Jodoh atau Bukan, Inilah Kami Apa Adanya :)

Monday 31 March 2014
Aku tidak pernah tahu apakah Fian cinta sejatiku atau bukan, apakah ia jodohku atau bukan, apakah kelak ia yang menjadi imamku dan ayah dari anak-anakku atau bukan. Maksudku... belum. Aku belum tahu. Yang aku tahu, setiap berada di sampingnya aku merasa menjadi diriku sendiri. Aku bersikap apa adanya, begitu pun dia.

Di depannya aku tak canggung bersikap bodoh dan memalukan, begitu pun sebaliknya.

Hal-hal yang mungkin berusaha kalian sembunyikan di depan pasangan justru kami lakukan. Jika ingin blak-blakan, mungkin ada sebagian dari kalian yang merasa jijik. Tapi percayalah, kami tidak malu melakukan itu. Bukan kami sudah tidak punya rasa malu, kami hanya ingin tampil apa adanya di depan pasangan. Agar jika kelak kami benar-benar menikah, tidak ada kekagetan dan rasa ilfeel mendalam begitu mengetahui kebiasaan aneh pasangan.

Aku pernah kentut bersuara di depannya. Dia juga.
Aku pernah mengelap ingus di lengan bajunya. Dia juga.
Aku pernah... Ah, sudahlah. Tidak pantas untuk diceritakan. Salah-salah kalian bisa mual karenanya. Hehe.

Satu hal yang mesti kalian tahu. Aku dan Fian memang selalu terbuka dalam segala hal, tidak malu bersikap memalukan. Tapi kami masih menghormati batasan norma. Kami masih menghargai aturan kesusilaan. Berusaha tidak melanggar batasan norma agama.

Aku dan Fian belum tentu berjodoh. Namun kami selalu berharap, semoga inilah cinta sejati yang kami cari selama ini.

Fian        : Kenapa harus kamu sih yg sifat dan kepribadiannya ga beda jauh sama aku :D :p :|
Devi       : Mungkin nanti ada lg yg lain ;)
Fian          : Jawaban yang tepat adalah memang kau lah seseorang(jodoh) yang aku cari selama ini :)

Happy 1st Anniversary DeFian ~ 24th February

Menu makan di peringatan satu tahun jadian kami. Bikinan berdua loh :p Kapan-kapan deh aku ceritain hobi masak bareng antara aku dan Fian.
























Potongan beberapa adegan di video "12 whises" kami




Kapan-kapan juga deh aku ceritain selengkapnya seperti apa :3

Cerpen : Lavia ~ By Alexandra Leirissa

Saturday 29 March 2014
Suatu malam remang-remang. Di sebuah jalan raya yang sepi. Tepat pukul sembilan lewat tujuh menit.

Dari balik kaca mobil, Dio membelalakkan mata. Astaga! Apa tak salah lihat nih? Bidadari turun dari mana itu?

Di bawah sinar temaram lampu kuning, di tepi jalan nan sepi itu, berdiri sesosok gadis di keremangan. Tampak begitu memesona.

Tanpa berpikir dua kali, Dio membanting setir Panther hijau tuanya. Secepat itu pula kakinya menginjak rem kuat-kuat.

CIIITTTT!!!!!

Gadis itu tersentak. Menoleh dengan mata terbelalak.

Ooh… My God! Dia benar-benar cantik! pikir Dio. Dan saat dia menurunkan kaca mobil, rasanya pikirannya sudah tak bisa lurus lagi.

“Hai. Malam-malam begini, kok sendirian?” sapa Dio dengan mata berbinar-binar.

Gadis itu menatap Dio dengan saksama. Hati Dio semakin gencar memuji makhluk memesona di hadapannya. Ya. Karena memang gadis di hadapannya itu sangat cantik. Rambutnya hitam lurus hingga melewati garis pinggang. Matanya bersinar lembut dan begitu dalam, memberikan pijar mengesankan yang misterius. Ditambah kulitnya yang putih bersih, dagu lancip yang menawan, serta bibir berbelah, dia sungguh tampak sempurna.

Dio menelan ludah. Ini benar-benar malam keberuntungannya! Tanpa ada keraguan, dibukanya pintu mobil. Dio melangkah turun.

“Namaku Dio. Kamu?” Dio mengulurkan tangan kanannya.

Sepasang mata itu memandang tangan Dio sejenak. Kemudian beralih pada wajah Dio.

Entah mengapa, Dio merasa ada keganjilan yang dipendarkan gadis itu untuknya. Dio sedikit ngeri. Hei! Jangan berprasangka! bisik hatinya.

“Lavia,” jawab gadis itu lirih, tanpa mengacuhkan tangan Dio di hadapannya.

Bahkan suara gadis itu pun begitu halus dan merdu. Dio menurunkan tangan kanannya yang terulur sia-sia. Tak apa! Jangan pesimis! bisiknya penuh semangat.

“Mau pulang?” tanyanya seramah mungkin.

Gadis itu mengangguk.

“Nunggu dijemput, ya?” pancing Dio.

Sekali lagi gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang begitu tipis dan mengena. “Dijemput angkot.”

Dio kian terpesona.

“Aku baru saja selesai les di bimbingan belajar itu…” Gadis itu menunjuk sebuah bangunan bimbingan belajar yang tak jauh dari tempat itu.

Dio manggut-manggut. Otaknya berpikir cepat. “Angkot jarang lewat di tempat ini, tau!” Ia mulai menjalankan rencananya.

Gadis jelita itu menatap ke ujung jalan yang sepi dengan wajah sedih.

“Gimana kalau kuantar pulang?” tanya Dio hati-hati.

Jangan ditolak! Jangan ditolak! hati Dio berharap setengah mati.

Gadis itu tampak ragu-ragu.

“Mau, ya? Aku nggak gigit kok!” desak Dio basi. Sedikit cemas kalau angel di depannya ini akan menggeleng.

“Aku nggak mau merepotkan.”

“Nggak! Tentu aja nggak! Sama sekali nggak akan merepotkan!” sergah Dio tergesa-gesa.

Sejenak lagi sosok elok itu tampak menimbang-nimbang.

Dio memanjatkan sejuta doa dalam hati. Matanya tak berani berkedip. Seolah takut kalau sampai tak melihat seandainya gadis itu mengangguk.

“Baiklah…” Gadis itu pun tersenyum.

Tiba-tiba Dio merasa bunga-bunga merekah di sekelilingnya. Senyum gadis itu… ck ck ck… wuihhh…. Alangkah memesona….

***

“Dio! Gue serius! Jangan main-main sama tuh cewek deh!”

Dio mengerutkan keningnya kurang suka. Wajah Bagas tampak sedikit memucat di hadapannya. “Eeh, lo jangan sirik gitu dong! Mentang-mentang gue yang ketiban rezeki, kenalan sama cewek cuaaantiiik!”

“Gue serius, man!” tegur Bagas semakin keras kepala.

“Tapi kenapa?” balas Dio tak mau kalah.

Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gelisah. “Soalnya… abang gue sempet juga mengalaminya.”
Dio langsung membelalak tak menyangka. “Bang Ari juga kenal sama angel gue?”

Bagas mengangguk berat. “Kejadiannya sama persis. Abang gue ngelewatin jalanan itu di suatu malam, dan ketemu cewek yang cuaantiiik banget lagi berdiri di bawah sinar lampu jalanan sepi yang remang-remang itu…”

Dio langsung mendengus tak rela. “Mungkin aja cewek cantik lain.”

“Namanya Lavia,” sahut Bagas sambil menatap Dio lurus-lurus.

Kali ini Dio tertegun.

Bagas tersenyum puas, menyadari bahwa sekarang dia berhasil membuat Dio tertarik pada ceritanya. “Tuh cewek cantik nggak nolak diantar pulang. Jelas aja abang gue kegirangan.”

