Ketika jantungku bergemuruh setiap
berada di dekatnya, aku tahu telah jatuh cinta padanya.
Ketika bibirku tak kuasa mengungkapkan
apa yang tengah bergejolak dalam dada, aku tahu telah jatuh hati padanya.
Ketika setiap waktu kuhabiskan hanya
dengan memikirkan tentangnya, aku tahu telah jauh menyayanginya.
Dan ketika mata tak kuasa menahan tangis
setiap merenungi seberapa dalam perasaanku padanya, aku tahu akan sulit
melupakannya begitu saja.
Aku telah mencintainya, dan melupakannya
adalah hal termustahil di dunia.
***
“Siapa orang yang ada dalam pikiran lo
saat ini?” tanya Cecil penasaran. Ia menatapku lekat seolah mencegah jawaban
dusta terlontar dari bibirku. “Gue tebak! Pasti cowok. Iya, kan?”
Sejenak, aku tersipu-sipu. Merasa malu
pikiranku dapat ditebak semudah itu. “Tentu. Guess what!?”
“Apa?”
“Gue...” Aku memajukan wajah beberapa
senti ke telinga Cecil. “Gue lagi jatuh cinta.”
“Lagi!?” Cecil berseru sok kaget seolah
aku jatuh cinta setiap hari saja. “Bukannya kemaren lo baru aja patah hati?”
“Sekarang udah move-on, dong!” tukasku
apa adanya. Nyatanya aku memang sudah melupakan sama sekali rasa sakit selepas
berpisah dengan— orang itu.
Cecil kembali memasang wajah serius.
“Siapa kali ini?”
“Fian.”
“Sopian mana lagi?”
“Bukan, kali ini namanya murni Fian.
Fian Ramadhan Nurpratama lengkapnya.”
“Sekolah?”
“Ya. SMKN 1 Purwakarta, kelas XI, putra
dari Bapak Sodikin.”
“Oh ya? Kapan lo kenal dia?” tanya Cecil
lagi.
Aku mencoba mengingat-ingat. “Tanggal
belasan di bulan Februari. Gak tau kapan tepatnya. Dan kami mulai bikin
komitmen buat bersama sejak 24 Februari, tepat di hari Minggu dan sempat putus
seminggu kemudian.”
“Dia baik?”
“Jelas lah! Udah baik, perhatian, so
sweet, cakep pula!” pujiku sejujur-jujurnya membuat Cecil menahan mual.
“Gue gak percaya dia perhatian,” aku
Cecil terang-terangan.
“Dia perhatian. Dia selalu nanya aku
udah makan apa belum, udah shalat apa belum, dan sejuta pertanyaan kecil namun
berarti lainnya. Pernah suatu hari kami berantem dan aku minta dia dateng ke
rumah aku. Dan dia dateng! Padahal waktu itu lagi ujan loh, Bro!
“Pernah juga waktu kami main bareng ke
Jatiluhur gue iseng minta digendong sama dia. Dan dia bersedia! Dia adalah
cowok pertama selain Ayah yang udah gendong aku. Selanjutnya kami shalat
berjamaah dengan dia sebagai imam. Abis shalat kami salaman. Yang gak aku duga
adalah, setelah salaman dia kecup kening aku lembut. Haaa... jadi ngerasa kayak
udah punya suami.”
“Haiyah?” Cecil sok-sok kaget. “Sisi
buruknya?”
Aku tertunduk cukup lama hingga akhirnya
berkata, “Gak ada. Di mata aku dia yang paling sempurna. Walau jujur aku pernah
sakit hati sama dia, tapi jauh di lubuk hati aku yang terdalam mengakui kalo
dia cowok terbaik di antara yang pernah mengisi hati aku. Dia yang paling
mengerti aku. Dia yang paling manjain aku. Dia juga yang paling bikin aku
gila.”
“Apa harapan kamu buat hubungan kali
ini?”
“Satu aja : aku pengen dia jadi yang
terakhir buat aku. Kami akan bersama selamanya sampai janur kuning terkembang,
sampai kami punya keturunan, sampai rambut kami sama-sama memutih, sampai kami
kembali ke tempat peristirahatan terakhir. Aku mau dia yang nemenin masa tua
aku. Dia yang menjaga di saat aku sakit, takut, dan terpuruk. Aku mau dia yang
menyematkan cincin di jari manisku. Aku mau suaranya yang menemaniku sebelum
masuk ke alam mimpi. Aku cuma mau dia, bukan yang lain.”
“Ada lagi?”
“Buat Fian, please hargain aku. Jangan
pernah sakitin aku terlalu dalam. Aku mau kita bersama selamanya. Aku sayang
kamu. Bener-bener sayang kamu.”
Cecil menghela napas panjang. Ia melipat
tangan di depan dada seraya menatapku lembut. “Percaya deh, 5 Desember sama 21
Januari itu bakal langgeng. Apalagi Nurjanah-Linda dan Sodikin-Endan. Gak ada
kemiripan tapi pasti abadi. Semoga.”
Kami mengakhiri diskusi kali ini dengan
doa bagi kelangsungan hubunganku dengan Fian. Kuharap kalian ikut mengaminkan.
Terima kasih.