Cerpen : Gaun Lingkan ~ By. Mia Arsjad

Tuesday, 1 April 2014
Keren banget. Gaun vintage yang membalut tubuh manekin di balik etalase itu semakin hari semakin keren aja. Belum lagi bros unik dan tali pinggang keren yang bakal kadi bonusnya kalau baju itu dibeli. Diskon 50%! Itu yang paling bikin Lingkan ngiler. Dari harganya yang sekitar satu jutaan (pasti mahal dong, kan gaun impor desainer!) sekarang jadi (cuma) lima ratus ribu! Tetap mahal sih, tapi untuk gaun bermerek sebagus itu kayaknya harganya wajar-wajar aja deh.

Lingkan membuka dompet putihnya. Hasil kumpul-kumpul uangnya baru empat ratus ribu. Hmmm… kayaknya bulan depan dia sudah bisa membeli gaun itu! Seminggu lagi akhir bulan, dia bisa langsung mencomot seratus ribu dari uang bulanannya, dan gaun keren itu bakal membalut tubuh rampingnya di prom nite nanti. Dijamin, Wisnu pasti terbengong-bengong kagum.

Langkah kaki Lingkan mendekati pintu masuk toko. Ia melirik ke kiri. Gadis kecil itu lagi. Kalau ditilik-tilik, usianya kira-kira masih sebelas atau dua belas tahun. Seingat Lingkan, anak itu sering mengantarkan kue ke kantin sekolahnya. Biasanya dengan seragam SD, lengkap dengan topi dan dasi merah yang dulu Lingkan benci setengah mati.

Sudah hampir dua minggu sejak butik kecil di dekat sekolah Lingkan ini memasang reklame diskon, anak itu sering kelihatan duduk di trotoar depan toko. Nyaris berbarengan dengan Lingkan yang hampir tiap hari parkir di depan toko itu cuma untuk memastikan gaun itu masih ada.

Lingkan mendorong pintu kaca toko berdesain klasik itu.

“Siang, Mbak…,” sapa si pramuniaga ramah, jurus jitu menjerat pelanggan. Senyum mengembang sampai gigi nyaris kering.

Lingkan membalas senyum ekstragula si pramuniaga, lalu langsung memandangi manekin berbalut gaun keren itu dengan kagum. Lingkan jadi mirip cicak raksasa karena sibuk berdecak-decak kagum.

“Suka yang itu, Mbak? Itu tinggal satu lho… buatan Yongyong, desainer terkenal dari Cina. Udah banyak yang nanyain. Sejak pertama datang, cuma ada tiga. Yang dua sudah terjual. Ini didiskon, soalnya koleksi Yongyong yang terbaru bakal masuk. Mbak mesti beli kalo suka. Oh ya, Halle Berry juga punya gaun yang mirip ini…”

“Mbak…!” ujar Lingkan, membuat si pramuniaga nyaris keselek karena kaget, padahal dia lagi asyik meluncurkan jurus kedua, alias promosi heboh besar-besaran ditambah bohong kecil-kecilan.

Sang pramuniaga menatap Lingkan penasaran.

“Kalo saya DP-in dulu, boleh nggak? Buat tanda jadi, gitu….” Entah dari mana idenya, Lingkan mendadak ketakutan bila gaun itu lepas dari tangannya.

“Terus?” sang pramuniaga nggak ngerti.

“Bulan depan saya lunasin, sekalian saya ambil barangnya. Ini uang panjernya….” Lingkan menyodorkan lima lembar lima puluh ribuan dengan tampang maksa tapi memelas.

Kalau ini film kartun, pasti dari kepala si pramuniaga muncul dua tanduk warna merah. Hehehe… kena juga nih umpannya.

“Boleh aja,,,.” Katanya senang.

Lingkan nyengir girang. Dari dalam toko, dia bisa melihat anak SD itu masih duduk di trotoar dan menatap etalase. Jangan-jangan dia juga pengin gaun ini, pikir Lingkan.

***
“Elo serius, Kan, udah manjerin?” tatap Melli takjub.

Lingkan mengangguk mantap. “Lima puluh persen. Dengan kata lain, gaun itu udah punya gue. Setengahnya siihh…”

Melli geleng-geleng kepala heran. “Kenapa nggak bikin aja sih, Kan? Modelnya bisa kita modif, harganya lebih murah.”

