Suatu malam remang-remang. Di
sebuah jalan raya yang sepi. Tepat pukul sembilan lewat tujuh menit.
Dari balik kaca mobil, Dio
membelalakkan mata. Astaga! Apa tak salah lihat nih? Bidadari turun dari mana
itu?
Di bawah sinar temaram lampu
kuning, di tepi jalan nan sepi itu, berdiri sesosok gadis di keremangan. Tampak
begitu memesona.
Tanpa berpikir dua kali, Dio
membanting setir Panther hijau tuanya. Secepat itu pula kakinya menginjak rem
kuat-kuat.
CIIITTTT!!!!!
Gadis itu tersentak. Menoleh
dengan mata terbelalak.
Ooh… My God! Dia benar-benar
cantik! pikir Dio. Dan saat dia menurunkan kaca mobil, rasanya pikirannya sudah
tak bisa lurus lagi.
“Hai. Malam-malam begini, kok
sendirian?” sapa Dio dengan mata berbinar-binar.
Gadis itu menatap Dio dengan saksama.
Hati Dio semakin gencar memuji makhluk memesona di hadapannya. Ya. Karena
memang gadis di hadapannya itu sangat cantik. Rambutnya hitam lurus hingga
melewati garis pinggang. Matanya bersinar lembut dan begitu dalam, memberikan
pijar mengesankan yang misterius. Ditambah kulitnya yang putih bersih, dagu
lancip yang menawan, serta bibir berbelah, dia sungguh tampak sempurna.
Dio menelan ludah. Ini
benar-benar malam keberuntungannya! Tanpa ada keraguan, dibukanya pintu mobil.
Dio melangkah turun.
“Namaku Dio. Kamu?” Dio
mengulurkan tangan kanannya.
Sepasang mata itu memandang
tangan Dio sejenak. Kemudian beralih pada wajah Dio.
Entah mengapa, Dio merasa ada
keganjilan yang dipendarkan gadis itu untuknya. Dio sedikit ngeri. Hei! Jangan
berprasangka! bisik hatinya.
“Lavia,” jawab gadis itu lirih,
tanpa mengacuhkan tangan Dio di hadapannya.
Bahkan suara gadis itu pun begitu
halus dan merdu. Dio menurunkan tangan kanannya yang terulur sia-sia. Tak apa!
Jangan pesimis! bisiknya penuh semangat.
“Mau pulang?” tanyanya seramah
mungkin.
Gadis itu mengangguk.
“Nunggu dijemput, ya?” pancing
Dio.
Sekali lagi gadis itu mengangguk
sambil tersenyum. Senyum yang begitu tipis dan mengena. “Dijemput angkot.”
Dio kian terpesona.
“Aku baru saja selesai les di
bimbingan belajar itu…” Gadis itu menunjuk sebuah bangunan bimbingan belajar
yang tak jauh dari tempat itu.
Dio manggut-manggut. Otaknya
berpikir cepat. “Angkot jarang lewat di tempat ini, tau!” Ia mulai menjalankan
rencananya.
Gadis jelita itu menatap ke ujung
jalan yang sepi dengan wajah sedih.
“Gimana kalau kuantar pulang?”
tanya Dio hati-hati.
Jangan ditolak! Jangan ditolak!
hati Dio berharap setengah mati.
Gadis itu tampak ragu-ragu.
“Mau, ya? Aku nggak gigit kok!”
desak Dio basi. Sedikit cemas kalau angel di depannya ini akan
menggeleng.
“Aku nggak mau merepotkan.”
“Nggak! Tentu aja nggak! Sama
sekali nggak akan merepotkan!” sergah Dio tergesa-gesa.
Sejenak lagi sosok elok itu
tampak menimbang-nimbang.
Dio memanjatkan sejuta doa dalam
hati. Matanya tak berani berkedip. Seolah takut kalau sampai tak melihat
seandainya gadis itu mengangguk.
“Baiklah…” Gadis itu pun
tersenyum.