“Terus?”

“Merasa mendapat angin, beberapa hari kemudian Bang Ari datang ke rumahnya. Tapi lo mau tau apa yang terjadi?”

“Apa?” tanya Dio berdebar.

“Katanya, cewek bernama Lavia itu telah lama meninggal! Meninggal karena ketabrak mobil waktu pulang dari tempat lesnya…!”

Dio melotot. “Maksud lo, angel gue itu setan?”

Bagas tersenyum pahit. “Yah…., silakan simpulkan sendiri!”

“Nggak mungkin!” seru Dio marah. “Elo pasti bohong!”

“Bohong gimana?! Abang gue yang cerita kok!”

“Kalo gitu, abang lo yang bohong!”

Bagas menatap sahabatnya dengan sedikit kesal. “Dio, gue kan cuma berusaha mengingatkan elo.”

“Mana ada setan secantik itu?!”

Bagas menghela napas putus asa. “Oke… Gini deh! Kalo elo nggak bisa percaya, gimana kalo kita buktikan aja? Elo kan udah tau rumahnya. Coba aja kita kunjungi dia.”

Dio tercenung. Terdiam. Bagaimana kalau gadis itu benar-benar setan? Bisa-bisa…

“Takut?” sindir Bagas dengan senyum mengejek.

Ego Dio tergelitik. Segala kekhawatirannya pun berguguran. “Takut? Takut apa?” tantangnya merasa dihina.

“Jadi berani nih?”

Dio mencibir. “Gue nggak mau buang-buang waktu. Langsung pulang sekolah nanti, kita berdua ke sana!” sumringah Dio.

Bagas melotot. “Eh! Eh! Eh! Kenapa gue jadi dibawa-bawa?” protesnya.

“Elo kan juga harus melihat bukti bahwa Lavia itu manusia! Bukan setan! Kalo nggak, ntar elo nyangka gue bohong, lagi!” sahut Dio dengan nada memaksa. Padahal, kalau cuma sendirian, tentu aja gue ngeri, semprul!!! gerutunya dalam hati.

“Tapi…” ujar Bagas ragu.

“Takut?” Ganti Dio yang mengejek.

“Takut?” dengus Bagas memasang tampang belagu. “Jadi jam berapa kita berangkat?”

***

Dengan tangan gemetar, Dio menekan tombol bel listrik di sisi kiri pagar rumah itu. sementara Bagas sudah mengkeret di balik punggung Dio, mencari perlindungan dari ketakutan yang membuat detak jantungnya tak punya frekuensi yang jelas lagi.

Rumah itu terlihat sangat sederhana dan asri. Berpagar rendah yang dicat putih dengan celah-celah lebar.
Dio sibuk menenangkan hatinya. Mana mungkin ada setan punya rumah begini indah dan ceria? Pasti salah. Bagas pasti salah. Tak ada setan di rumah ini. Apalagi kalau Lavia yang jadi setannya.

Ketika terdengar suara kunci pintu depan mulai dibuka, jantung Dio terasa menggelepar tak keruan. Tiba-tiba saja dia berpikir untuk minggat dari tempat itu, saat itu juga.

“Dio, kita pulang aja yuk,” desis Bagas yang tak kalah ketakutan.

Dio merasa kakinya nyaris tak mampu berdiri tegak lagi. Hampir dia mengangguk dengan penuh persetujuan. Tapi…

Pintu itu terkuak, dan menampilkan makhluk jelita di baliknya. Lengkap dengan rambutnya yang panjang hingga melewati pinggang, kulitnya yang putih bersih, dan dagu lancipnya yang menawan….

Dio membelalak. Lavia!

Dilihatnya Bagas sampai terlongo-longo melihat angel-nya itu. Lalu Dio mendengar napas lega yang ditariknya sendiri.

Ternyata Lavia bukan hantu! Ah, ya jelas bukan!!! Mana mungkin gadis secantik itu hantu gentayangan? Lavia itu manusia. Manusia yang tercipta dengan sangat menawan. Ya! Jelas-jelas manusia. Buktinya dia berdiri di sini. Dan kakinya pun tidak mengambang! pikir Dio benar-benar lega.

Dio menoleh ke arah Bagas. Disunggingnya sebuah senyum lebar penuh kemenangan. Tahu rasa dia! Belaga menakutinya dengan cerita misteri picisan. Padahal Bagas sendiri malah terbengog-bengong dengan mulut menganga lebar dan mata nggak bisa berkedip gara-gara menyaksikan gadis yang dituduhnya sebagai setan.

“Setan gentayangan di siang bolong?” sindir Dio nyinyir.

Bagas tak peduli. Masih takjub melihat si cantik jelita yang melangkah mendekat. Pantas saja Dio memberinya gelar angel! batin Bagas terpesona.

Lalu, dengan penuh semangat dan pede berlebihan, Dio memandang gadis yang kini berdiri di balik pagar di hadapannya. Gadis itu tengah menatap mereka, tanpa berkata-kata.

“Maaf nih, aku mengganggu. Aku dan nih cowok bego kebetulan lagi lewat daerah sini. Boleh kan kami mampir sebentar?” dusta Dio riang.

Sepasang alis hitam gadis itu bertaut. Sayang, Dio tak sempat menyadari.

Dio menoleh kea rah Bagas dengan sumringah. Lalu dengan penuh keyakinan dia berkata, “Bagas, kenalin dulu. Ini…”

“Kalian siapa?” suara halus itu menyela tegas.

Dio terenyak. Dengan cepat dia menoleh ke wajah cantik yang tadi bertanya. Lho, kok?

Gadis itu memandang ke arahnya dengan raut kebingungan. “Kalian ini sebenarnya siapa?” ulangnya.

“Lavia? Masa sudah lupa sama aku? Aku kan baru nganterin kamu pulang les tadi malam…” Dio kebingungan.

Detik itu juga, gadis itu membelalakan matanya. Napasnya tertahan tiba-tiba. Seolah sesuatu yang pekat menjerat kerongkongannya. “La… Lavia?” desisnya. “Kalian bertemu Via?”

Bagas jadi tak mengerti. Apalagi Dio. Tapi prasangka buruk mulai bergema.

Gadis itu menarik napas dalam dan panjang. Wajahnya tampak murung. “Rupanya dia melakukannya lagi…,” terdengar gadis itu mengeluh lirih.

“Sebenarnya ada apa?” akhirnya Bagas tak tahan untuk tetap diam.

Gadis itu tersenyum pahit. “Namaku Lania. Lavia itu kakak kembarku.”

“Ka… kakak kembar?” Dio menekan debar-debar buruk yang memekakkan perasaannya. Diliriknya Bagas. Tapi wajah sahabatnya itu bahkan sudah lebih dulu memucat.

“Via… Via sudah meninggal… Kira-kira dua tahun yang lalu…” Gadis itu memandang Bagas dan Dio penuh luka. “Dia meninggal karena tertabrak mobil ketika pulang dari tempat lesnya.”

Dio merasa segalanya mulai berputar. Jadi… Jadi yang tadi malam itu… Yang berkata baru pulang dari les di sebuah bimbingan belajar…?

Bagas membelalak. Sementara Dio merasa keringat dingin menetes pelan-pelan.

“Sebelum ini, Via memang pernah melakukan hal semacam ini. Tapi nggak kusangka dia akan mengulanginya lagi…”

Bagas makin memucat. Sementara Dio tetap terperangah.

Lavia ternyata benar-benar setan?

“Kaa… Kami pppeeerrmissssi…” Tangan Bagas yang bergetar mencekal tangan Dio yang gemetar. Menyeretnya ngibrit tunggang-langgang dari tempat itu.

***

Tentang hati Lania.
Suatu malam remang-remang. Di sebuah jalan raya yang sepi. Tepat pukul sembilan lewat tujuh menit.