Telunjuk Lingkan bergoyanng-goyang di depan hidung Melli. “No, no, no, Melli. Prom nite itu once in a lifetime. Kapan lagi, coba? Gue harus tampil prima. Lagian, gaun itu kan udah didiskon. Harganya udah nggak jutaan lagi, kan?” Lingkan membela diri.

Melli angkat bahu. “Ya deeeh… terserah.”

Sementara itu pikiran Lingkan sudah melayang ke mana-mana, membayangkan gaun keren itu membalut tubuhnya. Kayaknya dia harus cepat-cepat mencari kalung, tas, juga sepatu yang cocok dengan gaun itu. Jangan sampai dooong, gaunnya keren tapi sepatunya nggak matching.

“Tuh dia gaunnya, Mel!” Lingkan menunjuk gaun itu dengan semangat. Melli mau-mau aja waktu diajak pulang bareng demi melewati toko itu. Dia penasaran juga sih. Apa sih yang bikin Lingkan sebegitu penasarannya?

Melli memandangi gaun itu dari luar etalase. Pramuniaganya tersenyum dan melambai sekilas ke arah Lingkan. Lalu jempolnya terangkat seolah berkata, “Tenang ajaaa…”

Lingkan melirik trotoar. Hari ini juga anak itu ada. Matanya menatap lurus-lurus, seakan menembus kaca etalase dengan tatapan kepingin. Wah, boleh juga seleranya. Dua sama-sama suka gaun itu! Hebat! Gaun itu memang keren sih!

“Bagus nggak?” bisik Lingkan.

Melli mengangguk basa-basi.

“Kok gitu sih, Mel?”

“Ya bagus sih. Tapi gue rasa… bikin juga bisa. Paling cuma dua ratus ribu. Lo bisa hemat lebih dari setengahnya.”

Lingkan cemberut.

***

Wisnu senyam-senyum mendengar Lingakan nyerocos soal kostum pesta. Obsesi Lingkan untuk menjadi prom queen makin menggila, dan Wisnu mau nggak mau harus jadi pangerannya.

“Jangan lupa ya, Nu… Kamu pake baju yang aku pilih kemaren.”

Wisnu mengangguk. “Iya, Bos… Kan masih lama. Belum tentu nanti baju itu masih cukup,” godanya.

Lingkan melipat kedua tangannya di dada. “Kalo gitu, mulai hari ini kamu diet,” katanya sadis.

“Apa?”

“D-I-E-T. Diet. Pokoknya baju itu harus muat untuk nanti. Jangan sampai semuanya hancur dong, Nu… Ya, please?”

Demi melihat sang kekasih yang memelas, akhirnya Wisnu mangangguk lagi.

“Oh ya, Nu.”

“Apa lagi?”

“Kamu juga nanti harus dirias dikit. Biar nggak pucet.”

Haaaaaah???

***

Lingkan melirik etalase toko tempat gaun itu membalut manekin cantik yang anggun. Oh ya, Lingkan sengaja memperbolehkan si pelayan tetap memajang gaun itu sampai nanti dia ambil. Kan keren, kalo ada yang nanya jawabnya, “Oh maaf, Bu, Mbak, Neng, The, Zus… tapi gaun ini sudah ada yang punya.” Lingkan jadi senyam-senyum sendiri.

Saat Lingkan mengagumi si gaun impian, sang pramuniaga melambaikan tangan di sela-sela kesibukannya mempersiapkan toko yang akan buka dua jam lagi. Sejak membayar gaun itu, hampir setiap pergi dan pulang sekolah Lingkan mampir cuma untuk mengagumi.

Langkah Lingkan sempat terhenti. Gadis cilik itu lagi. Dia tetap duduk di trotoar depan etalase, menatap lurus-lurus ke arah kaca. Bedanya, karena ini masih pagi, dia masih membawa baskomnya yang berisi aneka kue.

***

“Taraaaaa!” seru Lingkan heboh sambil mengangkat sepucuk amplop cokelat.

Melli mengernyit bingung. “Apaan tuh?”

Uang bulanan gue,” katanya bangga.

