Rrrrrt ...
Untuk kesekian kalinya di hari yang sama, ponselku
bergetar. Dengan euforia berlebih, kuraih benda tersebut dan langsung menekan
gambar amplop yang tertera di display
ponsel.
SMS dari Rifa, sudah kuduga.
Rifa : Hi, dev. Udh
mkn blm?
Tanpa sadar, bibirku menyunggingkan senyum lebar.
Rifa memang perhatian. Sejak dua minggu yang lalu, makhluk tak dikenal bernama
Rifa ini mengirimiku SMS nyaris setiap waktu. Anehnya, aku tidak risih sama
sekali. Aku selalu menyambut, bahkan menanti SMS darinya mampir ke ponselku.
Sampai akhirnya aku berharap terlalu banyak ...
***
Tubuhku bergetar hebat, mataku nyaris bengkak
setelah seharian penuh menangis tanpa henti. Bukan, aku menangis bukan karena
sakit, tapi kecewa. Pacarku, Tian, seenaknya berpacaran dengan perempuan lain
di saat dia masih memiliki hubungan denganku. Siapa yang tidak kecewa
diperlakukan seperti itu?
Aku menyusut air mata yang masih bergulir di pipiku
dengan selimut yang sudah tak berbentuk saking kusutnya. Selimut itu sudah
sangat basah. Di tengah kegalauan, aku bahkan merasa kasihan pada Ibu yang
pasti akan kesulitan mencucinya.
Malam beranjak naik. Ibu berteriak-teriak dari luar
kamar memanggil namaku. Beliau meminta aku segera makan. Aku mendesah, baru
sadar kalau aku belum makan sejak tadi pagi.
Setengah melamun, aku beranjak dari atas ranjang
menuju ruang makan. Ibu dan Ayah sudah ada di sana, lengkap dengan sepiring nasi
dan lauk-pauk di hadapan masing-masing. Aku tersenyum sekilas pada mereka kemudian
duduk di samping ibu, berseberangan dengan ayah.
“Kamu kenapa, Nak?” tanya Ayah.
Aku mendongak. “Apanya yang kenapa? Aku baik-baik
aja.”
Ayah menggeleng tidak percaya. Ibu, yang duduk di
sampingku, ikut melirik ke arahku dengan tatapan cemasnya yang khas. Beliau
menyentuh wajahku. Lembut. Tanpa sempat berpikir ulang, aku langsung
menghamburkan diri ke dalam pelukan ibu dan mulai menangis tersedu-sedu. Air
mataku tumpah tak terbendung. Rasa kecewa yang sempat ingin kulupakan sejenak,
menyeruak kembali ke permukaan. Ya, sama sekali tidak pernah terbayangkan, aku—yang
selalu dipriorotaskan oleh Ayah—justru disakiti, dikhianati, dan tidak dihargai
oleh seseorang yang mengatasnamakan dirinya sebagai pacarku. Keterlaluan!
Ibu membelai rambutku sayang. “Jangan sedih, Nak.
Masih banyak laki-laki lain yang jauh lebih baik dari Tian. Tetap semangat.”
Aku tercengang. Ibu tahu dari mana? Sejauh yang bisa
kuingat, Ibu dan Ayah adalah tipe orangtua yang tidak pernah mengizinkan
anaknya berpacaran sebelum lulus SMA. Maka dari itu aku dan Tian jadi backstreet. Lalu ...
“Ini.” Ibu menepuk bagian dadanya. Seulas senyum
bijak terukir di wajah teduhnya. “Seorang ibu selalu tahu apa yang dirasakan
anaknya.”
Seketika darahku berdesir. Terbersit rasa bersalah
telah membohongi kedua orangtuaku. Mungkin jika dari awal aku jujur pada
mereka, Tian tidak akan berani kurang ajar padaku. Mungkin jika aku berterus
terang pada mereka, aku tidak akan pernah disakiti oleh cowok manapun. Mungkin,
mungkin saja.
“Devi!” panggil Ayah.
Aku menoleh. “Ya?”
“Ponsel kamu bunyi, tuh!”
Ibu melepas pelukanku. Aku mengerti kemudian mengulurkan
tangan meraih ponsel yang tergeletak di atas meja makan. Saking seriusnya
memeluk Ibu, aku sampai tidak sadar ponselku berbunyi cukup nyaring.