Tiba-tiba Dio merasa bunga-bunga
merekah di sekelilingnya. Senyum gadis itu… ck ck ck… wuihhh…. Alangkah
memesona….
***
“Dio! Gue serius! Jangan main-main
sama tuh cewek deh!”
Dio mengerutkan keningnya kurang
suka. Wajah Bagas tampak sedikit memucat di hadapannya. “Eeh, lo jangan sirik
gitu dong! Mentang-mentang gue yang ketiban rezeki, kenalan sama cewek
cuaaantiiik!”
“Gue serius, man!” tegur
Bagas semakin keras kepala.
“Tapi kenapa?” balas Dio tak mau
kalah.
Bagas menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan gelisah. “Soalnya… abang gue sempet juga mengalaminya.”
Dio langsung membelalak tak
menyangka. “Bang Ari juga kenal sama angel gue?”
Bagas mengangguk berat.
“Kejadiannya sama persis. Abang gue ngelewatin jalanan itu di suatu malam, dan
ketemu cewek yang cuaantiiik banget lagi berdiri di bawah sinar lampu jalanan
sepi yang remang-remang itu…”
Dio langsung mendengus tak rela.
“Mungkin aja cewek cantik lain.”
“Namanya Lavia,” sahut Bagas
sambil menatap Dio lurus-lurus.
Kali ini Dio tertegun.
Bagas tersenyum puas, menyadari
bahwa sekarang dia berhasil membuat Dio tertarik pada ceritanya. “Tuh cewek
cantik nggak nolak diantar pulang. Jelas aja abang gue kegirangan.”
“Terus?”
“Merasa mendapat angin, beberapa
hari kemudian Bang Ari datang ke rumahnya. Tapi lo mau tau apa yang terjadi?”
“Apa?” tanya Dio berdebar.
“Katanya, cewek bernama Lavia itu
telah lama meninggal! Meninggal karena ketabrak mobil waktu pulang dari tempat
lesnya…!”
Dio melotot. “Maksud lo, angel
gue itu setan?”
Bagas tersenyum pahit. “Yah….,
silakan simpulkan sendiri!”
“Nggak mungkin!” seru Dio marah.
“Elo pasti bohong!”
“Bohong gimana?! Abang gue yang
cerita kok!”
“Kalo gitu, abang lo yang bohong!”
Bagas menatap sahabatnya dengan
sedikit kesal. “Dio, gue kan cuma berusaha mengingatkan elo.”
“Mana ada setan secantik itu?!”
Bagas menghela napas putus asa.
“Oke… Gini deh! Kalo elo nggak bisa percaya, gimana kalo kita buktikan aja? Elo
kan udah tau rumahnya. Coba aja kita kunjungi dia.”
Dio tercenung. Terdiam. Bagaimana
kalau gadis itu benar-benar setan? Bisa-bisa…
“Takut?” sindir Bagas dengan
senyum mengejek.
Ego Dio tergelitik. Segala
kekhawatirannya pun berguguran. “Takut? Takut apa?” tantangnya merasa dihina.
“Jadi berani nih?”
Dio mencibir. “Gue nggak mau
buang-buang waktu. Langsung pulang sekolah nanti, kita berdua ke sana!”
sumringah Dio.
Bagas melotot. “Eh! Eh! Eh!
Kenapa gue jadi dibawa-bawa?” protesnya.
“Elo kan juga harus melihat bukti
bahwa Lavia itu manusia! Bukan setan! Kalo nggak, ntar elo nyangka gue bohong,
lagi!” sahut Dio dengan nada memaksa. Padahal, kalau cuma sendirian, tentu aja
gue ngeri, semprul!!! gerutunya dalam hati.
“Tapi…” ujar Bagas ragu.
“Takut?” Ganti Dio yang mengejek.
“Takut?” dengus Bagas memasang
tampang belagu. “Jadi jam berapa kita berangkat?”
