NASKAH DITOLAK (DUKUN BERTINDAK?)

Thursday, 29 May 2014

NASKAH DITOLAK (DUKUN BERTINDAK?)
oleh Christian Simamora Full (Catatan) pada 28 Oktober 2010 pukul 10:12

Here comes the bad memories: ya, saya pernah ditolak. Dua kali malah. Dan saat itu saya merasa editor adalah orang paling kejam yang pernah saya kenal seumur hidup (which is agak ironis ya, karena lihatlah saya sekarang, hehe). Bukan itu saja, penolakan itu membangkitkan pertanyaan berbahaya di benak saya: apakah saya benar-benar punya bakat di dunia tulis-menulis ini? Apa mungkin saya memang ditakdirkan mencari pekerjaan yang biasa-biasa saja—seperti manusia normal lainnya?

Jadi, yeah, buat teman-teman yang baru saja atau pernah ditolak naskahnya oleh sebuah penerbit, jangan buru-buru merasa jadi pecundang. Yang ditolak bukan kamu saja kok. Dan sama seperti kata D’Masiv di lagunya: Jangan Menyerah.

Banyak Alasan Kenapa Naskah Ditolak

Saya pernah tanya ke seorang penulis, kenapa naskahnya ditolak penerbit. Dengan wajah sedih, dia berkata lirih, “Yah, paling karena jelek lah, Bang.”

Memang benar, naskah ditolak berarti di bawah standar penerbit itu. Tapi sebenarnya, bukan itu saja faktor yang membuat naskah tersebut dikembalikan. Satu, bisa jadi tidak sesuai karakter penerbit. Ada penerbit yang menerbitkan fiksi bertema religius—coba bayangkan, kira-kira apa yang terjadi kalau Shit Happens dikirimkan ke sana? Bakal diterima nggak?

Dua, naskah kamu bukan jenis terbitan mereka. Jadi cermati baik-baik terbitan mereka yang terbaru. Catet, terbitan terbaru (tahun ini), bukan tiga atau empat tahun lalu. Perbukuan adalah dunia yang dinamis, dan dunia ini juga mengenal istilah ‘tren’ dan ‘konsentrasi terbitan’. Bisa jadi yang empat tahun oh-so-famous, tahun ini sudah tidak diterbitkan lagi.

Tiga, isu SARA dan kontroversial di naskahmu. Khusus yang ini, harap kamu berhati-hati. Bermain-main di naskah yang edgy dan pushing boundaries memang tantangan menggoda, tapi harap lakukan dengan memperhatikan kenyamanan para pembaca juga. Nggak lucu lho nge-joke soal orientasi seksual, agama, suku, atau kelompok masyarakat tertentu. Saya percaya kamu bisa kok membuat pembaca tertawa terbahak-bahak tanpa harus membuat orang lain tersinggung. Spongebob saja bisa....

Naskah Dikembalikan—Terus Harus Gimana Dong?

Penerbit yang baik biasanya akan memberitahukan poin-poin minus naskahmu. Perhatikan baik-baik poin tersebut karena dari situlah kamu bisa memutuskan apakah naskah itu masih layak untuk direvisi atau sebaiknya menulis naskah baru saja.

·         Kalau yang bermasalah adalah porsi deskripsi yang kurang berimbang dengan narasi (“Naskah kamu masih ‘telling’, nggak ‘showing.’”), dan setting yang kurang meyakinkan—selamat! Kamu masih bisa berharap banyak dengan naskahmu ini. Solusinya pun simpel: revisi sesuai permintaan editor.
·         Kalau yang bermasalah adalah karakter tokoh (“Klise, nggak konsisten, tidak menarik, dsb....”, plot dan konflik (“Cerita kamu datar, konflik kurang kuat, dsb....”), dialog (“Bertele-tele, kaku, dsb....”), gaya penulisan—ouch. Sebaiknya kamu menulis naskah baru saja. Segigih apa pun kamu merevisi, hasilnya nggak akan terlalu memuaskan.

Lalu, bagaimana kalau ditolak oleh penerbit yang bahkan tidak mau repot-repot memberi poin-poin kritikan seperti itu? Saya mengalami yang seperti ini. Dan hal pertama yang saya lakukan (setelah berhasil ‘bangkit’ dari momen berduka selama seminggu lebih, hehe) adalah memata-matai buku terbitan penerbit itu. Cari tahu seperti apa buku best-seller mereka, tema-tema apa saja yang jadi unggulan di sana, siapa-siapa saja penulis kebanggaan mereka—cari tahu sampai sedetail-detailnya.