Aku berdiri di bawah lampu kuning yang dramatis. Di antara keremangan malam yang penuh misteri.

Kikikan geli di hatiku kembali berkumandang. Terkenang akan dua cowok tolol pengecut tadi siang.

Hanya sebuah permainan sederhana yang mengasyikkan. Mengaku sebagai setan, dengan menghadirkan seorang kakak kembar yang tak pernah ada. Hihihi… Sederhana sekali, bukan?

Dan dua cowok itu benar-benar badut-badut yang menggelikan. Lagaknya seolah berani menempur dua ribu serdadu. Ngiler setiap melihat makhluk manis sendirian di pinggir jalan. Tapi begitu berurusan dengan hantu, nyali mereka tak lebih besar daripada nyali seekor ayam betina bangkotan yang hampir masuk liang kubur.

Sebuah cahaya redup menyorotku dari ujung sana. Hehehe… Sasaran baru rupanya! Aih, betapa bergairahnya aku mempermainkan seorang cowok, yang pasti tak kalah tololnya, sekali lagi.

Sedan kelabu nan kusam, berhenti tepat di depanku. Seraut wajah menyeruak di balik kaca yang sudah diturunkan.

Hmmmm…. Kali ini punya tampang lumayan. Lebih baik daripada dua cowok tolol bertampang tak simetris, yang tadi siang kena kukerjain habis-habisan.

“Malam-malam begini, sendirian?” Hohoho… Basa-basi pembukaan cowok itu cukup norak di telingaku.
Tapi kupasang wajah tanpa senyum. Kupandang dia dengan sorot penuh rahasia. Seperti biasa, tentu saja.

Dia melangkah turun. “Namaku Orian…” Tangan kanannya terulur di hadapanku.

Aku pura-pura menatap uluran tangannya itu. Tentu saja aku tak terlalu tolol untuk mencoba menyambutnya. Mana ada setan yang bertangan sehangat tanganku?

Aku berlagak mengamati wajahnya, dengan pandangan mengisyaratkan kesan misterius.

“Aku Lavia…,” dengan terlatih, aku mampu mengucapkan nama fiktif itu, penuh kelirihan.

Dia menurunkan tangan kanannya yang tidak kuacuhkan, lalu memandangku lekat-lekat. “Nunggu orang?”

Aku kembali menatapnya penuh misteri. “Cuma angkot. Aku baru pulang les di bimbingan belajar itu…” Kali ini aku jujur.

“Malam-malam begini angkot jarang lewat. Gimana kalau kuantar pulang?” Sepasang mata cowok itu menatapku tajam.

Tentu saja aku wajib berpura-pura ragu.

“Jangan takut bikin repot. Aku senang sekali kalau kamu kuantar,” dia mendesak, sebelum aku berlagak menolak.

“Sungguh?” tanyaku lembut.

“Tentu saja.”

“Baiklah.” Kuanugerahkan senyum penuh pikatku. Lengkap dibumbui pandangan misterius yang mengena.

Dalam sesaat saja, sedan itu telah melaju.

Hatiku tak berhenti tersenyum. Permainan ini terbukti benar-benar sempurna. Betapa mudah mengelabui mereka satu-persatu. Kemudian, hanya dalam beberapa hari, aku akan bisa menyaksikan bagaimana wajah cowok ini memucat, lalu lari tunggang-langgang dari hadapanku. Hihihi… Lucu sekali.

Dan aku tahu, cowok ini akan bernasib sama dengan cowok-cowok tolol sebelumnya.

Sebenarnya, aku tak tahu mengapa aku begitu menyukai permainan ini. Aku hanya selalu merasa begitu puas, melihat kekonyolan yang mereka lakukan. Mulanya memang cuma keisengan dan ide yang sedikit gila gara-gara sulit mendapatkan angkot di depan tempat les. Tapi semakin lama permainan ini begitu mengasyikkan dan tak mungkin lagi kuhentikan, sekalipun sahabatku menasihati, “Jangan mencoba menyaingi makhluk halus. Itu bukan hakmu, Nia.”

Walah! Tentu saja aku tak menggubris ocehan yang lebih mirip ucapan dukun itu! Aku cuma tahu, permainan ini begitu mengasyikkan. Titik. Selesai.

Sedan ini masih meluncur lurus. Lurus dan lurus. Lurus yang tak berakhir.

Ehh! Tak berakhir?!

Ada sesuatu yang salah! Ada sesuatu yang ganjil!

Tiba-tiba lampu remang-remang di tepi jalan padam satu per satu. Remang. Semakin remang.

Mustahil!!! Aku mulai ngeri.

“Orian,” aku mendesis. “Kok… kayaknya… ada yang nggak beres.” Aku bahkan lupa mempertahankan kemisteriusanku.

Sepi… membisu…

Aku menoleh. Dia bergeming di hadapan kemudinya. Sesuatu yang mencekam terasa mengaliri seluruh tubuhku.

“Orian!” Kucekal tangannya. Tapi…

Aku memekik. Tangan itu beku! Tangan itu dingin dan tak punya kehidupan!

“Bebaskan aku!” aku menjerit. Tapi pintu mobil tak bisa lagi terkuak, bagaimanapun aku berusaha membuka.

Bau anyir darah merambati penciumanku. Entah dari mana.

“Orian! Lepaskan aku!”

Kuguncang dia, tapi dia tetap membeku. Aku terus menjerit. Menjerit. Dan memekik.

Lalu keyakinan yang luar biasa menyusup ke seluruh darah dan dagingku. Aku terperangkap! Aku tiba-tiba mengerti, perjalanan ini takkan pernah berakhir.

Tolonglah!!!

Entah ke mana aku akan terbawa kini.

Dan di sini, air mata maupun tangisan, tak bisa lagi kuhadirkan….

13 dan 15 Maret 1997


Cerpen ini pernah dimuat di majalah HAI tahun 1997.

Lomba Menulis : Saat Hati Berbicara ~ Total Hadiah 25Juta

Friday 28 March 2014
Lomba! Lagi-lagi lomba menulis keren berhadiah jutaan rupiah!

Ketentuan :

1. Dikirimkan ke e-mail: lombakarya@dicommunicationcenter.com 
2. Pada judul email diisi dengan format: Nama – Kategori Peserta - Judul Cerpen. Contoh: Raisa – UMUM - Hati Yang Tersentuh.
3. Cantumkan biodata lengkap anda pada karya anda dengan format :
    Nama Peserta      :
    Kategori Peserta  :
    No. HP               :
    Alamat                :
4. Mengirimkan karya asli, hasil buah pikiran sendiri, dan bukan milik orang lain (plagiat).
5. Pengumpulan karya : Maret 2014 - Juni 2014
6. Pengumuman mingguan : Setiap 2 Minggu (berdasarkan hasil voting pembaca akan dipilih juara favorit)
7. Pengumuman final : Juli 2014

Hadiah

Kategori umum
- Juara umum I mendapatkan Rp. 7.500.000,00
- Juara umum II mendapatkan Rp. 5.000.000,00
- Juara umum III mendapatkan Rp. 2.500.000,00

Kategori pelajar
- Juara umum I mendapatkan Rp. 5.000.000,00
- Juara umum II mendapatkan Rp. 3.000.000,00
- Juara umum III mendapatkan Rp. 2.000.000,00

@pemenang terbaik akan mendapatkan kesempatan bertemu dengan Bapak Dahlan Iskan. Transportasi dan akomodasi ditanggung panitia.