***
Dengan tangan gemetar, Dio
menekan tombol bel listrik di sisi kiri pagar rumah itu. sementara Bagas sudah
mengkeret di balik punggung Dio, mencari perlindungan dari ketakutan yang
membuat detak jantungnya tak punya frekuensi yang jelas lagi.
Rumah itu terlihat sangat
sederhana dan asri. Berpagar rendah yang dicat putih dengan celah-celah lebar.
Dio sibuk menenangkan hatinya.
Mana mungkin ada setan punya rumah begini indah dan ceria? Pasti salah. Bagas
pasti salah. Tak ada setan di rumah ini. Apalagi kalau Lavia yang jadi
setannya.
Ketika terdengar suara kunci
pintu depan mulai dibuka, jantung Dio terasa menggelepar tak keruan. Tiba-tiba
saja dia berpikir untuk minggat dari tempat itu, saat itu juga.
“Dio, kita pulang aja yuk,” desis
Bagas yang tak kalah ketakutan.
Dio merasa kakinya nyaris tak
mampu berdiri tegak lagi. Hampir dia mengangguk dengan penuh persetujuan. Tapi…
Pintu itu terkuak, dan
menampilkan makhluk jelita di baliknya. Lengkap dengan rambutnya yang panjang hingga melewati pinggang, kulitnya yang putih bersih, dan dagu lancipnya yang
menawan….
Dio membelalak. Lavia!
Dilihatnya Bagas sampai
terlongo-longo melihat angel-nya itu. Lalu Dio mendengar napas lega yang
ditariknya sendiri.
Ternyata Lavia bukan hantu! Ah,
ya jelas bukan!!! Mana mungkin gadis secantik itu hantu gentayangan? Lavia itu
manusia. Manusia yang tercipta dengan sangat menawan. Ya! Jelas-jelas manusia.
Buktinya dia berdiri di sini. Dan kakinya pun tidak mengambang! pikir Dio
benar-benar lega.
Dio menoleh ke arah Bagas.
Disunggingnya sebuah senyum lebar penuh kemenangan. Tahu rasa dia! Belaga
menakutinya dengan cerita misteri picisan. Padahal Bagas sendiri malah
terbengog-bengong dengan mulut menganga lebar dan mata nggak bisa berkedip
gara-gara menyaksikan gadis yang dituduhnya sebagai setan.
“Setan gentayangan di siang
bolong?” sindir Dio nyinyir.
Bagas tak peduli. Masih takjub
melihat si cantik jelita yang melangkah mendekat. Pantas saja Dio memberinya
gelar angel! batin Bagas terpesona.
Lalu, dengan penuh semangat dan
pede berlebihan, Dio memandang gadis yang kini berdiri di balik pagar di
hadapannya. Gadis itu tengah menatap mereka, tanpa berkata-kata.
“Maaf nih, aku mengganggu. Aku
dan nih cowok bego kebetulan lagi lewat daerah sini. Boleh kan kami mampir
sebentar?” dusta Dio riang.
Sepasang alis hitam gadis itu bertaut.
Sayang, Dio tak sempat menyadari.
Dio menoleh kea rah Bagas dengan
sumringah. Lalu dengan penuh keyakinan dia berkata, “Bagas, kenalin dulu. Ini…”
“Kalian siapa?” suara halus itu
menyela tegas.
Dio terenyak. Dengan cepat dia
menoleh ke wajah cantik yang tadi bertanya. Lho, kok?
Gadis itu memandang ke arahnya
dengan raut kebingungan. “Kalian ini sebenarnya siapa?” ulangnya.
“Lavia? Masa sudah lupa sama aku?
Aku kan baru nganterin kamu pulang les tadi malam…” Dio kebingungan.
Detik itu juga, gadis itu
membelalakan matanya. Napasnya tertahan tiba-tiba. Seolah sesuatu yang pekat
menjerat kerongkongannya. “La… Lavia?” desisnya. “Kalian bertemu Via?”
