NASKAH DITOLAK (DUKUN
BERTINDAK?)
oleh Christian Simamora
Full (Catatan) pada 28 Oktober 2010 pukul 10:12
Here comes the bad
memories: ya, saya pernah
ditolak. Dua kali malah. Dan saat itu saya merasa editor adalah orang paling
kejam yang pernah saya kenal seumur hidup (which is agak ironis ya,
karena lihatlah saya sekarang, hehe). Bukan itu saja, penolakan itu
membangkitkan pertanyaan berbahaya di benak saya: apakah saya benar-benar punya
bakat di dunia tulis-menulis ini? Apa mungkin saya memang ditakdirkan mencari
pekerjaan yang biasa-biasa saja—seperti manusia normal lainnya?
Jadi, yeah,
buat teman-teman yang baru saja atau pernah ditolak naskahnya oleh sebuah
penerbit, jangan buru-buru merasa jadi pecundang. Yang ditolak bukan kamu saja
kok. Dan sama seperti kata D’Masiv di lagunya: Jangan Menyerah.
Banyak Alasan Kenapa
Naskah Ditolak
Saya pernah tanya ke
seorang penulis, kenapa naskahnya ditolak penerbit. Dengan wajah sedih, dia
berkata lirih, “Yah, paling karena jelek lah, Bang.”
Memang benar, naskah
ditolak berarti di bawah standar penerbit itu. Tapi sebenarnya, bukan itu saja
faktor yang membuat naskah tersebut dikembalikan. Satu, bisa jadi tidak sesuai
karakter penerbit. Ada penerbit yang menerbitkan fiksi bertema religius—coba
bayangkan, kira-kira apa yang terjadi kalau Shit Happens dikirimkan
ke sana? Bakal diterima nggak?
Dua, naskah kamu bukan
jenis terbitan mereka. Jadi cermati baik-baik terbitan mereka yang terbaru.
Catet, terbitan terbaru (tahun ini), bukan tiga atau empat tahun lalu.
Perbukuan adalah dunia yang dinamis, dan dunia ini juga mengenal istilah ‘tren’
dan ‘konsentrasi terbitan’. Bisa jadi yang empat tahun oh-so-famous, tahun ini
sudah tidak diterbitkan lagi.
Tiga, isu SARA dan
kontroversial di naskahmu. Khusus yang ini, harap kamu berhati-hati.
Bermain-main di naskah yang edgy dan pushing
boundaries memang tantangan menggoda, tapi harap lakukan dengan
memperhatikan kenyamanan para pembaca juga. Nggak lucu lho nge-joke soal
orientasi seksual, agama, suku, atau kelompok masyarakat tertentu. Saya percaya
kamu bisa kok membuat pembaca tertawa terbahak-bahak tanpa harus membuat orang
lain tersinggung. Spongebob saja bisa....
Naskah
Dikembalikan—Terus Harus Gimana Dong?
Penerbit yang baik
biasanya akan memberitahukan poin-poin minus naskahmu. Perhatikan baik-baik
poin tersebut karena dari situlah kamu bisa memutuskan apakah naskah itu masih
layak untuk direvisi atau sebaiknya menulis naskah baru saja.
·
Kalau yang bermasalah adalah porsi deskripsi yang kurang berimbang
dengan narasi (“Naskah kamu masih ‘telling’, nggak ‘showing.’”),
dan setting yang kurang meyakinkan—selamat! Kamu masih bisa berharap
banyak dengan naskahmu ini. Solusinya pun simpel: revisi sesuai permintaan
editor.
·
Kalau yang bermasalah adalah karakter tokoh (“Klise, nggak
konsisten, tidak menarik, dsb....”, plot dan konflik (“Cerita kamu datar,
konflik kurang kuat, dsb....”), dialog (“Bertele-tele, kaku, dsb....”), gaya
penulisan—ouch. Sebaiknya kamu menulis naskah baru saja. Segigih apa pun
kamu merevisi, hasilnya nggak akan terlalu memuaskan.
Lalu, bagaimana kalau
ditolak oleh penerbit yang bahkan tidak mau repot-repot memberi poin-poin
kritikan seperti itu? Saya mengalami yang seperti ini. Dan hal pertama yang
saya lakukan (setelah berhasil ‘bangkit’ dari momen berduka selama seminggu
lebih, hehe) adalah memata-matai buku terbitan penerbit itu. Cari tahu seperti
apa buku best-seller mereka, tema-tema apa saja yang jadi unggulan di sana,
siapa-siapa saja penulis kebanggaan mereka—cari tahu sampai sedetail-detailnya.
Saya ingat, dulu, di
salah satu talkshow-nya, Raditya Dika pernah bilang, dia mengasah
naluri menulis komedinya dengan membaca novel-novel Lupus—religiously.