Sebagian Kisah Romance di Novel Itu Klise

Thursday 27 March 2014
Iya, sebagian kisah romance atau percintaan di dalam novel itu memang klise. Ceritanya pasti tidak jauh dari :

1. Kenalan - saling tertarik - tukeran nomer ponsel - PDKTan - jadian
Jika novel dengan konsep demikian berakhir happy ending, maka ia akan tuntas saat si pemeran utama mendapatkan tambatan hatinya.
Dan sebaliknya, jika novel berakhir sad, maka setelah jadian akan ada beberapa konflik yang legi-lagi klise, hingga menyebabkan mereka berpisah.

2. Awalnya saling iri, benci, jijik, tapi ujung-ujungnya jadian
Banyak novel yang saya baca jalan ceritanya model begini. Misal ada cewek-cowok gak sengaja tabrakan di mall. Si cewek yang gak cantik-cantik amat nabrak si cowok yang ceritanya ganteng banget, dan sialnya si cewek yang kurang cantik ini malah numpahin makanan atau minuman apa gitu ke si cowok ganteng yang pastinya angkuh banget. Ya jadilah si cowok ngomel-ngomel gak jelas, bersumpah-serapah ria sambil nunjuk-nunjuk si cewek. Si cewek yang emang ngerasa salah gak bisa bertindak apa-apa, tapi dongkol setengah mati, rasanya pengen ngebejek-bejek wajah tengil si cowok. Eh ternyata takdir mempertemukan mereka kembali di lingkungan yang lebih intim : sekolah. Mereka bakal satu sekolah, atau malah satu kelas. Awalnya mereka saling perang-perangan, ujungnya cinta-cintaan. Klise.
(anyway, kalian capek gak bacanya? -_-)

3. Kisah cinta antara si miskin dan si kaya
Seolah belum cukup dengan ide cerita yang senada, penulis biasanya menempatkan si cewek sebagai si miskin, sedangkan si cowok sebagai si kaya. Entah mengapa.
Ceritanya pasti berputar di mereka saling mencintai, tidak dapat dipisahkan. Tapi apa mau dikata. Orangtua si cowok gak akan setuju, ujung-ujungnya menghina si cewek bahkan keluarga si cewek. Kalaupun mereka nekat nikah, rumah tangganya gak akan bahagia. Orangtua si cowok gak akan berhenti mengusik (dengan cara judesin menantunya lah, kenalin anaknya ke cewek anak keluarga tajir lah, dan segala usaha supaya anaknya pisah dari si cewek miskin) sampai dapat azab dari Tuhan.

4. Antara persahabatan dan cinta
Ini juga biasanya seputar :
a. asalnya sahabatan malah cinta-cintaan
b. pilih sahabat atau pacar
c. pacar dan sahabatnya main belakang (jleb banget dah!)

Semua tema percintaan alurnya memang selalu demikian. Klise.
Menurut saya, sekarang ini, akan sulit menemukan novel romance dengan ending tak terduga, twist. Sulit.
(Saya sedang membicarakan teenlit ya, bukan yang lain).
Pernah suatu hari saya pergi ke toko buku bersama Fian dan membaca beberapa novel yang segelnya sudah dibuka. Hal pertama yang saya lakukan adalah membaca blurb di bagian belakang sampul. Hmm... baru membaca blurb saja saya sudah dapat menebak bagaimana novel tersebut akan berakhir. Tapi tak urung saya membaca sampai tuntas juga.

Jalan cerita.
Ya, jalan cerita.
Saat pembaca sudah bisa menebak bagaimana akhir kisah yang dibuat penulis, cobalah penulis bermain dengan konsep alur yang matang. Tolong jangan gunakan alur yang datar dan monoton, hingga membuat pembaca malas duluan. Pembaca butuh sesuatu yang baru. Sesuatu yang menghibur. Bukan sesuatu yang dramatis, akan tetapi realistis.

Kita bisa menganalogikan dari pengalaman kita menjalin hubungan dengan seseorang. Saya misalnya.
Saya pernah berpacaran selama empat kali. Dan saya pikir, selama empat kali berpacaran dengan orang yang berbeda-beda tersebut, saya tidak pernah mengalami kisah yang serupa. Semuanya berbeda. Ada yang hambar, menyenangkan, menggebu-gebu, dan lain sebagainya. Tapi intinya sama : saya dan keempat cowok itu berpacaran! Nah, begitupun dengan romance teenlit. Intinya sama kisah percintaan remaja. Tapi bagaimana penulis menyajikan cerita yang lain daripada yang lain, itulah poin paling penting.

So guys, sebagai sesama penulis yang masih belajar, cobalah kita menciptakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang layak dikonsumsi publik. Sesuatu yang unik.

Insya Allah, buku anda akan berkesan di hati pembaca :)

Well guys, tetap menulis!
Babay!!!

Proyek Menulis : “Letters of Happiness” Berhadiah Jutaan!

Mari Bersenang-senang dalam Kata. Ikut #ProyekMenulis: “Letters of Happiness” Berhadiah Jutaan!

flyer letter of happinessThe Bay Bali dan NulisBuku.com menyelenggarakan #ProyekMenulis bertajuk Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!

Tulis arti ‘Happiness’ (kebahagiaan) buat kamu dalam sebuah tulisan fiksi berbentuk cerpen. Kami akan memilih 25 karya cerpen terbaik, kemudian membukukan dan menerbitkannya di nulisbuku.com, cerpen yang tidak lolos seleksi akan tereliminasi dan otomatis karya tersebut tidak akan masuk dalam buku yang akan kita terbitkan.



A. Syarat Peserta

Hanya ada 1 kategori, yaitu kategori Perorangan

Dapat diikuti oleh seluruh Warga Negara Indonesia, tanpa batasan usia, tanpa batasan jenis kelamin, tanpa batasan agama, dan tanpa batasan lokasi tempat tinggal. Setiap peserta dapat mengirimkan 1 (satu) karya tulisan terbaiknya.



B. Syarat Cerpen

Cerita pendek ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris minimal 2 halaman, atau maksimal 7 halaman A4, diketik rapi dalam file Microsoft Word spasi: 1.5, dengan font: Times New Roman, ukuran font: 11pt, dengan margin sesuai standar Microsoft Word saja, tidak perlu diubah.

Cerita pendek berupa karya fiksi yang belum pernah diterbitkan dalam media nasional mana pun (jika pernah diposting di blog atau FB notes masih boleh), dan merupakan karya asli penulis. Dengan mengikuti lomba ini, berarti penulis menyatakan bahwa karya tersebut adalah murni karya aslinya dan jika ada tuntutan pelanggaran hak kekayaan intelektual maka akan menjadi tanggung jawab penulis.

Judul tulisan bebas, dengan tetap sesuai dengan tema: “Happiness”. Silakan mengartikan sendiri tema tersebut sesuai dengan imajinasi.