Bagas jadi tak mengerti. Apalagi
Dio. Tapi prasangka buruk mulai bergema.
Gadis itu menarik napas dalam dan
panjang. Wajahnya tampak murung. “Rupanya dia melakukannya lagi…,” terdengar
gadis itu mengeluh lirih.
“Sebenarnya ada apa?” akhirnya
Bagas tak tahan untuk tetap diam.
Gadis itu tersenyum pahit.
“Namaku Lania. Lavia itu kakak kembarku.”
“Ka… kakak kembar?” Dio menekan
debar-debar buruk yang memekakkan perasaannya. Diliriknya Bagas. Tapi wajah
sahabatnya itu bahkan sudah lebih dulu memucat.
“Via… Via sudah meninggal…
Kira-kira dua tahun yang lalu…” Gadis itu memandang Bagas dan Dio penuh luka.
“Dia meninggal karena tertabrak mobil ketika pulang dari tempat lesnya.”
Dio merasa segalanya mulai
berputar. Jadi… Jadi yang tadi malam itu… Yang berkata baru pulang dari les di
sebuah bimbingan belajar…?
Bagas membelalak. Sementara Dio
merasa keringat dingin menetes pelan-pelan.
“Sebelum ini, Via memang pernah
melakukan hal semacam ini. Tapi nggak kusangka dia akan mengulanginya lagi…”
Bagas makin memucat. Sementara
Dio tetap terperangah.
Lavia ternyata benar-benar setan?
“Kaa… Kami pppeeerrmissssi…”
Tangan Bagas yang bergetar mencekal tangan Dio yang gemetar. Menyeretnya
ngibrit tunggang-langgang dari tempat itu.
***
Tentang hati Lania.
Suatu malam remang-remang. Di
sebuah jalan raya yang sepi. Tepat pukul sembilan lewat tujuh menit.
Aku berdiri di bawah lampu kuning
yang dramatis. Di antara keremangan malam yang penuh misteri.
Kikikan geli di hatiku kembali
berkumandang. Terkenang akan dua cowok tolol pengecut tadi siang.
Hanya sebuah permainan sederhana
yang mengasyikkan. Mengaku sebagai setan, dengan menghadirkan seorang kakak
kembar yang tak pernah ada. Hihihi… Sederhana sekali, bukan?
Dan dua cowok itu benar-benar
badut-badut yang menggelikan. Lagaknya seolah berani menempur dua ribu serdadu.
Ngiler setiap melihat makhluk manis sendirian di pinggir jalan. Tapi begitu
berurusan dengan hantu, nyali mereka tak lebih besar daripada nyali seekor ayam
betina bangkotan yang hampir masuk liang kubur.
Sebuah cahaya redup menyorotku
dari ujung sana. Hehehe… Sasaran baru rupanya! Aih, betapa bergairahnya aku
mempermainkan seorang cowok, yang pasti tak kalah tololnya, sekali lagi.
Sedan kelabu nan kusam, berhenti
tepat di depanku. Seraut wajah menyeruak di balik kaca yang sudah diturunkan.
Hmmmm…. Kali ini punya tampang
lumayan. Lebih baik daripada dua cowok tolol bertampang tak simetris, yang tadi
siang kena kukerjain habis-habisan.
“Malam-malam begini, sendirian?”
Hohoho… Basa-basi pembukaan cowok itu cukup norak di telingaku.
Tapi kupasang wajah tanpa senyum.
Kupandang dia dengan sorot penuh rahasia. Seperti biasa, tentu saja.
Dia melangkah turun. “Namaku
Orian…” Tangan kanannya terulur di hadapanku.
Aku pura-pura menatap uluran
tangannya itu. Tentu saja aku tak terlalu tolol untuk mencoba menyambutnya. Mana ada setan yang bertangan sehangat tanganku?
Aku berlagak mengamati wajahnya,
dengan pandangan mengisyaratkan kesan misterius.
