sedetik kemudian motornya melesat meninggalkan pekarangan rumahku. Aku terkesima. Aku tahu seharusnya ini tidak terjadi, tapi aku merasakannya. Ya, ada getaran hebat yang menjalari seluruh saraf dalam tubuhku. Ini bukan yang pertama kalinya, aku hafal betul apa arti getaran-getaran ini. Benarkah aku jatuh cinta pada Rifa?
***
Pekan ini aku akan menghadapi Ujian Tengah Semester. Oleh karena itu aku harus lebih fokus belajar dan jika aku ingin mendapatkan hasil yang memuaskan, maka aku mesti mengurangi frekuensi SMSan ku dengan Rifa. Beruntung Rifa mau mengerti. Ia dengan sendirinya menghilang dari peredaran tanpa kuminta.
Sesekali saat rasa bosan belajarku muncul, kulirik layar ponsel yang tidak pernah menyala sejak hari pertama UTS. Sunyi. Rifa sungguh-sungguh memberi ruang bagiku untuk belajar serius.
Aku berbahagia atas pengertian Rifa sampai akhirnya akal sehatku mengatakan ini tidak benar, sesuatu yang tidak beres tengah terjadi.
Maka begitu UTS berakhir aku langsung mengirim SMS padanya. Tidak dibalas. Bahkan setelah 5 jam kemudian aku menunggu, balasan tersebut tak kunjung datang. Aku bergerak-gerak gelisah di depan lemari pakaian. Otakku sibuk menerka-nerka apa alasan Rifa tak kunjung membalas pesanku. Mungkinkah dia sedang sibuk? Atau ia mengira aku masih ujian?
Penasaran, kucoba menghubungi ponselnya. Operator wanita yang menjawab. Nomor Rifa tidak aktif.
Aku mendesah putus asa, sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Selama berteman denganku, Rifa belum pernah mematikan ponselnya satu kali pun, dan lagi ia selalu membalas pesanku. Jadi, ada apa?
Menyisakan berbagai praduga di dalam pikiran, mataku terpejam dengan sendirinya. Rasa lelah setelah seminggu penuh berkutat dengan soal-soal berstandar internasional menyergap ragaku tanpa ampun.
“Mungkin besok nomor Rifa udah aktif,” gumamku menciptakan secuil harapan yang membawa jiwaku melayang, terlelap masuk ke alam mimpi.
***
‘Sorry, the number you’re calling is not active. Please try again latter.’
“Arrrggghhh ....” jeritku putus asa. Rifa masih belum mengaktifkan nomornya, atau malah ia tidak akan pernah menggunakan nomornya yang dulu lagi. Ia ganti nomor.
Ah, ia mengganti nomor selulernya tanpa memberitahuku, bagus. Aku tersenyum getir. Inikah akhir kisah antara aku dan Rifa? Kisah yang bahkan sebenarnya belum dimulai. Jika iya, kenapa ia meninggalkanku tanpa alasan? Setidaknya jika ia bilang, “Aku gak mau temenan lagi sama kamu, abis kamu bau, sih.” aku jamin aku pasti akan mengerti. Aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Beres.
Tapi kalau begini? Ia meninggalkanku dalam ketidakpastian antara benci atau bosan padaku. Bosan? Ya, sepertinya itu alasan yang paling masuk akal. Ia bosan menjadi temanku hingga memutuskan untuk menjauhiku saja. Ia lelah terlalu lama bersandiwara, berpura-pura menyukaiku padahal sesungguhnya ia tidak punya rasa padaku.
Tanpa sadar mataku memanas, menciptakan genangan air bening yang perlahan menetes membasahi permukaan wajahku. Terasa sesuatu merintih di dadaku, sangat perih. Aku menangis tertahan. Batinku berkecamuk sibuk menyalahkan Rifa. Kalau saja malam itu dia tidak pernah mengirimiku SMS, mengajak berkenalan, dan membuat aku GR setegah mati akibat gombalan-gombalannya yang TOP abis, mungkin aku tidak akan pernah merasakan sakit ini. Sakit yang mendera sampai ke ulu hati.
Berhari-hari aku bertingkah layaknya orang linglung, menatap layar handphone tanpa berkedip, berharap dia—Rifa—suatu waktu akan kembali mengirimiku SMS lagi setelah seminggu penuh menghilang tanpa kabar, lalu mengatakan ‘I Love You’ padaku. Namun aku harus kembali menelan kecewa begitu sadar keinginanku itu terlalu muluk. Dan ya, nyatanya, Rifa tidak pernah menghubungiku lagi. Ia benar-benar telah melupakanku.
