Seperti kubilang,
hari Rabu kemarin Fian mengantarkan ayam dan kentang Hisana sebagai syarat
permohonan maafnya setelah seenaknya membatalkan janji bertemu denganku hari
itu. Dan kau tahu, ia membeli semua pesananku bukan dengan uang orangtuanya,
akan tetapi uang hasil keringatnya sendiri.
Esoknya saat
kami bertemu, Fian curhat padaku.
“Kemarin aku
jualan di satu tempat gak dapet uang sedikitpun,” katanya. Saat itu kami sedang
duduk di depan rumah Fian seraya mencicipi makanan ringan.
“Masa?”
tanyaku tak percaya. “Gak mungkin gak dapet sama sekali.”
“Sumpah!”
serunya serius. “Terus weh aku pindah ke SD lain, baru deh dapet dua puluh
ribu. Terus uangnya diabisin semua buat Devi.” Ia mengacak rambutku sayang,
membuatku cengengesan kesenangan.
“Nyesel?”
pancingku.
“Nyesel? Ya nggak
lah!” jawabnya yakin. “Kapan lagi aku bisa ngasih ke kamu?”
Tanpa kuduga,
setelah mentraktirku semangkok mie ayam langganan kami di sana, ada sebuah kejutan
menantiku di hari Kamis itu.
Fian masuk
ke dalam rumah sementara aku sibuk menulis surat lamaran pekerjaan untuknya. Tak
lama ia kembali lalu duduk di sampingku seperti sebelumnya. Tanpa rasa curiga,
kuteruskan tugasku yang masih belum tuntas. Anehnya, Fian malah cengengesan gak
jelas. Lama-lama aku jadi curiga. Dan ketika aku menoleh…
“Itu apaan?”
jariku menuding benda dalam genggaman Fian. Tampak sebuah rantai keluar dari
genggamannya. “Kalung ya, Bi?”
Aku tidak
dapat menyembunyikan senyum bahagiaku saat Fian menjawab pertanyaanku dengan
tawa malu-malu tikus. Itu kalung! Benda yang dulu pernah kuminta namun Fian
belum punya cukup uang untuk membelinya saat itu.
Usut punya
usut, ternyata yang diberikannya adalah kalung couple. Bandul kalung ini
berbentuk sebuah hati yang terbagi menjadi dua potongan (bentuk love dibagi
dua, lalu ditempelin pakek magnet).
“Itu kan
kalungnya ada dua, Bi,” kataku sebelum bungkusan kalung dibuka.
“Kan yang
satu buat aku, tapi gak dipake aku mah. Mau disimpen di dompet.”
“Jangan
ilang ya, Bi.”
“Nggak akan lah,
Bi.”
Setelah cukup
lama menunggu, akhirnya dengan senyum shy-shy cat 555+, Fian memasangkan
kalung tersebut di leherku. Aku menunduk, ikut tersenyum, dan menjatuhkan
kepalaku di dadanya. Aku senaaaaaang sekali.
“Kapan
kalung Defian24-nya?” Kalung itu kini terpasang sempurna di leherku. Cantik.
“Kapan-kapan.”
Kami tertawa.
Mungkin saat
ini ia bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Tapi aku yakin, suatu hari
nanti ia akan menjadi ‘seseorang’. Dan saat itu tiba, kuharap masih ada aku di sampingnya.
Mendorong semangatnya, mewarnai hari-harinya, menceriakan hidupnya. Semoga.
“Bebi, aku
sayang banget sama kamu.” Suara Fian yang terdengar tulus setiap mengatakan
kalimat tersebut selalu membuat darahku berdesir nyaman. Dia tidak sedang
menggombal, dia sungguh-sungguh saat mengatakannya.
“Aku juga
lah, Bi.”
Tentu saja,
aku pun sangat menyayangi Fian.
Terima kasih
Fian, untuk cinta dan kasih sayang yang kamu berikan untukku.
Terima kasih
Bebi, untuk pengorbanan dan kesetiaan yang selalu didedikasikan untukku.
Terima kasih
Papa, untuk usahamu dalam membahagiakanku dan tidak membiarkanku menangis lagi.
Terima kasih.
I love you.
0 comments:
Post a Comment