C. Cara Berpartisipasi

Menulis cerita pendek sesuai tema “Happiness” yang sudah diketik rapi dalam file Microsoft Word.
Kirimkan cerpen tersebut beserta data diri: Nama, Alamat, No. handphone, No. KTP (Atau kartu pelajar), Twitter account (Jika ada), Alamat facebook (Jika ada), ke alamat email:send@nulisbuku.com (berupa file lampiran- attach files, bukan di body email) dengan format subject email dan nama file sebagai berikut: [PROYEK MENULIS] – [Judul tulisan]– [Nama Penulis]. Contoh: PROYEK MENULIS – Sepotong Senja untuk Bidadari – Windy Sundari.
Setiap penulis dimohon juga membuat paragraf singkat maksimal 5 (lima) kalimat untuk memperkenalkan diri, untuk profil penulis di dalam buku “Letters of Happiness”. Kami sarankan penulis mencantumkan akun Twitter-nya masing-masing karena bisa jadi saran contact pembaca atau penerbit yang tertarik atas karyamu. Profil singkat ini boleh ditulis di badan email atau pun di dalam naskah cerpennya, kedua cara tersebut tidak masalah.
Masukkan/posting tulisan (cerpen) ke dalam blog pribadi-mu dengan mencantumkan teks berikut ini: Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! (dengan tulisan The Bay Bali yang di link ke website: www.thebaybali.com).
Tiap cerita harus memasukkan satu setting cerita yang berada di The Bay Bali (bisa tentang food/beverages restoran di The Bay Bali, beach activities, dan lainnya. Hal ini akan mempengaruhi penilaian. Semakin detail peserta menggambarkan The Bay Bali, akan semakin baik)
Peserta diijinkan menggunakan foto-foto The Bay Bali yang ada di facebook page The Bay Bali atau di website www.thebaybali.com sebagai gimmick tulisan yang dimuat di blog peserta.
Wajib Follow & mention akun Twitter @TheBayBali dan @nulisbuku, kemudian silakan twit sinopsis tentang karya cerpenmu minimal sebanyak 3 (tiga) kali twit; jika 1 twit itu maksimal 140 karakter, maka 3 kali twit, maksimal adalah 140 x 3= 420 karakter. Twit-twit ini berguna untuk mempromosikan cerpenmu yang telah dikirim tersebut. Jangan lupa twitnya dengan hashtag #ProyekMenulis
Untuk mengikuti kompetisi ini tidak dipungut biaya, GRATIS!
Pengumuman para finalis dan pemenang & penyerahan hadiah akan dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 26 April 2014 di acara launching buku ‘Letters of Happiness’ di The Bay Bali.

D. Periode #ProyekMenulis

Dimulai hari Kamis, 27 Maret 2014 dan ditutup pada Rabu, 16 April 2014 pukul 23.59 WIB. Karya dikirimkan melalui email ke send@nulisbuku.com.



E. Pemilihan Pemenang

Pemenang terdiri dari 3 pemenang utama dan 22 finalis. Seluruh tulisan yang masuk akan dinilai berdasarkan faktor-faktor sbb:

Kesesuaian isi tulisan dengan tema.
Originalitas.
Plot dan diksi.
Teknik penulisan yang menarik dibaca.
Setting yang sesuai dengan syarat lomba.

Pemenang akan dipilih oleh juri yaitu tim Nulisbuku.com. Keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat.



F. Pengumuman Pemenang

3 orang pemenang utama dan 22 finalis terpilih akan diumumkan pada hari Sabtu, tanggal 26 April, 2014 di acara launching buku ‘Letters of Happiness’ sekaligus writing workshop di The Bay Bali: BTDC area, Lot C-0, Nusa Dua – BALI. 80363.

note: Untuk kamu yang sudah pernah self-publish buku di nulisbuku.com bisa mengirimkan bukunya ke The Bay Bali untuk dipajang atau dijadikan gift pada saat workshop tersebut!



G. Hadiah Pemenang

Pemenang pertama akan memperoleh uang tunai sebesar Rp 2.000.000 (Dua Juta Rupiah)
Pemenang kedua akan memperoleh uang tunai sebesar Rp 1.000.000 (Satu Juta Rupiah)
Pemenang ketiga akan memperoleh uang tunai sebesar Rp 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah)
Pemenang 1, 2 dan 3 serta 22 finalis lainnya akan mendapatkan 1 eksemplar buku tersebut secara gratis dari nulisbuku.com.

Atas penerbitan buku ini, para pemenang dan finalis tidak menerima kompensasi berupa royalti karena hasil penjualan buku akan dikelola oleh pihak The Bay Bali untuk kegiatan sosial yang terpilih.



H. Lain-Lain

Hak cipta karya yang masuk dalam #ProyekMenulis Letters of Happiness ini berada di pihak The Bay Bali. Seluruh karya akan melalui proses editing dan setting oleh Nulisbuku sebelum buku kumcer ini diterbitkan.



Lomba ini diselenggarakan oleh The Bay Bali & NulisBuku.com.

Mengisi Jurnal PSG

Jurnal PSG. Ada yang tahu?
Jadi ini semacam buku laporan kegiatan apa saja yang dilakukan siswa SMK selama menjalani sesi Pendidikan Sisten Ganda (PSG) atau Praktek Kerja Industri (Prakerin).

Itu kan untuk siswa SMK? Kok saya sebagai siswa SMA bisa tahu?
Jawabannya tak lain dan tak bukan karena : saya mengisi jurnal PSG anak SMK. Dan bukan hanya sekali, tapi dua kali! Kesemuanya itu cukup melelahkan.

Pertama, saya mengisi jurnal milik saudara saya, Sandi. Ini terjadi sekitar bulan April atau Mei 2013 atau ... entahlah saya lupa.
Hanya membutuhkan waktu satu malam untuk menyelesaikan jurnal Sandi. Saya lupa berapa lembar yang saya tulis malam itu. Pokoknya banyak! Dan kalian tahu imbalan yang saya dapat setelah mengerjakan laporan PSG miliknya? Keripik setan. Ya, lima bungkus keripik setan sebagai teman begadangku.
Ahak hak hak. Gak masalah deh. Ikhlas kok.

Kedua, jurnal milik pacar saya, Fian. Dia PSG dari bulan Juli sampai dengan September 2013 dan selama itu pula lah saya mengisi jurnal miliknya.
Beban dalam mengisi jurnal Fian lebih berat dibanding saat saya mengisi jurnal Sandi. Sebab secara teknis level sekolah mereka memang berbeda. Saya mesti lebih berhati-hati mengisinya.
Di bawah bimbingan Fian, setiap satu minggu sekali, saya menulis kegiatan PSG Fian selama satu minggu penuh.
Hari-hari yang kami lewati setiap mengisi jurnal ini benar-benar menyenangkan sekaligus melelahkan. Menyenangkan karena mengisi jurnal hanya berupa kegiatan selingan di sela-sela jadwal rutinan pertemuan kami, biasanya selama menulis Fian menyuapi saya makanan. Namun melelahkan jika kadang hati saya merasa rugi. "Heloooo... ini jurnal Fian, kenapa harus gue yang cape?" Apalagi jika dia sudah bersikap bossy. Menyebalkan.
Tapi kemudian saya kembali membantu penuh suka cita.

Hahahaha... Oke cukup sudah. Saya tidak ingin mengisi jurnal milik siapa pun lagi. Sudah cukup lelah.

Mmmm...
Mungkin, jika suatu hari nanti kami benar-benar menikah, ini akan menjadi salah satu hal yang bisa diceritakan kepada anak-cucu kami. Seperti : Dulu kan Papa sekolah di SMK, yang bikinin jurnal Papa mama kamu loh, Sayang.
Adeuh... semoga, semoga!
Aamiin.

Lomba Menulis Khusus Remaja #RebelWithACause ~ Penerbit Divapress

27 Maret 2014 pukul 16:52

What’s up, Guys?

Kamu pasti pernah atau bahkan sering merasa ruang gerak kamu serba dibatasi? Pengen hang out sama teman, eh ortu udah bikin seabrek jadwal les buat seminggu. Udah janjian nonton ama gebetan, eh malah dilarang karena filmnya horor dan yang maen bukan Raffi Ahmad. Dan banyak lagi hal lain yang membuat kamu jadi nggak bisa bergaul gara-gara dilarang ini itu, padahal kamu juga nggak pernah macem-macem di luar sana lho.

Nah, yang kayak gini kan lama2 bisa bikin kamu nggak nyaman dong dan pengen teriak, “I have life!” Tuh, rebel kan ujung-ujungnya?

Lomba ini dibuka buat kamu yang mengalami fase tersebut (based on your true story). So, let’s join us!

 Lomba ini khusus buat para remaja aja ya, usianya dibatasi antara 15-22 tahun. Silakan ceritakan kisah kamu dengan bahasa yang ringan dan teknik penulisan yang rapi. Ceritakan seperti apa kamu merasa dikekang oleh keluarga atau kalangan terdekat kamu, bisa jadi ada penyebabnya bisa juga tidak. Misal kalau ada: karena kamu selalu jadi juara kelas, maka kamu harusnya selalu belajar dan nggak usah buang waktu main sama teman-teman kamu.

