Minggu,
08 Juni 2014
Semalam
adalah kali ketiga aku memimpikannya. Seperti dua mimpi sebelumnya, mimpi kali
ini pun terasa nyata. Dalam mimpi tersebut, teman SD-ku memang tetap menjadi
temanku. Kami berdialog layaknya sepasang teman yang lama tidak berjumpa. Namun
gesture, bahasa tubuh yang kami gunakan satu sama lain, berkata sebaliknya. Di dalam
mimpi, rupanya kami masih saling menyayangi. Dia yang pertama mengakui masih
menyimpan rasa untukku. Tapi aku bungkam. Apa yang juga kurasakan terhadapnya
justru terjawab begitu aku terjaga.
Rindu.
Selalu perasaan tersebut yang muncul kali pertama. Sudah kubilang mimpi ini
terasa amat nyata, itulah mengapa aku selalu mengingat setiap detail di dalam ketiga
mimpiku.
Aku
ingat betapa bahagianya saat aku dapat kembali melihat wajanya, cemburu saat ia
menyapa cewek lain, nyaman saat akhirnya kami menghabiskan waktu bersama-sama.
Wajar
jika di alam nyata aku mendadak merindukannya.
Keesokan
harinya benakku akan dipenuhi bayangan tentangnya di alam nyata, tentangnya di
alam mimpi, dan tentang kami. Hanya satu hari itu. Selanjutnya aku berhenti
mengingatnya begitu saja. Selalu seperti itu untuk setiap mimpiku tentangnya.
Aku
tahu, mimpi hanyalah bunga tidur. Senyata apa pun, yang kualami hanya sebuah
mimpi belaka. Barangkali di alam nyata, yang sesungguhnya terjadi, ia sama
sekali tidak mengingatku. Pun seandainya ingat, hanya ingat sebagai teman SD,
tidak lebih.
Bukannya
berharap, aku hanya ingin menceritakan garis besar mimpiku yang tampak nyata serta
bagaimana perasaanku begitu terjaga.
Bukannya
berkhianat pada Fian, aku hanya merasa rindu sesaat pada teman SD-ku itu, tidak
lebih. Segalanya tetap kudedikasikan untuk Fian seorang, kok.
Tapi
kuharap, apa pun itu, jangan lah menjadi pertanda buruk untukku. Semoga.
0 comments:
Post a Comment