Saya ingat, dulu, di salah satu talkshow-nya, Raditya Dika pernah bilang, dia mengasah naluri menulis komedinya dengan membaca novel-novel Lupusreligiously. Dia membaca ulang semua novel-novelLupus, dan menggarisbawahi bagian mana saja yang membuat dia tertawa. Nah, konon, saat menulis buat blog-nya (yang kelak menjadi buku Kambingjantan) berdasarkan apa yang dia pelajari dari novel-novel itu.

Saya mencoba hal serupa sebelum menulis Macarin Anjing. Saya memata-matai beberapa judul novel remaja bestseller dan mempelajari baik-baik semua elemennya—yah, jadinya seperti menganalisis bahan makalah deh! Seperti apa penulis membuat bab pertamanya, bagaimana juga cara si penulis mengakhiri ceritanya, bagaimana menyelipkan line-line komedi dan romantis di dalam dialog, bagaimana si penulis membuat karakter utamanya, bagaimana si penulis mengolah konflik cerita, dan sebagainya. (Funny thing is, beberapa bulan setelah Macarin Anjing terbit, saya dihubungi oleh seorang mahasiswa yang tertarik menjadikan novel itu sebagai bahan skripsi).

Ejaan Berbahasa

Tak sekali dua kali saya mendengar celotehan teman-teman penulis yang bilang ejaan itu urusannya editor. “Tugas kita ya nulis aja.” Ada benarnya sih. Tapi pernah nggak teman-teman berpikir, para editor-lah yang menentukan naskahmu layak diterbitkan atau nggak. Jadi, daripada menganggap remeh urusan ejaan ini, coba deh kamu bereskan sendiri jauh sebelum memutuskan mengirimkan naskah ke penerbit.

Mereka paham benar nggak semua penulis mengerti betul soal EYD dan sodara-sodaranya, tapi bisa kan paling nggak memperhatikan betul... minimal tanda baca deh. Ini beberapa contoh kasus yang pernah saya temukan di tumpukan-tumpukan naskah yang ditolak (versi biasa dan versi ekstrim):

*
“sampai dmn kita tadi?ohya,pacar gw yg baru.standar si tampangnya.nggak bakal bikin lo ngiler gt deyyy...” , celoteh nita sama temen sekamarnya yg bernama evi (tp dipanggilnya ephoy)

“ni...anak!!!klo standar knapa dipacarin c,buuuu!”, ephoy menimpuk nita dengan bantal yg td dipake buat bobo siang.

“suka2 dooooooooooongs!”, nita ngakak2 aza.

(Ini kan naskah novel, bukan SMS atau postingan spontan di wall Facebook. Kasihan editornya ah kalau semuanya disingkat-singkat, dan pakai huruf kecil semua)

*
4nyway... 4k 5m c0WoK it dh jln d-TG hr4n. yh, 5t4ndr-5tandr 6tlh. mAkn mLAm k5l D fdc0urT (M35k1pN rs clm4r-nY 5mp4h Abi5), lalu nntn f1lm brny r35 wth3r5pn (5m3 ChicK flcK... lMYn sh tpNy).  oBrln Sh Lmy4N 45Yk, m5kpUN 55kl rd j4h Dr 15i k3plK—k4yk... tib-tbA N60mn6n 6lbl Wrm1ng? hny, 1’M nt grenpc3....

tp b6an plng men6JTkn, he w5N’t tryN6 t0 k5S m. n65h T4nd-tnd K3 5t j6 n66k. kcW. btE. Bkn AK mKr Jlk, 4pA jN6An-j4N6n 4k 1n n66k CkP ks5bL d m4tnY? 6t? dn smkn dPK1r-Pk1r l6, nih Cw0k BWANNy j6 jrk MLl. kyk 4k kn kU5T 4t 4plh. pokkny, aKu nn6k3P k35aN d14 j1JK 6tU 5M Ak.

(I have no problem on Alay people. Tapi, serius deh, tega amat nulis novel berpuluh-puluh halaman dengan gaya Alay... -___-)

(p.s. contoh itu bikinan sendiri lho—bukan dari naskah beneran. Nggak tega ah)

Nyali

Ditolak sekali, masih semangat. Ditolak dua kali, mulai berpikir panjang. Ditolak berkali-kali, mindernya keluar deh. Saya tahu, mencoba berdiri lagi setelah gagal berkali-kali memang berat, tapi ya berdasarkan pengalaman bagian ini bukan hal terberat menjadi penulis lho (I will tell you later).

Aza-aza fighting, Teman! Cuma itu yang bisa saya bilang. Percayalah, di suatu masa di proses panjang dan melelahkan ini, kamu bisa menaklukkan editor-editor itu dan membuat mereka jatuh cinta pada tulisanmu. Jadi, sampai yang seperti itu benar-benar terjadi dalam hidupmu, tetaplah menulis.




0 comments:

Post a Comment