Patah Hati

Wednesday 11 June 2014
Kalian yang memiliki novel Honey Money pasti pernah membaca atau setidaknya melirik ‘Catatan Penulis’ yang disimpan di bagian akhir novel. Bukan hanya pernah, aku pribadi sampai berkali-kali membaca bagian tersebut. Be honest, apa yang disampaikan Debbie benar-benar persis seperti yang kurasakan, kualami, kuhadapi.

Seperti Debbie, aku pun pernah jatuh cinta dalam-dalam pada sosok ‘Rifaldi’.

Ia asli, nyata, bukan tokoh imajiner. Ia sungguh sempat hadir dalam hidupku, mengisi kehampaan hatiku, membuatku jatuh cinta dalam-dalam lalu akhirnya menghilang begitu saja.

Aku bingung, kacau, hilang arah.

Mengapa, mengapa, dan selalu mengapa pertanyaan yang bergaung dalam otakku.

Mengapa ia datang di kehidupanku?

Mengapa ia membuatku merasa nyaman?

Mengapa ia membuatku jatuh cinta dan terobsesi?

Lalu,

Mengapa ia pergi?

Tanpa pesan, tanpa salam.

Mengapa ia meninggalkan perih di hatiku?

Bak disayat sembilu.

Mengapa, mengapa ia hadir bila akhirnya pergi kembali?

Kita berbeda, tapi aku tidak keberatan.

Saat itu aku kelas 10 dan dia kelas 11. Aku di SMA, dia di SMK. Aku di sekolah negeri, dia di swasta. Aku perempuan dan dia laki-laki. Aku tinggal di Pasawahan, dia di Simpang. Kami sangat bertolak belakang tapi aku tidak pernah mempermasalahkannya sama sekali. Aku menerima dia apa adanya!

Aku selalu sabar mengadapinya.

Aku sabar menanti SMS-nya yang hilang-timbul. Aku sabar hanya berteman dengannya tapi tidak dengan cowok lain. Aku sabar menunggu ia menyatakan komitmen ‘serius’ di antara kami yang tidak jua kudengar hingga ia pergi meninggalkanku.

Mungkin aku sakit dan tidak bisa memaafkannya begitu saja, namun entah mengapa aku tidak pernah melupakan detail tentangnya.

Aku ingat saat berbicara bibirnya akan tertarik ke kanan beberapa senti, khas cowok keren. Ia selalu mengenakan kemeja, jam tangan di sebelah kiri, dan sepatu keds setiap bertemu denganku. Motornya matic berwarna merah, dengan helm hijau. Ia berasal dari Bandung, di tempat asalnya ia biasa dipanggil Edo. Waktu itu merk ponselnya Nokia.

Aku ingat!

Saat ia pergi tanpa alasan, dan tak bisa kuhubungi lewat apa pun, aku menangis sejadi-jadinya. Kukunci pintu kamar rapat-rapat, memutar musik keras-keras, dan mulai histeris. Selalu mengapa, mengapa, dan mengapa yang terngiang dalam benakku!

Seminggu kemudian kudengar ia telah memiliki kekasih. Aku tidak bisa berbohong pernah mencari tahu siapa dan seperti apa cewek yang akhirnya menjadi pacarnya itu. Cantik, kaya, modis. Sudah kuduga.

Dua minggu penuh aku meratapi kepergiannya. Tak mampu menahan tangis setiap mendengar lagu Kimi Sae Ireba diputar. Melamun sampai tak tahu hari apa ini, sudahkah aku mandi, mengapa aku tidak lapar? Saat itu aku nyaris hilang akal, gila. Yes, love is blind!

Pernahkah aku seperti ini? Maksudku, ini adalah kali pertama aku mencintai seseorang yang bahkan baru kukenal selama beberapa saat sampai sedalam ini. Dia bahkan belum menjadi pacarku, namun rasa perih saat ditinggalkan benar-benar tak tertahankan.

Aku merenung, memikirkannya, mencoba membuat novel dan cerpen tentangnya. Aku menulis diiringi linangan air mata. Dadaku amat sesak, bernapas pun sulit. Segala yang terbayang di benakku hanya Rifaldi, Rifaldi, dan Rifaldi.

Setahun kemudian aku merasa berhasil berhenti memikirkannya. Tiga bulan setelah kepergiannya, ia memang kembali menyapaku di facebook. Menanyakan kabarku layaknya sepasang sahabat yang lama tak jumpa. Mungkin ia biasa saja saat melakukannya, tapi aku sangat bahagia! Sayangnya, setelah itu ia kembali menghilang lalu datang lagi sebulan kemudian. Saat itulah momen yang kutunggu-tunggu tiba, saat ia menyatakan cinta padaku, ingin menjadi pacarku.

Dulu aku memang mengharapkan itu terjadi. Tapi tidak setelah ia menarik-ulur hatiku tanpa dosa! Maka aku memutuskan pergi dari kehidupannya. Seperti ia telah meninggalkanku begitu saja. Walaupun sejujurnya, aku masih menyayanginya. Sedikit.

Kemudian Fian datang, seperti cowok-cowok lain yang berlalu-lalang di kehidupanku. Aku meresponnya namun tidak berharap lebih. Aku menerima cintanya namun tidak dengan hatiku, aku belum bisa jatuh cinta padanya. Tapi aku tetap mencoba. Yakin suatu hari nanti dapat mencintai cowok yang belum apa-apa sudah berkorban untukku dengan sepenuh hati.

Namun suatu malam tiba-tiba aku kembali membaca SMS-SMS jadul Rifaldi yang berisi candaannya, basa-basinya, serta permintaannya untuk menjadi pacarku. SMS lama yang tidak pernah kuhapus. Mendadak aku meragu. Rasanya mustahil mencintai Fian sementara hatiku masih terperangkap di masa lalu. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan hubungan dengan Fian begitu saja.

Menurut pengakuannya, saat itu Fian dilanda kebingungan atas tindakan sepihakku. Tapi aku tidak peduli. Aku paham betul hati tidak bisa dipaksakan. Aku tidak mencintai Fian, lantas untuk apa aku berpacaran dengannya!? Mungkin itu juga yang dulu Rifaldi rasakan. Ia tidak mencintaiku, jadi untuk apa terus bersamaku?

Hasil pemikiran puluhan kali serta kegigihan Fian untuk membina hubungan kembali membuatku memutuskan untuk try again. Dan kau tahu, jika dulu aku tak berani mencoba, kupikir aku tidak akan pernah merasakan kebahagiaan ini, rasa cinta ini, rasa nyaman ini.

Aku ingat, tanggal 21 Februari 2013 itu, saat kami berada di rumah Niffa dalam rangka double date, Fian akhirnya memaksaku benar-benar melupakan Rifaldi. Ia hapus seluruh SMS di ponselku hingga 0. Ia hapus seluruh curhatan tentang Rifaldi di catatan di ponselku. Pokoknya segala sesuatu yang berhungan dengan Rifaldi, Fian hapus!

Semakin lama, aku makin nyaman dengannya. Rupannya kami satu sifat, satu pemikiran, satu kenakalan, satu hati.

Tak terasa 15 bulan berlalu terhitung sejak 24 Februari 2013. Kuharap kami dapat terus bersama selamanya. Aamiin.



#N.B : Januari lalu Rifaldi kirim chat padaku, katanya sekarang ia bekerja di Hotel Marbela di Dago Pakar. Dan kabarnya ia punya cewek baru, cewek keempat sejak pertama aku mengenalnya. Pokoknya selamat, cepet tunangan ya! :D

0 comments:

Post a Comment