+6281909343434 :
hi, dev. Apa kabar?
Keningku berkerut dalam begitu membaca SMS tersebut.
Siapa ini?
***
Ternyata dia Rifaldi. Dia bilang namanya Rifaldi
tapi biasa dipanggil Edo. Merasa tidak terima dengan panggilan aneh itu, aku
meminta izin untuk memanggilnya Rifa saja dan dia setuju.
Rifa bukan orang yang kukenal. Dia adalah orang
asing yang secara mengejutkan tahu siapa aku dan tahu nomor ponselku. Dia
mengaku mendapatkan nomorku dari teman lamanya yang juga teman lamaku. Nama
temannya Hilda. Dan sumpah demi apapun, aku tidak pernah punya teman bernama
Hilda. Biasanya aku enggan meladeni SMS dari orang asing. Namun, entah apa yang
salah, aku membuat pengecualian untuk Rifa. Aku membalas pesan-pesannya penuh
suka cita.
Kegiatan saling berbalas pesan baru kami akhiri saat
waktu menunjukkan pukul 23.00 malam. Akan tetapi, sebelum semuanya benar-benar
berakhir, aku meminta alamat facebook
Rifa. Yah, biar bagaimanapun aku tidak ingin berakrab-ria dengan orang yang
tidak jelas seperti apa wajahnya. Siapa tahu ternyata dia perempuan yang
berpura-pura jadi laki-laki hanya untuk mengerjaiku. Atau malah dia laki-laki
sungguhan tapi berandalan. Semua hanya kemungkinan semata dan facebooklah yang akan menjawab segalanya.
***
Tidurku semalam benar-benar nyenyak. Kupikir aku
tidak akan bisa bangun lagi karenanya. Susah payah kubuka kelopak mataku yang
rapat bagai direkatkan lem.
Rifa cakep. Itu kalimat pertama yang melintas di
benakku begitu kesadaranku terkumpul kembali. Lewat foto-fotonya di facebook, aku yakin Rifa bukan anak
berandalan. Ia imut, manis, lucu dan ... keren? Mungkin hanya kata itu yang pantas
disematkan padanya.
Rrrrttt ...
Ponselku, yang semalam telah kuseting sunyi,
bergetar. Ada pesan masuk. Kuraih benda mungil tersebut untuk mengecek ada SMS
dari siapa.
Rifa : pagi,
dev. Nyenyak kah tidurmu smalam? Ada ngimpiin aku ga?
Kupukul keningku kuat-kuat. Ya ampun, Rifa narsis
juga ternyata.
Jariku baru saja akan menekan tuts ponsel ketika terdengar suara ketukan di luar kamar. “Devi,
kamu lagi ngapain, Nak? Ayo mandi sana. Hari Minggu jangan malas-malasan!”
Oh, Ibu, kukira siapa. “Iya, sebentar,” kataku.
Tergesa, kubalas pesan dari Rifa. Lalu secepat kilat
aku melesat menuju kamar mandi sebelum Ibu menyuruh dua kali. Beberapa menit
kemudian aku ke luar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di kepala. Dan
sesuai dugaan, sudah ada pesan masuk menanti balasanku.
Rifa : udh
mndinya? Eh, fb rifa udh dikonfir blom? Smalem rifa add pnya km loh.
Well, begitulah. Sejak saat itu Rifa jadi rutin
mengirimiku pesan singkat mulai dari sapaan basa-basi, cerita gak penting,
sampai curhat masalah pribadi. Tapi cowok tetaplah cowok. Selain menyapa,
cerita, dan curhat, dia juga tidak jarang meminta bertemu. Aku tidak menolak,
tentu saja, selain karena penasaran seperti apa wajah aslinya aku juga ingin
mengenal Rifa lebih dalam. Tapi permintaan Rifa tidak lantas aku penuhi begitu
saja, aku menundanya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dan jika kau
ingin tahu alasanku, itu sederhana : aku belum siap. Butuh waktu 2 bulan bagi
mentalku agar siap bertemu dengan orang yang belum pernah kukenal sebelumnya.
Aku terus menunda sampai akhirnya tiba hari itu.
Hari di mana aku berkunjung ke rumah teman SMPku, Melani ...