 Ini saatnya kamu untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hati kamu, karena kamu pun pingin merasakan masa-masa remaja seperti yang teman-teman kamu rasakan. Tapi ingat, ini harus yang positif dan bermanfaat bagi kamu dan orang lain lho, bukan yang malah negatif.

 Ketentuan naskah:

1. Peserta hanya boleh mengirimkan 1 kisah curhat

2. Berdasar kisah nyata kamu sendiri, untuk nama dan tempat boleh disamarkan

3. Cantumlah tanggal, bulan, dan tahun kelahiran kamu di dalam kisahmu

4. Lomba ini berlangsung selama bulan April 2014

5. Format naskah: ketebalan 5-7 halaman (biodata tidak dihitung), ukuran A4, Times New Roman size 12, spasi 2 (ganda), justified (rata kanan kiri), Word 2007/2010. Ketik judul naskah dan akun twitter kamu di halaman pertama sebelum isi tulisan. Sertakan nama asli, alamat lengkap, email, no. HP setelah isi tulisan.

6. Body email biarkan kosong

7. Judul file naskah: (akun twitter)+(judul tulisan). Contoh: @JonsonRocks + Help Gue Nggak Punya Teman!

8. Judul email: #RebelWithACause

9. Kirim tulisan kamu dalam bentuk attachment/sisipan file ke: rwacdivapress@gmail.com

10. Lama penjurian adalah 1 bulan

Setelah kirim naskah, silakan mention gini:

 I am … (isi dengan usia kamu sekarang) years old n I have life! Thanks: @divapress01 @de_teens @edi_akhiles, info lomba #RebelWithACause now check: blogdivapress.com

contoh:

 I am 19 years old n I have life! Thanks @divapress01 @de_teens @edi_akhiles, info lomba #RebelWithACause now check: blogdivapress.com

 Akan dipilih naskah-naskah terbaik untuk diterbitkan, dan masing-masing kontributor berhak mendapatkan 1 eksemplar buku sampel.

 Kita tunggu partisipasi kamu semua ya, Guys!

Lomba Cerpen dan Cerber Femina 2014/2015

Tuesday 25 March 2014
Yuhuuuu... ada lomba menulis yang keren lagi nih :D
Monggo bagi yang beminat ikutan aja ya. Lumayan buat nambah pengalaman (dan penghasilan kalo menang, wkwkwkw).
Aku juga pengen ikutan, cuma asa rada ribet download formulirnya. Jadi hoream, deh :D (jangan ditiru, Guys).

Ayo ikutan, ikutan, ikutan!




ps: sekarang aku udah dapet formulirnya :3

Pagi yang Asing

Monday 24 March 2014
Hari yang melelahkan membuat kantuk cepat menyerang. Aku terlelap tanpa sempat membalas pesan Fian. Dengan ponsel masih dalam genggaman, ragaku berpetualang ke alam mimpi. Sesekali aku terbangun, membuka pesan masuk baru, membaca tanpa benar-benar memahami apa yang kulakukan, kemudian terlelap kembali.

Subuh, pukul 04.00, seseorang mengetuk pintu kamarku. Ternyata Ayah.

"Mau kemana?" tanyaku heran melihat penampilan Ayah yang pagi itu sudah sangat rapi.

"Bapak mau berangkat sekarang," jawab Ayah.

Belum sepenuhnya sadar, aku bangkit dari atas ranjang lalu mengikuti Ayah ke belakang. Di sana telah tersedia tas dan sepatu Ayah.

Ayah bekerja di Depok. Keberadaannya di Purwakarta semata karena kesehatannya terganggu.

Aku menatap, menyaksikan bagaimana Ayah mengenakan sepatunya sambil menyampaikan beberapa pesan untukku. Aku tahu Ayah belum sembuh benar, namun beliau memaksakan diri berangkat hari ini.

Dan perasaan asing tersebut mencuat begitu saja. Saat Ayah benar-benar menghilang dari pandangan mata, mendadak dadaku disesaki berjuta perasaan gelisah tak terdefinisikan.

Bukan firasat, bukan. Aku yakin Ayah akan baik-baik saja. Beliau selalu hadir dalam setiap doa-doaku. Aku harap Ayah baik-baik saja. Tapi rasa gelisah ini...

Rasa gelisah ini tak kunjung lenyap.

Selepas mengunci pintu kembali, aku bergegas memasuki kamar. Menyalakan lampu yang semula padam. Bergelung di atas tempat tidur. Menunggu adzan berkumandang.

Masih gelisah.

Kutatap ponsel dan laptop yang tergeletak di sampingku.

Deg!

Untuk pertama kalinya seumur hidup, aku merasa beruntung masih memiliki Fian hingga detik ini. Sama halnya dengan yang ia katakan di bawah naungan payung ungu, saat kami berjalan beriringan di sepanjang Pasar Jumaah.

"Bi, aku bener-bener beruntung banget bisa memiliki kamu," katanya.

"Kenapa?"

"Kamu mengubah aku jadi lebih baik."

"Lebih baik gimana contohnya?"

"Yaaa... lebih baik aja. Setelah sama kamu, aku jadi semangat belajar, semangat bantuin Bapak, semangat segala-galanya deh. Kamu membawa makna baru bagi hidup aku."

Disaksikan jutaan bulir air hujan di sekeliling kami, seraya merangkulkan lengan kanannya di bahuku, Fian menyanyikan sebuah lagu untukku. Indah, manis, menyejukan.

Fian dan Ayah adalah dua sosok lelaki yang sangat kucintai. Entah sejak kapan aku mulai sadar mereka memiliki beberapa persamaan. Sifat, aroma, sikap, dan lain-lain, dan lain-lain.

Bagaimana aku mencintai Fian memang berbeda dengan bagaimana aku mencintai Ayah. Fian pacarku, Ayah ayahku.

Akhirnya aku mengerti perasaan asing apa yang menderaku sejak tadi. Rindu. Aku merindukan kekasih yang baru saja kutemui kemarin. Rindu ini selalu mendera.

Aku bersyukur masih memiliki dia hingga detik ini. Jika tidak, lalu pada siapa aku mencurahkan seluruh rasa rinduku ini? Rindu tak berbalas itu sakit loh, Kawan.

Maka, detik itu juga aku mengirim pesan kepada Fian. Salam rindu dariku.

Fian membalas : Kangen kamu my favourite girl :*

Lomba Menulis : Love Letter Writing Competition




“You know you're in love when you can't fall asleep because reality is finally better than your dreams.” 

Lagi merasakan seperti yang diungkapkan oleh Dr. Seuss tersebut? Kalau iya, jangan disimpan sendiri. Ungkapkan yuk, lewat love letter!

Ada hadiah keren untuk love letter yang terpilih!

Caranya:

1. Daftar/sign up jadi member di www.GADIS.co.id.
2. Isi profil kamu dengan lengkap. Lengkapi juga dengan nomor telepon (agar kamu bisa dihubungi, bila keluar sebagai pemenang).
3. Masuk ke halaman My Page, klik Blog, kemudian klik Buat Baru.
4. Jangan lupa sebelum mulai menulis cerita, pilih kategori Love Letter Writing Competition.
5. Love letter hanya ditujukan untuk pacar atau gebetan kamu (tidak harus menyebutkan nama pacar atau gebetan tapi diperbolehkan bila ingin disebutkan).
6. Isi love letter maksimal 3 paragraf (di luar kalimat untuk tertuju, misal: Dear Boyfriend…, Kepada Gebetan Tersayang… dan kalimat penutup, seperti: Salam Sayang Selalu, Forever Yours, dan sebagainya. Namun diperbolehkan bila tidak ingin menggunakan kalimat untuk tertuju atau penutup).