“Aku Lavia…,” dengan terlatih,
aku mampu mengucapkan nama fiktif itu, penuh kelirihan.
Dia menurunkan tangan kanannya
yang tidak kuacuhkan, lalu memandangku lekat-lekat. “Nunggu orang?”
Aku kembali menatapnya penuh
misteri. “Cuma angkot. Aku baru pulang les di bimbingan belajar itu…” Kali ini
aku jujur.
“Malam-malam begini angkot jarang
lewat. Gimana kalau kuantar pulang?” Sepasang mata cowok itu menatapku tajam.
Tentu saja aku wajib berpura-pura
ragu.
“Jangan takut bikin repot. Aku
senang sekali kalau kamu kuantar,” dia mendesak, sebelum aku berlagak menolak.
“Sungguh?” tanyaku lembut.
“Tentu saja.”
“Baiklah.” Kuanugerahkan senyum
penuh pikatku. Lengkap dibumbui pandangan misterius yang mengena.
Dalam sesaat saja, sedan itu
telah melaju.
Hatiku tak berhenti tersenyum.
Permainan ini terbukti benar-benar sempurna. Betapa mudah mengelabui mereka
satu-persatu. Kemudian, hanya dalam beberapa hari, aku akan bisa menyaksikan
bagaimana wajah cowok ini memucat, lalu lari tunggang-langgang dari hadapanku.
Hihihi… Lucu sekali.
Dan aku tahu, cowok ini akan
bernasib sama dengan cowok-cowok tolol sebelumnya.
Sebenarnya, aku tak tahu mengapa
aku begitu menyukai permainan ini. Aku hanya selalu merasa begitu puas, melihat
kekonyolan yang mereka lakukan. Mulanya memang cuma keisengan dan ide yang
sedikit gila gara-gara sulit mendapatkan angkot di depan tempat les. Tapi
semakin lama permainan ini begitu mengasyikkan dan tak mungkin lagi kuhentikan,
sekalipun sahabatku menasihati, “Jangan mencoba menyaingi makhluk halus. Itu
bukan hakmu, Nia.”
Walah! Tentu saja aku tak
menggubris ocehan yang lebih mirip ucapan dukun itu! Aku cuma tahu, permainan
ini begitu mengasyikkan. Titik. Selesai.
Sedan ini masih meluncur lurus.
Lurus dan lurus. Lurus yang tak berakhir.
Ehh! Tak berakhir?!
Ada sesuatu yang salah! Ada
sesuatu yang ganjil!
Tiba-tiba lampu remang-remang di
tepi jalan padam satu per satu. Remang. Semakin remang.
Mustahil!!! Aku mulai ngeri.
“Orian,” aku mendesis. “Kok…
kayaknya… ada yang nggak beres.” Aku bahkan lupa mempertahankan
kemisteriusanku.
Sepi… membisu…
Aku menoleh. Dia bergeming di
hadapan kemudinya. Sesuatu yang mencekam terasa mengaliri seluruh tubuhku.
“Orian!” Kucekal tangannya. Tapi…
Aku memekik. Tangan itu beku!
Tangan itu dingin dan tak punya kehidupan!
“Bebaskan aku!” aku menjerit.
Tapi pintu mobil tak bisa lagi terkuak, bagaimanapun aku berusaha membuka.
Bau anyir darah merambati
penciumanku. Entah dari mana.
“Orian! Lepaskan aku!”
Kuguncang dia, tapi dia tetap
membeku. Aku terus menjerit. Menjerit. Dan memekik.
Lalu keyakinan yang luar biasa
menyusup ke seluruh darah dan dagingku. Aku terperangkap! Aku tiba-tiba
mengerti, perjalanan ini takkan pernah berakhir.
Tolonglah!!!
Entah ke mana aku akan terbawa
kini.
Dan di sini, air mata maupun
tangisan, tak bisa lagi kuhadirkan….
13 dan 15 Maret 1997
Cerpen ini pernah dimuat di majalah
HAI tahun 1997.