Terima Kasih, Fian

Friday 13 June 2014

Seperti kubilang, hari Rabu kemarin Fian mengantarkan ayam dan kentang Hisana sebagai syarat permohonan maafnya setelah seenaknya membatalkan janji bertemu denganku hari itu. Dan kau tahu, ia membeli semua pesananku bukan dengan uang orangtuanya, akan tetapi uang hasil keringatnya sendiri.

Esoknya saat kami bertemu, Fian curhat padaku.

“Kemarin aku jualan di satu tempat gak dapet uang sedikitpun,” katanya. Saat itu kami sedang duduk di depan rumah Fian seraya mencicipi makanan ringan.

“Masa?” tanyaku tak percaya. “Gak mungkin gak dapet sama sekali.”

“Sumpah!” serunya serius. “Terus weh aku pindah ke SD lain, baru deh dapet dua puluh ribu. Terus uangnya diabisin semua buat Devi.” Ia mengacak rambutku sayang, membuatku cengengesan kesenangan.

“Nyesel?” pancingku.

“Nyesel? Ya nggak lah!” jawabnya yakin. “Kapan lagi aku bisa ngasih ke kamu?”

Tanpa kuduga, setelah mentraktirku semangkok mie ayam langganan kami di sana, ada sebuah kejutan menantiku di hari Kamis itu.

Fian masuk ke dalam rumah sementara aku sibuk menulis surat lamaran pekerjaan untuknya. Tak lama ia kembali lalu duduk di sampingku seperti sebelumnya. Tanpa rasa curiga, kuteruskan tugasku yang masih belum tuntas. Anehnya, Fian malah cengengesan gak jelas. Lama-lama aku jadi curiga. Dan ketika aku menoleh…

“Itu apaan?” jariku menuding benda dalam genggaman Fian. Tampak sebuah rantai keluar dari genggamannya. “Kalung ya, Bi?”

Aku tidak dapat menyembunyikan senyum bahagiaku saat Fian menjawab pertanyaanku dengan tawa malu-malu tikus. Itu kalung! Benda yang dulu pernah kuminta namun Fian belum punya cukup uang untuk membelinya saat itu.

Usut punya usut, ternyata yang diberikannya adalah kalung couple. Bandul kalung ini berbentuk sebuah hati yang terbagi menjadi dua potongan (bentuk love dibagi dua, lalu ditempelin pakek magnet).

“Itu kan kalungnya ada dua, Bi,” kataku sebelum bungkusan kalung dibuka.

“Kan yang satu buat aku, tapi gak dipake aku mah. Mau disimpen di dompet.”

“Jangan ilang ya, Bi.”

“Nggak akan lah, Bi.”

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya dengan senyum shy-shy cat 555+, Fian memasangkan kalung tersebut di leherku. Aku menunduk, ikut tersenyum, dan menjatuhkan kepalaku di dadanya. Aku senaaaaaang sekali.

“Kapan kalung Defian24-nya?” Kalung itu kini terpasang sempurna di leherku. Cantik.

“Kapan-kapan.”

Kami tertawa.

Mungkin saat ini ia bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Tapi aku yakin, suatu hari nanti ia akan menjadi ‘seseorang’. Dan saat itu tiba, kuharap masih ada aku di sampingnya. Mendorong semangatnya, mewarnai hari-harinya, menceriakan hidupnya. Semoga.

“Bebi, aku sayang banget sama kamu.” Suara Fian yang terdengar tulus setiap mengatakan kalimat tersebut selalu membuat darahku berdesir nyaman. Dia tidak sedang menggombal, dia sungguh-sungguh saat mengatakannya.

“Aku juga lah, Bi.”


Tentu saja, aku pun sangat menyayangi Fian.

Terima kasih Fian, untuk cinta dan kasih sayang yang kamu berikan untukku.

Terima kasih Bebi, untuk pengorbanan dan kesetiaan yang selalu didedikasikan untukku.

Terima kasih Papa, untuk usahamu dalam membahagiakanku dan tidak membiarkanku menangis lagi.

Terima kasih. I love you.

0 comments:

Post a Comment