Penilaian:
1. Love letter yang lolos penilaian tahap awal akan ditayangkan di website majalah Gadis.
2. Love letter yang lolos penilaian tahap awal akan melewati proses penilaian lebih lanjut oleh juri yang terdiri dari tim GADIS.
3. Kriteria penilaian terdiri dari keindahan kata-kata yang dituangkan dalam love letter.

Ketentuan:
1. 1 orang boleh menulis lebih dari 1 love letter.
2. Pengumpulan love letter paling lambat 31 Maret 2014, pukul 23.59 WIB.
3. Pemenang akan dihubungi oleh GADIS dan diumumkan diwww.GADIS.co.id.
4. Lomba ini terbuka untuk cewek siswi SMP/SMA dan sederajat.
5. Bagi pemenang yang terbukti bukan siswi SMP/SMA dan sederajat, maka kemenangannya akan dianulir.
6. Pajak hadiah ditanggung pemenang.
7. Apabila hadiah tidak diambil dalam waktu yang ditentukan, maka hadiah akan menjadi milik majalah GADIS.
Keputusan penyelenggara tidak dapat diganggu gugat, tidak diadakan surat menyurat dan hadiah yang diterima tidak dapat dipertukarkan.
8. Sayembara ini tertutup bagi seluruh karyawan Femina Group dan keluarganya.




Sumber : https://www.facebook.com/8ShareID/photos/a.418351818284159.1073741828.416241985161809/535232829929390/?type=1&theater

Cerpen : Karena Bintang

Sunday 23 March 2014

1 Oktober 2012 pukul 10:04

Oleh : Devi Liandani

Hembusan lembut angin malam memainkan ikal-ikal kecil rambut Diana. Berkali-kali gadis remaja bertubuh tinggi kurus itu merapatkan jaket demi mengusir hawa dingin yang menjalari tubuhnya. Cukup berhasil, ia merasa lebih hangat sekarang. Kemudian ia berpaling ke kanan, mata coklatnya menatap sayang dua sosok yang duduk tak jauh darinya. Mereka adalah orangtua Diana. Ah bukan, orangtua angkat tepatnya, karena orangtua kandung Diana telah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya dalam sebuah kecelakaan beberapa tahun silam. Kecelakaan yang juga hampir merenggut nyawanya sendiri.
Diana bergidik. Ia selalu ngeri bila mengingat kejadian nahas itu.

“Diana, ayo masuk, Nak! Udahan lihat bintangnya,” kata Deborah, ibu angkat Diana, yang entah sejak kapan sudah berada di ambang pintu dan berangkulan dengan suaminya, Steve.

Diana mengangguk tanpa banyak membantah. Udara di luar memang semakin dingin, ia khawatir jika ia tetap bergeming di situ, maka tidak lama lagi tubuhnya akan membeku seperti es di kutub utara.

“Minggu depan kita lihat bintang bersama-sama lagi,” tambah Steve sebelum menutup pintu.

Menatap bintang. Ya, mungkin sebagian dari kalian menganggap aneh pada kegiatan satu ini, tapi tidak bagi Diana dan keluarganya. Ia—baik bersama orangtua kandung maupun orangtua angkatnya—sangat menyukai bintang. Mereka selalu menanti saat langit dalam keadaan cerah kemudian bersama-sama saling berangkulan menatap bintang di alam terbuka. Sangat menyenangkan.

Namun, bintang jugalah penyebab kematian orangtua Diana ...

***

Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak 30 menit yang lalu tapi Diana masih sibuk menatap gelas uji coba di labolatorium kimia sore itu. Ia seorang diri di sana, tidak ada yang menemaninya. Atau mungkin Diana yang tidak ingin ditemani. Keningnya berkerut dalam tanda konsentrasi. Keringat dingin mengucur deras seiring berjalannya proses pengerjaan ramuan yang sedang digarapnya kali ini.
Harus berhasil, tekadnya dalam hati.

***

“Pulang malam lagi?” tagur Deborah begitu Diana mendaratkan pantatnya di kursi ruang tamu.

“Maaf,” ujar Diana datar. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit-langit. Pikirannya melayang pada kejadian di labolatorium tadi. Entah apa yang salah, namun lagi-lagi hasil uji cobanya gagal. Gagal. Ya, gagal.

“Ya udah, sekarang kamu mandi dulu, terus nanti ke ruang makan, ya? Kita makan malam bareng,” kata Deborah sambil berlalu dari hadapan Diana.

Makan malam bersama? Diana tersenyum kecut. Dulu, hampir setiap hari ia makan malam bersama kedua orangtua kandungnya. Makan malam yang hangat dan penuh canda tawa. Dan sekarang? Ia dan keluarga barunya memang tidak jarang makan malam bersama. Akan tetapi, tetap saja rasanya berbeda. Tidak akan pernah sama sampai kapan pun juga.

***

Suapan terakhir mengalir dengan mulus memasuki kerongkongan Diana. Sekarang piringnya sudah licin tak bersisa makanan sedikitpun. Deborah dan Steve yang sudah lebih dulu menghabiskan makanannya, beralih pada hidangan penutup.

“Gimana sekolah kamu, Nak? Lancar?” tanya Steve di sela kesibukannya mengunyah buah apel.

“Baik.”

“Mata kamu bagus,” gumam Deborah namun masih terdengar cukup jelas di telinga Diana. Gadis itu menatap meminta penjelasan.

“Yah, mata coklat kamu mengingatkan Mama sama seseorang.”

“Siapa?” tanya Diana.

“Diana.”

“Diana?” Diana menunjuk dadanya sendiri. Bingung.

“Haha ... bukan kamu, Nak,” ujar Deborah. “Diana itu nama anak kandung Mama dan Papa. Seandainya dia masih hidup, pasti sekarang dia udah sebesar kamu.”

“Meninggal?”

Deborah mengangguk. Sedetik kemudian, matanya sudah dibanjiri air mata. Steve meraih pundak istrinya dengan sigap lalu membisikkan sesuatu di telinga Deborah. Deborah menggeleng linglung, tangisnya pecah di bahu Steve.

“Sebenarnya Papa udah gak mau mengingat kejadian ini lagi, tapi ya ... agar kamu tidak merasa dibohongi, jadi Papa akan menceritakan semuanya sama kamu.”

“Apa?”

Steve menghela napas panjang kemudian berkata, “Kami minta maaf karena dulu pernah membohongi kamu. Waktu kami mengadopsi kamu di panti asuhan, kami bilang kami gak punya anak padahal sebenarnya kami punya. Anak kami meninggal dalam kecelakaan di jalan menuju puncak tiga tahun yang lalu. Kami selamat sedangkan Diana tidak, ia meninggal di tempat kejadian. Deborah benar-benar terpukul. Dia ...”

Steve masih terus bercerita panjang lebar namun hanya sebagian kecil yang masuk ke telinga Diana. Gadis itu sudah tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Pikirannya berkelana kemana-mana.

***

“Berhasil,” bisik Diana sambil menuangkan cairan berwarna hitam pekat ke dalam gelas ukur. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Tidak boleh ada kelalaian sedikitpun.

Seseorang membuka pintu labolatorium kimia, tempat Diana berada. Diana tidak menyadari kehadiran orang itu sama sekali, ia terlalu berkonsentrasi pada pekerjaannya. Orang itu berjalan mendekati Diana, perlahan-lahan.

“Kamu lagi ngapain?”

Diana bergeming.

Tidak sabar, orang itu menepuk bahu Diana cukup keras. Usahanya berhasil, Diana menoleh padanya dan bertanya ada apa. Orang itu mengulangi pertanyaannya.