Jalanan sepi. Tidak ada satupun angkutan umum yang
melintas di depanku, padahal kalau tidak salah sekarang baru pukul delapan
malam. Namun beruntung aku tidak sendirian di sana. Beberapa meter di
belakangku ada dua orang bapak-bapak yang tengah sibuk bercengkrama satu sama
lain. Aku tidak kenal siapa mereka tapi aku yakin mereka orang baik-baik.
Mengabaikan orang-orang itu, sekali lagi kulirik
arloji yang melingkari pergelangan tanganku dengan lesu. Pukul 20.05. Aku menghela
napas berat. Yeah, seharusnya aku ingat tidak akan ada kendaraan yang melintas
larut malam begini di Pasawahan. Jadi aku akan berusaha pulang lebih awal dari
rumah Melani.
Sebenarnya Melani sempat menawarkan jasanya untuk
menemaniku menunggu kendaraan di pinggir jalan. Namun karena aku khawatir tubuh
mungilnya menjadi semakin kurus akibat terkena angin malam, maka aku menyarankan
lebih baik dia pulang saja. Ia menolak. Kami pun berdebat panjang lebar di
sepanjang jalan menuju jalan raya dengan keputusan akhir Melani menyerah. Ia kembali
ke rumahnya sambil berujar, “Hati-hati, ya?” kepadaku.
Jadi, di sinilah aku, mematung seorang diri di
jalanan yang sepi tanpa lalu lalang manusia, terpaku menanti kendaraan yang bersedia
melintas di hadapanku. Sayangnya, apa yang kunanti tak kunjung datang.
Tak sabar, kutekan nomor ponsel Ayah dan meminta
beliau segera menjemputku. “Ayah lagi di tempat kerja,” kata Ayah sukses membuat
lututku lemas seketika.
Dua orang bapak-bapak yang sedari tadi tak
mengacuhkanku, kini menatap penasaran padaku. Mereka heran mengapa dari tadi
aku diam terus di depan mereka. Ah, biarlah. Aku sudah cukup pusing tanpa perlu
mengacuhkan mereka.
Tiba-tiba terasa sesuatu menggelitik pahaku. Aku
terhenyak, rupanya ponselku bergetar. Ada panggilan masuk.
“Halo?”
“Halo, Devi. Kamu lagi di mana?”
“Aku lagi di Pasawahan. Ini siapa?”
“Ini Rifa.” Darahku berdesir. Tumben sekali Rifa
meneleponku. “Lagi ngapain kamu di Pasawahan? Sama siapa?”
“Abis main di rumah temen, sendirian. Sekarang mau
pulang, kok,” jawabku berusaha tenang.
“Ya udah, tunggu sebentar. Rifa jemput kamu
sekarang.”
Klik. Rifa langsung memutuskan sambungan tanpa
mendengar persetujuan dariku. Aku terkesima ... dan panik! Gawat, aku belum
siap bertemu dengan Rifa sekarang. Aku masih butuh waktu untuk berpikir,
sungguh.
Meskipun aku telah berusaha menolak sehalus mungkin,
akhirnya Rifa datang juga. Ia menepikan motornya tepat di sampingku, dan dengan
gaya cool ala cowok berkelas, ia
membuka kaca helmnya, dan tersenyum. Kau tahu, andai jantungku lemah, aku pasti
akan mati saat itu juga saking terpesonanya. Napasku tercekat. Dia ... orang
itu ... Rifa, sangat tampan. Lebih tampan dari Yong Hwa CN Blue.
“Ayo pulang,” katanya menyisakan tempat di boncengannya.
Aku mengangguk kikuk kemudian naik ke atas motor, bersentuhan dengan tubuh
hangat Rifa. Motor kembali melaju membelah kegelapan malam.
Tidak pernah kusangka ternyata malam itu menjadi awal
dari pertemuan-pertemuan kami selanjutnya. Setelah kejadian itu, seolah muncul
kontrak tak tertulis yang mengharuskan Rifa mengantar-jemputku ke sekolah
setiap hari, menemaniku bermain setiap Sabtu malam, dan membantuku
menyelesaikan PR sekolah yang menumpuk. Kami melakukan pertemuan tersebut di
luar pengetahuan Ibu dan Ayah tentunya.