Mencoba mengalihkan perhatian, kubuka sebuah media sosial facebook. Bukannya lebih tenang, aku justru langsung histeris setelah membaca kabar berita di facebook.
Rifaldi dan Windy Alatau berpacaran.
Tangisku pecah seketika. Rasa perih mulai menjalari seluruh tubuhku. Mengapa Rifa tega melakukan ini semua padaku? Jika ia memang tidak pernah berniat untuk menjadikanku lebih dari sekedar teman SMSan, lalu apa arti perhatiannya selama ini? Apakah ia hanya ingin mempermainkan aku saja?
Dengan tangan yang bergetar hebat, kugeserkan mouse ke arah nama Windy kemudian membuka profilnya di tab baru. Jatungku bergemuruh hebat. Ternyata Windy gadis yang sangat cantik. Mataya sipit, bibirnya tipis, dagunya lancip, lehernya jenjang, tingginya proporsional, dan senyumnya—aku menelan ludah—mirip dengan senyum Rifa. Seolah mereka memang ditakdirkan untuk menjadi pasangan kekasih.
Hening.
“Aaarrrghhhh, aaaarrrghhh ...” Aku menjerit-jerit frustasi. Kuraih benda-benda terdekat dan langsung melemparkannya sesuka hati. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Rasa kecewalah penyebab semuanya.
Seseorang memasuki kamarku secara paksa namun tidak kupedulikan. Aku terus menjerit tanpa henti sampai sebuah lengan hangat merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Aku berontak, berusaha melepaskan pelukan orang itu. Gagal. Ia memelukku sangat erat.
“Jangan, Sayang. Jangan putus asa karena cinta.”
Ibu ...
“I ... bu ... ibu ...” bisikku terputus-putus.
Ibu tersenyum sambil terus memelukku. Ia membelai rambutku penuh cinta. “Dengarkan kata ayahmu, jangan membangkang.”
Aku menggeleng pasrah. Tersedu-sedu, aku menangis dalam pelukan Ibu. Baru kusadari ternyata pelukan Ibu amat sangat hangat dan nyaman, lebih hangat dari pelukan Rifa atau cowok manapun yang pernah memelukku. Dalam pelukan Ibu otakku dapat kembali berpikir jernih. Lambat laun aku mengerti apa arti ucapan Ibu tadi. Ya, Ibu benar. Jika aku tidak ingin disakiti oleh laki-laki manapun maka aku harus menuruti keinginan Ayah agar jangan dulu berpacaran sampai usiaku cukup dewasa untuk menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Ingat, ‘laki-laki’, bukan cowok. Kalau aku tidak menghentikan semua ini sekarang juga, aku yakin akan muncul Rifa-Rifa lain yang ikut menyakiti hatiku.
Ah, semoga saja tidak.

Cerpen : Unbreak My Heart

Ini cerpen udah beberapa kali aku publish di situs online. Bagi yang bosan bodo amat :D haha, maaf, maaf


Aku pacaran dengan Diki bukan baru sehari-dua hari. Tapi 4 tahun! Coba bayangkan, dalam waktu yang tidak singkat itu tentu aku sudah hafal karakternya luar dalam. Tanpa diberitahupun aku sadar ada yang berubah darinya. Yadia jadi lebih cuek padaku.
“Jangan kayak gini, dong. Gue gak suka, Ki …. ” ujarku sore itu, saat sedang beduaan dengan Diki di gerbang sekolah.
“Gini gimana? Apa yang elo gak suka?” Diki bertanya sok polos. Aku jadi gemas dibuatnya.
“Ih … elo nyadar gak sih, kalo elo udah banyak berubah!?” Nada suaraku meninggi.
“Gue? Berubah?” Diki menunjuk dirinya sendiri. “Gak mungkinlah! Gue ya tetep gue. Gak mungkin berubah.”
“Elo emang udah berubah, kok!”
“Ah, cuma perasaan lo aja kali …” tukasnya keukeuh.
Euh! Aku sudah tidak tahan. Tanpa ba-bi-bu lagi aku berlari meninggalkannya. Sambil berlari, aku berharap Diki akan mengejarku seperti yang biasa terjadi di film-film. Namun, sampai napasku sudah mulai ngos-ngosan pun, tak kulihat tanda-tanda kehadirannya dari jalan yang tadi kulalui.