“Ini.” Diana mengangkat botol kecil dalam genggamannya. Botol berisi cairan bening hasil racikannya selama seminggu ini.

“Itu apa?” tanya orang itu heran.

“Lumpuh.”

“Maksud kamu? Apanya yang lumpuh?”

Diana melengang pergi tanpa menjawab pertanyaan orang itu. Seringai lebar tampak di wajah manisnya, membuat ngeri siapapun yang melihatnya.

***

Deborah menuangkan sayur asem ke atas piring Diana. Disusul tempe, tahu, jengkol, dan ikan asin. Semua itu adalah menu kesukaan Diana. Sedikit aneh memang. ”Diabisin, ya.”

“Papa?” tanya Diana, menanyakan keberadaan ayahnya.

“Papamu masih di kantor. Dia baru pulang tengah malam nanti.”

“Oh. Boleh aku bilang sesuatu?”

Deborah menatap takjub, baru kali ini ia mendengar Diana berbicara lebih dari satu kata. “Ya?”

“Apa pesan terakhir Mama?”

***

“Apa pesan terakhirmu, Deborah?” desis Diana sinis. Tangannya memainkan sebilah pisau tajam, siap menerkam setiap saat.

“APA-APAAN KAMU, DIANA?!” jerit Deborah berusaha bangkit. Tidak bisa. Ia tidak bisa bergerak sama sekali padahal tidak ada suatu apapun yang membelenggunya. Tubuhnya mendadak lumpuh.

Diana bertolak pinggang. “Katakan sebelum aku menghabisimu.” Suaranya datar tanpa emosi. Tapi justru nada seperti inilah yang menunjukkan kekejaman seseorang. Deborah mengerut di atas kursinya, tidak bisa kabur.

“Katakan!” bentak Diana diiringi suara tamparan keras yang dilayangkannya ke pipi Deborah.

“Akh!” pekik Deborah. “Kamu kenapa Diana?!”

“Namaku Liana. Ibuku yang memberikan nama itu buat aku. Jadi kamu jangan pernah mengubahnya.”

“Apa mau kamu ... Liana?”

Diana menyeringai lebar. “Aku mau melihat kamu menderita.”

“Kenapa? Apa salahku?” pekik Deborah putus asa. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi, semua ini terlalu mengejutkan baginya.

“Kamu masih tanya apa salah kamu!?” bentak Diana. “Salah kamu adalah kamu dan suamimu udah membunuh ayah dan ibu aku. Sebagai balasannya kamu harus menderita!”

“Kami gak membunuh siapapun!”

Pandangan Diana berubah nanar. Emosinya meluap ke permukaan. Ia menatap Deborah seolah melihat binatang menjijikan. “Kau tau, seandainya malam itu mobil sialanmu tidak salah jalur, mobilku pasti tidak akan jatuh ke jurang. Dan orangtuaku tentu masih hidup sampai saat ini. Tapi ...”

Deborah terenyak. Sekarang ia mengerti apa maksud Diana. Ya, malam itu arus di jalur menuju puncak padat tapi di arah sebaliknya lengang, maka Steve menjalankan mobilnya di jalur sebelah. Namun siapa sangka saat ia membelok ternyata di jalur itu ada mobil yang tengah melaju kencang menuju ke arahnya. Steve tidak bisa menghindar. Ia membanting stir hingga mobil menabrak pagar pembatas. Deborah menutup matanya, sudah memastikan mereka akan mati saat itu juga. Mobil terombang-ambing ke sana-ke mari menuruni jurang serta menghantam apa saja yang dilaluinya. Dalam hati Deborah tak henti memanjatkan do’a agar mereka diberi keselamatan. Tak lama, guncangan berakhir. Perlahan, wanita itu membuka mata. Ia terperanjat. Beberapa meter darinya, tampak sebuah mobil meledak dan seketika itu juga api langsung menjilati seluruh bagian mobil. Namun ia tidak sadar ada seorang gadis kecil yang merangkak di tengah-tengah kegaduhan di bawah jurang tersebut. Gadis kecil bermata coklat yang menatapnya tajam.

“Sudah ingat?” Suara datar Diana mengusik lamunan Deborah.

Hening.

Diana berjalan menghampiri Deborah. Diraihnya lengan lumpuh Deborah lalu ia menyuntikkan sesuatu di situ. “Ini supaya kamu gak menjerit-jerit alay dan menarik perhatian tetangga.”

“ ... “ Suara Deborah lenyap.

Diana merogoh pisaunya dari dalam saku celana kemudian mengacungkannya tinggi-tinggi. Deborah terkesiap. Rasa takut dan cemas mulai menjalari tubuhnya.

“Deborah, seharusnya malam itu menjadi malam paling membahagiakan bagi kami karena kami telah melihat bintang di alam bebas. Tapi kau menghancurkan semuanya! KAU PENGHANCUR!”

Perlahan Diana menurunkan pisaunya dan pada jarak 2 meter ia melayangkan pisaunya dengan cepat lalu menusuk pergelangan tangan Deborah kasar. Wanita itu menjerit tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Diana tersenyum, ia menarik kembali pisaunya secara paksa. Darah segar berceceran di atas lantai.

Diana melanjutkan dengan mengiris lengan atas Deborah. Mengulitinya sampai tulangnya mencuat ke permukaan. Warna putih tulang dan merah darah berbaur menjadi satu.

Tangan Deborah diletakkan di atas meja. Pisau pemotong daging melayang menghantam jari wanita nahas tersebut. Deborah meringis saat melihat jari-jarinya terpangkas rata. Rasa perih menjalari seluruh tubuhnya.

Diana menarik lidah Deborah. Tentu saja ia tidak akan membunuh Deborah cepat-cepat. Dia masih ingin bersenang-senang. Perlahan, diirisnya lidah tersebut dengan cutter tajam yang sudah diasahnya tadi pagi. Ia menikmati proses pemotongan lidah yang berjalan lambat ini. Pasti rasanya sakit sekali. Sekarang lidahnya sudah terpotong setengah.

Deborah menangis terisak, tubuhnya berguncang kaku. “Aku jadi iba padamu,” gumam Diana datar. “Sini, biar kuhapus air matamu!” Ia menyentuh wajah Deborah lembut.

“Aaaaaaaakkkkkkkkkkkkkhhhhhhhh ...”

Diana mencongkeli mata Deborah dengan brutal. Garpu makan dijadikan alat pembunuh. Setelah lepas dari tempatnya, mata itu menggelinding di atas lantai. Saling bertubrukan satu sama lain.

Tergesa, Diana mengambil martil di tempat perkakas yang telah diambilnya dari dalam gudang, dan menghantamkannya ke rahang Deborah sehingga giginya rontok sebagian. Lagi, darah segar mengucur dari seluruh permukaan wajahnya. Sebagian darah terciprat ke baju Diana.

Deborah sudah tidak berdaya. Sekarang Diana akan mengakihiri semuanya.

Dalam hati Diana menghitung, 1, 2, 3 ...

Kapak melayang menghantam leher Deborah. Sangat keras hingga kepalanya terpental beberapa meter dan mendarat tepat di depan pintu kamar mandi. Mata dalam kepala itu menatap kosong ke atas langit-langit. Kosong tanpa bola mata.

Tubuh tak bernyawa Deborah dipotong-potong hingga berukuran sangat kecil oleh Diana. Kemudian ia memasukkan dagingnya ke dalam panci sayur asem. Ia akan memasak daging ini besok.

Diana menarik napas lega. Tugasnya sudah berakhir sekarang. Ayah dan ibunya sudah bisa tenang.

Tapi ... rasanya ia melupakan sesuatu. Apa itu?

“Diana.”

Diana menoleh. Ah sial, ia melupakan Steve.

Steve beringsut maju dengan kapak dalam genggaman, Ia menyeringai. “Ayo kita makan daging Deborah bersama-sama.”