Dia membaca ulang semua novel-novelLupus, dan menggarisbawahi bagian
mana saja yang membuat dia tertawa. Nah, konon, saat menulis buat blog-nya
(yang kelak menjadi buku Kambingjantan) berdasarkan apa yang dia
pelajari dari novel-novel itu.
Saya mencoba hal serupa
sebelum menulis Macarin Anjing. Saya memata-matai beberapa judul
novel remaja bestseller dan mempelajari baik-baik semua
elemennya—yah, jadinya seperti menganalisis bahan makalah deh! Seperti apa
penulis membuat bab pertamanya, bagaimana juga cara si penulis mengakhiri
ceritanya, bagaimana menyelipkan line-line komedi dan romantis
di dalam dialog, bagaimana si penulis membuat karakter utamanya, bagaimana si
penulis mengolah konflik cerita, dan sebagainya. (Funny thing is,
beberapa bulan setelah Macarin Anjing terbit, saya dihubungi
oleh seorang mahasiswa yang tertarik menjadikan novel itu sebagai bahan
skripsi).
Ejaan Berbahasa
Tak sekali dua kali saya
mendengar celotehan teman-teman penulis yang bilang ejaan itu urusannya editor.
“Tugas kita ya nulis aja.” Ada benarnya sih. Tapi pernah nggak teman-teman
berpikir, para editor-lah yang menentukan naskahmu layak diterbitkan atau
nggak. Jadi, daripada menganggap remeh urusan ejaan ini, coba deh kamu bereskan
sendiri jauh sebelum memutuskan mengirimkan naskah ke penerbit.
Mereka paham benar nggak
semua penulis mengerti betul soal EYD dan sodara-sodaranya, tapi bisa kan
paling nggak memperhatikan betul... minimal tanda baca deh. Ini beberapa contoh
kasus yang pernah saya temukan di tumpukan-tumpukan naskah yang ditolak (versi
biasa dan versi ekstrim):
*
“sampai dmn kita
tadi?ohya,pacar gw yg baru.standar si tampangnya.nggak bakal bikin lo ngiler gt
deyyy...” , celoteh nita sama temen sekamarnya yg bernama evi (tp dipanggilnya
ephoy)
“ni...anak!!!klo standar
knapa dipacarin c,buuuu!”, ephoy menimpuk nita dengan bantal yg td dipake buat
bobo siang.
“suka2
dooooooooooongs!”, nita ngakak2 aza.
(Ini kan naskah novel,
bukan SMS atau postingan spontan di wall Facebook. Kasihan editornya ah kalau
semuanya disingkat-singkat, dan pakai huruf kecil semua)
*
4nyway... 4k 5m c0WoK it
dh jln d-TG hr4n. yh, 5t4ndr-5tandr 6tlh. mAkn mLAm k5l D fdc0urT (M35k1pN rs
clm4r-nY 5mp4h Abi5), lalu nntn f1lm brny r35 wth3r5pn (5m3 ChicK flcK... lMYn
sh tpNy). oBrln Sh Lmy4N 45Yk, m5kpUN 55kl rd j4h Dr 15i k3plK—k4yk...
tib-tbA N60mn6n 6lbl Wrm1ng? hny, 1’M nt grenpc3....
tp b6an plng men6JTkn,
he w5N’t tryN6 t0 k5S m. n65h T4nd-tnd K3 5t j6 n66k. kcW. btE. Bkn AK mKr Jlk,
4pA jN6An-j4N6n 4k 1n n66k CkP ks5bL d m4tnY? 6t? dn smkn dPK1r-Pk1r l6, nih
Cw0k BWANNy j6 jrk MLl. kyk 4k kn kU5T 4t 4plh. pokkny, aKu nn6k3P k35aN d14
j1JK 6tU 5M Ak.
(I have no problem on
Alay people. Tapi, serius deh, tega amat nulis novel berpuluh-puluh halaman
dengan gaya Alay... -___-)
(p.s. contoh itu bikinan
sendiri lho—bukan dari naskah beneran. Nggak tega ah)
Nyali
Ditolak sekali, masih
semangat. Ditolak dua kali, mulai berpikir panjang. Ditolak berkali-kali,
mindernya keluar deh. Saya tahu, mencoba berdiri lagi setelah gagal
berkali-kali memang berat, tapi ya berdasarkan pengalaman bagian ini bukan hal
terberat menjadi penulis lho (I will tell you later).
Aza-aza fighting, Teman! Cuma itu yang bisa saya bilang.
Percayalah, di suatu masa di proses panjang dan melelahkan ini, kamu bisa
menaklukkan editor-editor itu dan membuat mereka jatuh cinta pada tulisanmu.
Jadi, sampai yang seperti itu benar-benar terjadi dalam hidupmu, tetaplah
menulis.