Aku menunduk sedih. Dadaku terasa sesak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di situ. Tidak salah lagi—aku sudah benar-benar kehilangan Diki.
***
“Oh, gitu ya …” gumam Lisda, sahabatku, begitu aku selesai menceritakan insiden dengan Diki sore tadi. Aku berbicara dengannya di telepon.
“Iya, dia udah berubah banget, Lis”
“Terus, apa urusannya sama gue?” tanyanya ketus. Aku terhenyak. Ada apa dengan Lisda?
“Ya ngga, Lis … gue cuma curhat doang. Biar perasaan gue lebih plong.” jawabku cepat-cepat. Sebisa mungkin aku menjaga nada suaraku tetap terdengar normal.
Di ujung sana, terdengar Lisda mendengus kesal, “Gue capek, Ris. Gue capek tiap hari harus selalu denger curhatan elo yang gak bermutu itu. Tiap hari yang elo ceritain tentang cowok lo lagi, cowok lo lagi.”
Aku melongo.
“Coba deh elu pikirin perasaan gue. Lama – lama gue juga bosen dengerin curhatan lo.”
Aku menggosok–gosok gagang telepon yang sedang kupegang. Apa aku tidak salah dengar? Lisda bilang bosan denger curhatan aku?
“Dan gue rasa elo tuh egois, Ris …”
“Gue gak egois!” tukasku spontan. Aku paling tidak suka ada yang mengataiku egois karena kenyataannya aku peduli pada orang lain.
“Tapi elo gak peduli sama gue!” teriak Lisda seolah dapat membaca pikiranku. “Elo selalu mentingin ego lo di atas perasaan gue. Elo dengan teganya jadiin gue tempat curhat, sementara gue gak pernah curhat tentang masalah gue ke elo. Setiap lo ngomong, elo pasti mau disimak dengan serius sama gue. Tapi kalo giliran gue yang ngomong, elo suka bertingkah seolah gue angin lalu.”
Aku gelagapan mendengar perkataan Lisda yang bertubi-tubi itu. Sungguh, selama bersahabat dengannya, dia belum pernah sekalipun mengeluh apalagi membentakku seperti tadi. Kenapa kesannya dia seperti tidak suka padaku?
“Gue capek diginiin terus, Ris …”
“Ya ampun, Lisda! Gue gak pernah nganggap lo angin lalu. Sumpah, deh!”
Lisda langsung menyahut, “Whatever you say! Mulai sekarang jangan ganggu gue lagi.”
“Tapi, Lis – kita kan sahabat”
“Gue udah gak nganggap elo sahabat lagi. Puas!!”
“Eh, eh, Lisda … tunggu dulu,” cegahku cepat-cepat karena khawatir Lisda keburu menutup telepon.
“Dan satu lagi …” desisnya sinis. “Gue gak peduli sama cerita lo tentang Diki itu.”
“Tapi, Lis …”
Tut … tut … tut …
Lisda menutup telepon. Meninggalkan aku yang masih terkesima akibat perkataannya barusan. Tiba-tiba, tetesan air bening meluncur dari sudut-sudut mataku. Oh Tuhanapakah aku harus kehilangan sahabatku juga?
***
Kehilangan pacar dan sahabat dalam waktu bersamaan membuat hari-hariku jadi berubah. Rasanya ada yang kurang. Tapi satu hal yang masih belum aku mengerti sampai saat ini. Apa yang membuat mereka menjauhiku?
“Hai, Risa!” sapa Andien, teman sekelasku yang terkenal bigos. Aku bingung, tumben-tumbennya ia mau menyapaku.
“Hai,” jawabku.
“Elo udah tau belum, gosip terhangat di sekolah hari ini apa?” ujar Andien dengan nada bicara yang mengundang penasaran.
“Nggak. Apaan?” aku balik bertanya.
“Cowok lo—si Diki—udah jadian sama Lisda. Itu loh … Lisda anak 2-6. Kok bisa ya, dia ngerebut cowok lo?”
Deg!
Ini sungguh-sungguh kejutan bagiku. Dan andai jantungku lemah, saat ini aku pasti sudah pingsan.
“Atau elo udah putus sama  Diki?” sambungnya menduga-duga.
Aku menggeleng.
“Ah, masa … pasti udah putus kan? Kenapa bisa putus, Ris?”
Lagi-lagi aku menggeleng.