Rifa begitu perhatian dan aku bahagia karenanya. Ia
selalu ada untukku. Menemani di saat suka dan duka. Mendengarkan segala
keluh-kesah yang kucurahkan padanya. Menghibur kala duka menghampiriku.
Yang kulakukan setiap bertemu dengannya adalah
melamun. Aku betah memandang wajahnya berlama-lama. Semakin diamati ia tampak
semakin tampan. Tidak ada laki-laki lain yang bisa menandingi pesona dan
kharismanya.
“Rifa pulang dulu, ya?” kata Rifa begitu aku aman di
depan gerbang rumahku. Kami baru saja pulang dari petualangan malam mengerjakan
PR di alam bebas dan sebagai cowok yang bertanggung jawab, ia mengantarkanku
pulang. Aku hanya mengangguk kikuk mengizinkannya pulang.
“Bye!” seru Rifa. Sedetik kemudian motornya melesat
meninggalkan pekarangan rumahku. Aku terkesima. Aku tahu seharusnya ini tidak
terjadi, tapi aku merasakannya. Ya, ada getaran hebat yang menjalari seluruh
saraf dalam tubuhku. Ini bukan yang pertama kalinya, aku hafal betul apa arti
getaran-getaran ini. Benarkah aku jatuh cinta pada Rifa?
***
Pekan ini aku akan menghadapi Ujian Tengah Semester.
Oleh karena itu aku harus lebih fokus belajar dan jika aku ingin mendapatkan
hasil yang memuaskan, maka aku mesti mengurangi frekuensi SMSan ku dengan Rifa.
Beruntung Rifa mau mengerti. Ia dengan sendirinya menghilang dari peredaran
tanpa kuminta.
Sesekali saat rasa bosan belajarku muncul, kulirik
layar ponsel yang tidak pernah menyala sejak hari pertama UTS. Sunyi. Rifa
sungguh-sungguh memberi ruang bagiku untuk belajar serius.
Aku berbahagia atas pengertian Rifa sampai akhirnya
akal sehatku mengatakan ini tidak benar, sesuatu yang tidak beres tengah
terjadi.
Maka begitu UTS berakhir aku langsung mengirim SMS
padanya. Tidak dibalas. Bahkan setelah 5 jam kemudian aku menunggu, balasan tersebut
tak kunjung datang. Aku bergerak-gerak gelisah di depan lemari pakaian. Otakku
sibuk menerka-nerka apa alasan Rifa tak kunjung membalas pesanku. Mungkinkah
dia sedang sibuk? Atau ia mengira aku masih ujian?
Penasaran, kucoba menghubungi ponselnya. Operator
wanita yang menjawab. Nomor Rifa tidak aktif.
Aku mendesah putus asa, sama sekali tidak mengerti
apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Selama berteman denganku, Rifa belum
pernah mematikan ponselnya satu kali pun, dan lagi ia selalu membalas pesanku.
Jadi, ada apa?
Menyisakan berbagai praduga di dalam pikiran, mataku
terpejam dengan sendirinya. Rasa lelah setelah seminggu penuh berkutat dengan
soal-soal berstandar internasional menyergap ragaku tanpa ampun.
“Mungkin besok nomor Rifa udah aktif,” gumamku
menciptakan secuil harapan yang membawa jiwaku melayang, terlelap masuk ke alam
mimpi.
***
‘Sorry, the
number you’re calling is not active. Please try again latter.’
“Arrrggghhh ....” jeritku putus asa. Rifa masih
belum mengaktifkan nomornya, atau malah ia tidak akan pernah menggunakan
nomornya yang dulu lagi. Ia ganti nomor.
Ah, ia mengganti nomor selulernya tanpa
memberitahuku, bagus. Aku tersenyum getir. Inikah akhir kisah antara aku dan
Rifa? Kisah yang bahkan sebenarnya belum dimulai. Jika iya, kenapa ia
meninggalkanku tanpa alasan? Setidaknya jika ia bilang, “Aku gak mau temenan
lagi sama kamu, abis kamu bau, sih.” aku jamin aku pasti akan mengerti. Aku
tidak akan mempersoalkannya lagi. Beres.
Tapi kalau begini? Ia meninggalkanku dalam ketidakpastian
antara benci atau bosan padaku. Bosan? Ya, sepertinya itu alasan yang paling
masuk akal. Ia bosan menjadi temanku hingga memutuskan untuk menjauhiku saja.
