18 Januari 2012 pukul 10:48
Sebelumnya,
sebaiknya aku perjelas, aku belum pernah menulis novel ber-setting luar negeri. Long,
long time ago, pernah
nulis cerita pendek ber-setting Amerika Serikat, but
that’s it. Pengalaman
ini tetap nggak bisa dibandingkan dengan novel berpuluh-puluh halaman yang
dikerjakan dengan darah dan keringat (halah!).
Note
ini aku tulis lebih berdasarkan pengalaman sebagai editor. Selama
bertahun-tahun bekerja di GagasMedia, aku menyaksikan ratusan—bahkan mungkin
ribuan—naskah yang datang dan pergi. Bersama teman-teman redaksi lain, kami
menyaring naskah-naskah masuk dan memutuskan judul-judul mana saja yang
dianggap layak untuk diterbitkan.
Dan
tibalah bagian paling bikin nggak enak hati: kenapa naskahku ditolak?
Aku
pernah menulis note juga tentang sejumlah alasan yang
menyebabkan naskah ditolak, tapi kali ini ini aku akan fokus hanya di naskah
ber-setting luar negeri. Which
is lagi happening
banget kayaknya. Dari sepuluh naskah masuk, dua-tiga naskah berlatar belakang
luar negeri. Dan, yeah, menulis novel
dengan latar belakang yang nggak kita temui sehari-hari memang sulit—so, here’s my salute to all you
authors who did the brave job. Tapi... aku nggak bisa menyangkal
juga, persentase naskah ber-setting luar negeri yang kemudian diputuskan
terbit juga nggak banyak. Dan inilah yang akan kita bahas kali ini:
Stop
Watching That Movie, Stop Reading That Book
Nggak
ada yang lebih menyakitkan daripada dituduh menyontek. Lebih menyakitkan lagi
karenaternyata kamu nggak menyontek siapa pun, tapi orang-orang menuduhmu
sebaliknya. Tapi, bukan berarti kamu lantas bisa dengan mudah membenarkan diri
ketika kemudian kamu menyadari kalo kamu ‘mungkin’ pernah menonton film/serial
TV serupa.
Saran: Ada dua hal yang bisa kamu lakukan
untuk menghindari hal ini.
Satu,
begitu menemukan ide saat menonton atau membaca, buru-buru tulis hipotesis
dasarnya di buku catatan. And that’s it. Nggak
sedikit penulis yang ‘mencuri plot’ dan membuat sesuatu yang benar-benar baru
dengan caranya sendiri. Penulis ‘Bridget
Jones’ mengaku mengambil plot dasar novelnya dari Pride
and Prejudice. Penulis ‘West
Side Story’ mengambil plot dasar skenarionya dari Romeo
and Juliet. Coba buktikan sendiri, apa kamu bisa bilang novel dan
skenario mereka menyontek karya Jane Austen dan Shakespeare?
Dua,
kalo cara itu nggak bisa kamu lakukan dengan tanpa dituduh menyontek (“No matter how hard I do,
novel gue tetap berasa kayak versi bajakannya Twilight, Bang”), then
stop it. Buatlah plotmu sendiri. Jangan tergoda melakukan sesuatu
yang kelak bakal jadi batu sandungan bagimu.
Novelmu
Bukan Fan Fiction
I
have to say this. Really, I do. Dan ini sering banget aku
temukan di naskah berlatar belakang Asia Timur, say, Korea, Jepang, dan Taiwan.
Satu hal yang harus kamu ingat, nggak semua orang menggemari hal serupa dengan
kamu. Aku pribadi memang lumayan ngeh dengan nama personil Super Junior, Big
Bang, SNSD, dan sodara-sodaranya, jadi saat membaca naskahmu, aku
manggut-manggut dan bisa setuju kalo, misalnya, T.O.P. itu tampan dan
misterius. Tapi bagaimana dengan yang bahkan nggak peduli sama sekali dengan
hallyu?
Saran: Cobalah menulis dengan membayangkan
kamu sedang bercerita kepada orang asing. Kamu nggak tau dia suka apa, nggak
tau dia berkebangsaan apa. Jelaskan detail-detail karaktermu meskipun menurutmu
itu so obvious. Dan cobalah untuk menghindari deskripsi ‘Dia setampan Lee Min
Ho’ karena, Dahling, si orang
asing ini BELUM TENTU kenal Mas Min Ho ini. Demikian juga halnya dengan
kepribadiannya. Kita nggak bilang orang itu baik hanya karena dia terus-terusan
bilang, “Aku baik lho.” Kita bisa mengenali kebaikan hatinya dari sikapnya,
gestur saat dia berbicara dengan orang lain, dan sebagainya.
Setting
1)
‘Paris itu indah sekali.’ Yah, kata orang-orang sih begitu. Tapi akan jauh
lebih baik kalo tulisan kamu menjelaskan dengan baik keindahan Paris, dan nggak
hanya sekadar bilang ‘Paris itu indah sekali’. Tapi ingat, deskripsi dan narasi
ibaratnya seperti pedang bermata dua. Kalo terlalu sedikit, pembaca kecewa.
Kalo terlalu banyak, pembaca bosan.
2)
Seberapa penting setting luar negeri ini buat cerita kamu.
Saran: Cara paling mudah adalah dengan
menjawab pertanyaan ini: kalo setting cerita ini diubah ke, let say, Wonogiri,
apa plot utama bakal berubah? Kalo jawabannya
‘tidak’, berarti sebaiknya kamu mengolah lagi plot cerita ato keputusan
menuliskannya dengan setting luar negeri.
Contoh
novel yang jawabannya adalah ‘iya’ adalah Le Divorce karya Diane Johnson. Kalo novel ini
diubah settingnya dari Prancis ke Wonogiri, plot utamanya benar-benar akan
berubah. Semua konflik dalam Le Divorce yang didasarkan pada aturan perceraian
dan pembagian harta gono-gini Prancis jelas jadi tak masuk akal kalo settingnya
dipindah ke Wonogiri.
Bahasa
dan Dialog
1)
Dialog ‘Halo’ ‘Halo’ ‘Siapa ini?’ ‘Aku A.
Dengan siapa ya saya bicara?’ ‘Saya B. Mau cari siapa?’ dan percakapan basa-basi lainnya tetap
terasa buang-buang halaman walaupun diubah ‘secara kreatif’ dengan menambahkan
sapaan dari bahasa negara lain.
Saran: cobalah menulis dialog yang penting.
Kalo ternyata menurut kamu adegan itu terdiri dari percakapan remeh, tapi
menurut kamu penting karena merupakan kronologis dari keseluruhan adegan, tulis
ulang dan tambahkan deskripsi penting untuk adegan berikutnya.
2)
Waspada dengan kendala bahasa. Nggak semua istilah/frase bahasa asing bisa
diterjemahkan tanpa ada perasaan janggal, aneh, dan malah menimbulkan
pertanyaan.
Misalnya:
“I want love you in 3D.
I’m gonna turn you on just like a TV. I’ll have your body movin’ till you
poppin’ off the screen.’ There. Aku tantang
kamu untuk membuat terjemahan lirik 3D – JLS ini nggak terasa janggal. :)
Saran: if
it turns out weird, change it. Hanya itu satu-satunya solusi,
teman.
3) Dialek dan aksen.
Saran:
Coba baca tips di link ini http://readericreatedhim.wordpress.com/2011/10/24/ten-tips-on-writing-characters-with-accents-by-rose-lerner/
Kalo
masih bingung, monggo atuh ditanya.^^
0 comments:
Post a Comment