Jauh sebelum tulisan ini diluncurkan,
seorang gadis kelas 2 SMP—sekarang
kelas 3 SMP—memusuhiku yang dituduhnya telah merebut
seluruh perhatian kakak laki-laki yang notabene adalah pacarku, Fian. Ia
terang-terangan berkata sangat membenciku. Ia selalu protes, “Aa mah lebih
mentingin pacar daripada adik sendiri!”.
Pernah kucoba menjelaskan bahwa
sebenarnya, di balik sikap cuek dan masa bodohnya, Fian tetaplah sosok kakak
yang sangat menyayanginya. Bagaimana ia menyayangiku dan bagaimana ia
menyayangi adiknya tidak lah sama. Jika nyatanya waktu dan perhatian yang
diberikan Fian untukku jauh lebih banyak dibandingkan padanya, tentu ini hal
yang wajar.
Namun ia menolak mendengar. Ia
tetap bertahan dengan kebenciannya padaku. Beberapa kali ia mengatakan
ketidaksukaannya tersebut lewat SMS kepada Fian, yang langsung kutanggapi saat
kebetulan ikut membacanya. “Sebodo! Dia pikir gue suka sama dia? Nggak, lah!
Anak labil gitu. Bisanya sirik mulu.”
Mulutku memang tajam. Kata-kata
sinis bisa dilontarkan kapan pun aku mau. Apalagi seperti saat itu. Aku
benar-benar diliputi kekesalan. Dia pikir dia siapa?
Seiring berjalannya waktu, aku
memilih tidak peduli padanya. Menganggapnya tidak pernah ada. Mengabaikan
setiap dia mengirim SMS atau inbox facebook untukku. Kuabaikan. Aku tahu tife
macam apa anak itu. Semakin dibaikin, semakin melunjak pula lah keangkuhannya.
Semakin dinasihati, semakin tidak ingin mendengar. Abaikan. Itulah jalan
terbaik.
Hingga akhirnya, beberapa bulan
menjelang, sikapnya mulia lunak. Ia meminta maaf penuh penyesalan padaku. Ia
berkata aku pantas membencinya atas semua sikap buruk yang pernah ia lakukan.
Ia sungguh-sungguh menyesal, tidak ada alasan untuk tidak memaafkannya.
“Sebenernya teteh juga gak mau
membenci kamu. Biar gimanapun, kamu itu adik Fian. Teteh maunya gak cuma sayang
sama Fian, tapi sayang adik-adik dan orangtuanya juga,” kataku.
Sabtu, 03 Mei 2014, kami berbalas
pesan-ria seperti kakak-adik atau sahabat karib. Ia meminta saran SMA mana yang
bagus untuknya. Merasa bersemangat, kupromosikan almamaterku, SMA Negeri 1
Purwakarta, sekolah terbaik di Purwakarta.
Kami bertukar informasi, bertanya
jawab, membuat rencana main bareng, dan lain-lain. Rasanya campur aduk. Di satu
sisi aku senang akhirnya berbaikan dengannya, apalagi keesokan harinya dia
mencantumkan namaku di list ucapan selamat paginya. Namun kadang, aku merasa
terganggu juga. SMSnya tidak berhenti sehari penuh. Agak lama saja tidak
dibalas, ia langsung mengirim SMS baru. Bikin repot juga kadang-kadang.
Bagaimanapun, inilah yang
kuinginkan. Mencoba berdamai dengan segala aspek dalam kehidupan Fian. Mencoba
menyayangi orang-orang penting di sekitarnya. Mencoba membagi kebahagiaan kami
dengan yang lain.
Membagi canda, tawa, kisah, serta
kenangan manis. Mengabadikannya dalam memori. Menularkan semangat pada setiap
yang mendengar hingga terlibat dalam kisah DeFian.
Semoga ini menjadi awal semakin
baiknya hubungan kami mendatang.
Semoga semua merestui hubungan kami
nantinya.
Semoga aku, Fian, beserta keluarga
besar kami dapat saling menerima apa adanya.
Dan semoga aku bisa menyayangi
Nadya, adik perempuan Fian yang saat ini tengah menghadapi Ujian Nasional
tingkat SMP, sepenuh hati. Ikhlas. Menganggapnya seperti adik sendiri.
Semoga.
Aamiin, aamiin, aamiin…
0 comments:
Post a Comment