Menulis Novel Ber-setting Luar Negeri (Christian Simamora's)

Thursday, 29 May 2014

18 Januari 2012 pukul 10:48


Sebelumnya, sebaiknya aku perjelas, aku belum pernah menulis novel ber-setting luar negeri. Long, long time ago, pernah nulis cerita pendek ber-setting Amerika Serikat, but that’s it. Pengalaman ini tetap nggak bisa dibandingkan dengan novel berpuluh-puluh halaman yang dikerjakan dengan darah dan keringat (halah!).

Note ini aku tulis lebih berdasarkan pengalaman sebagai editor. Selama bertahun-tahun bekerja di GagasMedia, aku menyaksikan ratusan—bahkan mungkin ribuan—naskah yang datang dan pergi. Bersama teman-teman redaksi lain, kami menyaring naskah-naskah masuk dan memutuskan judul-judul mana saja yang dianggap layak untuk diterbitkan.
Dan tibalah bagian paling bikin nggak enak hati: kenapa naskahku ditolak?
Aku pernah menulis note juga tentang sejumlah alasan yang menyebabkan naskah ditolak, tapi kali ini ini aku akan fokus hanya di naskah ber-setting luar negeri. Which is lagi happening banget kayaknya. Dari sepuluh naskah masuk, dua-tiga naskah berlatar belakang luar negeri. Dan, yeah, menulis novel dengan latar belakang yang nggak kita temui sehari-hari memang sulit—so, here’s my salute to all you authors who did the brave job. Tapi... aku nggak bisa menyangkal juga, persentase naskah ber-setting luar negeri yang kemudian diputuskan terbit juga nggak banyak. Dan inilah yang akan kita bahas kali ini:

Stop Watching That Movie, Stop Reading That Book
Nggak ada yang lebih menyakitkan daripada dituduh menyontek. Lebih menyakitkan lagi karenaternyata kamu nggak menyontek siapa pun, tapi orang-orang menuduhmu sebaliknya. Tapi, bukan berarti kamu lantas bisa dengan mudah membenarkan diri ketika kemudian kamu menyadari kalo kamu ‘mungkin’ pernah menonton film/serial TV serupa.

Saran: Ada dua hal yang bisa kamu lakukan untuk menghindari hal ini.

Satu, begitu menemukan ide saat menonton atau membaca, buru-buru tulis hipotesis dasarnya di buku catatan. And that’s it. Nggak sedikit penulis yang ‘mencuri plot’ dan membuat sesuatu yang benar-benar baru dengan caranya sendiri. Penulis ‘Bridget Jones’ mengaku mengambil plot dasar novelnya dari Pride and Prejudice. Penulis ‘West Side Story’ mengambil plot dasar skenarionya dari Romeo and Juliet. Coba buktikan sendiri, apa kamu bisa bilang novel dan skenario mereka menyontek karya Jane Austen dan Shakespeare?

Dua, kalo cara itu nggak bisa kamu lakukan dengan tanpa dituduh menyontek (“No matter how hard I do, novel gue tetap berasa kayak versi bajakannya Twilight, Bang”), then stop it. Buatlah plotmu sendiri. Jangan tergoda melakukan sesuatu yang kelak bakal jadi batu sandungan bagimu.

Novelmu Bukan Fan Fiction
I have to say this. Really, I do. Dan ini sering banget aku temukan di naskah berlatar belakang Asia Timur, say, Korea, Jepang, dan Taiwan. Satu hal yang harus kamu ingat, nggak semua orang menggemari hal serupa dengan kamu. Aku pribadi memang lumayan ngeh dengan nama personil Super Junior, Big Bang, SNSD, dan sodara-sodaranya, jadi saat membaca naskahmu, aku manggut-manggut dan bisa setuju kalo, misalnya, T.O.P. itu tampan dan misterius. Tapi bagaimana dengan yang bahkan nggak peduli sama sekali dengan hallyu?

Saran: Cobalah menulis dengan membayangkan kamu sedang bercerita kepada orang asing. Kamu nggak tau dia suka apa, nggak tau dia berkebangsaan apa. Jelaskan detail-detail karaktermu meskipun menurutmu itu so obvious. Dan cobalah untuk menghindari deskripsi ‘Dia setampan Lee Min Ho’ karena, Dahling, si orang asing ini BELUM TENTU kenal Mas Min Ho ini. Demikian juga halnya dengan kepribadiannya. Kita nggak bilang orang itu baik hanya karena dia terus-terusan bilang, “Aku baik lho.” Kita bisa mengenali kebaikan hatinya dari sikapnya, gestur saat dia berbicara dengan orang lain, dan sebagainya.

Setting
1)      ‘Paris itu indah sekali.’ Yah, kata orang-orang sih begitu. Tapi akan jauh lebih baik kalo tulisan kamu menjelaskan dengan baik keindahan Paris, dan nggak hanya sekadar bilang ‘Paris itu indah sekali’. Tapi ingat, deskripsi dan narasi ibaratnya seperti pedang bermata dua. Kalo terlalu sedikit, pembaca kecewa. Kalo terlalu banyak, pembaca bosan.

2)       Seberapa penting setting luar negeri ini buat cerita kamu.
Saran: Cara paling mudah adalah dengan menjawab pertanyaan ini: kalo setting cerita ini diubah ke, let say, Wonogiri, apa plot utama bakal berubah? Kalo jawabannya ‘tidak’, berarti sebaiknya kamu mengolah lagi plot cerita ato keputusan menuliskannya dengan setting luar negeri.

Contoh novel yang jawabannya adalah ‘iya’ adalah Le Divorce karya Diane Johnson. Kalo novel ini diubah settingnya dari Prancis ke Wonogiri, plot utamanya benar-benar akan berubah. Semua konflik dalam Le Divorce yang didasarkan pada aturan perceraian dan pembagian harta gono-gini Prancis jelas jadi tak masuk akal kalo settingnya dipindah ke Wonogiri.

Bahasa dan Dialog
1)      Dialog ‘Halo’ ‘Halo’ ‘Siapa ini?’ ‘Aku A. Dengan siapa ya saya bicara?’ ‘Saya B. Mau cari siapa?’ dan percakapan basa-basi lainnya tetap terasa buang-buang halaman walaupun diubah ‘secara kreatif’ dengan menambahkan sapaan dari bahasa negara lain.

Saran: cobalah menulis dialog yang penting. Kalo ternyata menurut kamu adegan itu terdiri dari percakapan remeh, tapi menurut kamu penting karena merupakan kronologis dari keseluruhan adegan, tulis ulang dan tambahkan deskripsi penting untuk adegan berikutnya.

2)      Waspada dengan kendala bahasa. Nggak semua istilah/frase bahasa asing bisa diterjemahkan tanpa ada perasaan janggal, aneh, dan malah menimbulkan pertanyaan.

Misalnya: “I want love you in 3D. I’m gonna turn you on just like a TV. I’ll have your body movin’ till you poppin’ off the screen.’ There. Aku tantang kamu untuk membuat terjemahan lirik 3D – JLS ini nggak terasa janggal. :)

Saran: if it turns out weird, change it. Hanya itu satu-satunya solusi, teman.

3)   Dialek dan aksen.


Kalo masih bingung, monggo atuh ditanya.^^



0 comments:

Post a Comment