Ia lelah terlalu lama bersandiwara, berpura-pura menyukaiku padahal
sesungguhnya ia tidak punya rasa padaku.
Tanpa sadar mataku memanas, menciptakan genangan air
bening yang perlahan menetes membasahi permukaan wajahku. Terasa sesuatu
merintih di dadaku, sangat perih. Aku menangis tertahan. Batinku berkecamuk
sibuk menyalahkan Rifa. Kalau saja malam itu dia tidak pernah mengirimiku SMS,
mengajak berkenalan, dan membuat aku GR setegah mati akibat
gombalan-gombalannya yang TOP abis, mungkin aku tidak akan pernah merasakan
sakit ini. Sakit yang mendera sampai ke ulu hati.
Berhari-hari aku bertingkah layaknya orang linglung,
menatap layar handphone tanpa
berkedip, berharap dia—Rifa—suatu waktu akan kembali mengirimiku SMS lagi
setelah seminggu penuh menghilang tanpa kabar, lalu mengatakan ‘I Love You’ padaku. Namun aku harus
kembali menelan kecewa begitu sadar keinginanku itu terlalu muluk. Dan ya,
nyatanya, Rifa tidak pernah menghubungiku lagi. Ia benar-benar telah
melupakanku.
Mencoba mengalihkan perhatian, kubuka sebuah media
sosial facebook. Bukannya lebih
tenang, aku justru langsung histeris setelah membaca kabar berita di facebook.
Rifaldi dan
Windy Alatau berpacaran.
Tangisku pecah seketika. Rasa perih mulai menjalari
seluruh tubuhku. Mengapa Rifa tega melakukan ini semua padaku? Jika ia memang
tidak pernah berniat untuk menjadikanku lebih dari sekedar teman SMSan, lalu
apa arti perhatiannya selama ini? Apakah ia hanya ingin mempermainkan aku saja?
Dengan tangan yang bergetar hebat, kugeserkan mouse ke arah nama Windy kemudian
membuka profilnya di tab baru. Jatungku bergemuruh hebat. Ternyata Windy gadis
yang sangat cantik. Mataya sipit, bibirnya tipis, dagunya lancip, lehernya
jenjang, tingginya proporsional, dan senyumnya—aku menelan ludah—mirip dengan
senyum Rifa. Seolah mereka memang ditakdirkan untuk menjadi pasangan kekasih.
Hening.
“Aaarrrghhhh, aaaarrrghhh ...” Aku menjerit-jerit
frustasi. Kuraih benda-benda terdekat dan langsung melemparkannya sesuka hati.
Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Rasa kecewalah penyebab semuanya.
Seseorang memasuki kamarku secara paksa namun tidak
kupedulikan. Aku terus menjerit tanpa henti sampai sebuah lengan hangat
merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Aku berontak, berusaha melepaskan
pelukan orang itu. Gagal. Ia memelukku sangat erat.
“Jangan, Sayang. Jangan putus asa karena cinta.”
Ibu ...
“I ... bu ... ibu ...” bisikku terputus-putus.
Ibu tersenyum sambil terus memelukku. Ia membelai
rambutku penuh cinta. “Dengarkan kata ayahmu, jangan membangkang.”
Aku menggeleng pasrah. Tersedu-sedu, aku menangis
dalam pelukan Ibu. Baru kusadari ternyata pelukan Ibu amat sangat hangat dan
nyaman, lebih hangat dari pelukan Rifa atau cowok manapun yang pernah
memelukku. Dalam pelukan Ibu otakku dapat kembali berpikir jernih. Lambat laun
aku mengerti apa arti ucapan Ibu tadi. Ya, Ibu benar. Jika aku tidak ingin
disakiti oleh laki-laki manapun maka aku harus menuruti keinginan Ayah agar
jangan dulu berpacaran sampai usiaku cukup dewasa untuk menjalin hubungan
dengan seorang laki-laki. Ingat, ‘laki-laki’, bukan cowok. Kalau aku tidak
menghentikan semua ini sekarang juga, aku yakin akan muncul Rifa-Rifa lain yang
ikut menyakiti hatiku.
Ah, semoga saja tidak.