“Ngaku aja, Ris! Gak mungkin Diki selingkuhin elu …” Aku merengut kesal. Dasar si Biang Gosip ini tidak mengenal waktu dan tempat yang pas buat mengorek informasi—lihat wajahku, dong! Sudah pias begini masih ditanyai macam-macam. Cobalah paham kalau aku masih shock!
“Nanti gue jelasin,” ujarku lalu buru-buru meninggalkan kelas. Aku ingin mendengar kepastiannya dari Diki sekarang juga. Kalau perlu, Lisda juga bisa kutayai. Tak peduli bagaimana sakitnya hatiku nanti, yang penting semua bisa terungkap.
“Iya, bener …” kata Diki pendek begitu kutanyai kebenaran gosip tadi.
Aku tidak mampu berkata-kata lagi. Tubuhku terasa amat lemas. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya pacar dan sahabatku tega berkomplot untuk menyakitiku.
Dalam hitungan detik, semua berubah menjadi gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi.

***
“Risa …” sebuah suara menyadarkanku dari sebuah  mimpi panjang tanpa ujung dan pangkal. Begitu mataku terbuka lebar, tampak Andien berdiri menatapku dengan cemas.
“Aku … di mana?” Aku benar-benar merasa asing pada ruangan serba putih yang kutempati sekarang.
“Elo ada di UKS. Tadi elo pingsan di depan kelas Diki, trus anak-anak kelas itu buru-buru bawa lo ke sini,” terang Andien panjang lebar.
Mendengar nama Diki disebut, aku jadi teringat sesuatu
“Diki … di mana?”
“Dia … di kelasnya.” Aku menangis. Sebegitu bencinyakah Diki padaku hingga enggan menyempatkan waktu barang semenit untuk menemaniku yang pingsan di depan matanya?
Tanpa sadar, Andien memelukku erat. Dia ikut-ikutan menangis. “Tetap sabar, Sayang. Elo cewek yang tegar.”
***
            Ini gila! Tapi malam ini aku duduk sendirian di kursi pojok sebuah restoran demi memenuhi undangan seseorang yang tidak jelas. Ya—undangan dengan amplop berwarna hitam dan bergambar tengkorak itu tergeletak dengan manis di lokerku. Si pengirim menyuruh aku datang ke tempat ini tepat jam 7 malam. Ada kejutan, katanya. Karena penasaran, akupun —dengan terpaksa— memenuhi ajakannya. Entah apa yang akan terjadi …
            Tapi tunggu dulu ... dari pintu masuk restoran, kulihat Diki dan
Lisda tengah berjalan dengan tenang menuju ke arahku. MEREKA MAU MENGHAMPIRIKU!
            Apa-apaan ini?
            Setelah mereka berada di hadapanku, aku menatap mereka dengan sinis. Dan anehnya, mereka malah membalas tatapanku dengan senyam-senyum so imut.
            “Jangan cemberut gitu, dong …” goda Lisda. Bibirku membentuk huruf ‘O’.
            “Kamu cantik banget malem ini,” kata Diki. Ia menarik sebuah kursi, lalu duduk di sampingku.
            Dengan wajah bersemu merah, aku menoleh padanya. “Diki?”
            “Iya, Sayang. Ini aku,” ujarnya. “Selamat ulang tahun ya, Honey.” Diki mengecup keningku lembut.
            Aku tidak dapat berkata apa-apa. Kulirik Lisda yang masih berdiri di depanku dengan tatapan bertanya, tapi ia malah tersenyum makin lebar.
            “Maaf ya, Sayang. Sebulan ini aku sama Lisda acting jauhin kamu demi memuluskan rencana pesta perayaan ultahmu. Aku sengaja bikin kamu ilfeel supaya surprised yang udah aku siapin ini makin berkesan.”
            “Sekali lagi, selamat ulang tahun, Sayang!” Kali ini Diki merangkulku. Hangat.
            Aku masih belum mengerti apa yang terjadi sampai akhirnya ruangan yang kutempati berubah—dari yang tadinya restoran biasa—menjadi tempat romantis. Lampu dimatikan, dan digantikan oleh cahaya temaram lilin. Di kejauhan sana, tampak Lisda, Andien, dan beberapa teman Diki, membentangkan sebuah kain bertuliskan “HAPPY B’DAY, HONEY … I LOVE YOU <3”
            Aku mendekap mulutku dengan tangan. Kagum. Ya—aku baru mengerti sekarang. “Love you too, Diki …” bisikku lirih.