“Terus…?” Melli makin bingung. Kayaknya nggak ada satu hal pun yang membuat ia harus ikut senang Lingkan dapat uang bulanan. Lagian, bukannya tiap bulan juga dapet? Atau… mungkin hari ini Lingkan mau melengkapi SKU (itu lho, buku kecil pramuka yang ada perintah-perintahnya) miliknya waktu SD, tentang “butir-butir” berbuat baik terhadap sesama. Terus sekarang dia mau traktir Melli.

Bibir Lingkan langsung manyun, pasang aksi demo seolah-olah Melli baru saja melupakan peristiwa penting dunia seperti ehm… uhm… penentuan hasil fosil menusia purba lagi joget, mungkin?

“Melliiii… Hari ini gaun itu bakal gue luuuuunaaaaasssin. Artinya, gaun itu bakalan sah jadi milik gue.”

Melli mengangguk. Cuma itu toh? Kirain apa, batinnya.

“Horeee…!” sorak Melli garing.

Dengan sebal setengah mati Lingkan mencubit hidung Melli. Kejam!!!

***

Anak itu masih duduk di trotoar depan etalase toko waktu Lingkan datang. Pastinya dia sudah menyetorkan dagangannya dan sudah pulang sekolah. Matanya masih lurus menatap etalase dengan tatapan kepingin.

Lingkan berbelok ke arah toko. Tapi sebelumnya, rasanya dia perlu ngobrol sejenak dengan gadis cilik itu.

“Hai…,” sapa Lingkan.

Gadis itu melirik Lingkan dan tersenyum sekilas tapi manis. “Hai.”

“Aku Lingkan. Boleh duduk di sini?” Lingkan meniup debu di atas trotoar.

Gadis itu mengangguk. “Mutia…,” katanya pelan.

Mata Mutia kembali menatap kaca etalase setelah memperkenalkan dirinya pada Lingkan.

“Mutia, Kakak mau beli gaun itu…,” kata Lingkan hati-hati. “Eh, Kakak tau kamu juga suka. Tapi itu belum cukup, Mutia…” Lingkan memberi jeda, menebak-nebak ekspresi Mutia. Tampaknya aman. Gadis itu menatap Mutia dengan tenang. “Tapi Kakak janji. Nanti, kalau kamu sudah besar, gaun itu boleh kamu pinjam. Nggak apa-apa kan, Mutia?”

Mata gadis itu membulat. Rautnya tampak bingung. Setengah mati Lingkan berdoa semoga anak itu nggak mendadak menangis.

“Kakak mau beli gaun itu?”

Lingkan mengangguk.

“Gaun itu memang bagus. Pasti cocok buat Kakak. Nanti… kalau Mutia punya uang dari nganterin kue, Mutia juga mau beli yang mirip kayak gaun itu. Yang ukurannya kecil.” Mata Mutia bersinar lucu. “Tapi kalo sekarang, kayaknya Mutia nggak cocok pake gaun model begitu. Gaun itu memang cocok buat Kakak. Apalagi sudah tiap hari Kakak datang ke sini,” celotehnya.

Lingkan jadi bingung. “Kamu nggak sedih?”

“Sedih? Kenapa?”

“Soalnya Kakak yang beli gaun itu, bukan kamu.”

Kucir Mutia bergoyang-goyang saat dia menggeleng. “Mutia nggak pengen gaun itu kok.”

HAH? “Lho? Bukannya tiap hari kamu ada di sini mandangin gaun itu, sama seperti Kakak?”

Mutia menggeleng lagi. “Bukan itu, Kak.”

Lingkan menatap Mutia.

“Tapi selimut kotak-kotak itu.” Mutia menunjuk seonggok benda yang ditumpuk begitu saja di keranjang obralan. Persis di belakang manekin itu. “Ibu Mutia minggu depan ulang tahun. Mutia pingin beliin itu, makanya Mutia ngumpulin uang. Kasian… selimut Ibu udah bolong-bolong dan tipis. Ibu kan sakit-sakitan. Mutia pengin beliin itu, soalnya bagus… dan paling murah di sini. Tiap hari Mutia diam di sini, buat mastiin masih ada atau nggak, Kak…”

Penjelasan Mutia membuat Lingkan terenyak. Ternyata selimut obralan yang murah itu! dan Mutia mau membelikannya buat ibunya yang sedang sakit, juga karena selimut ibunya sudah bolong-bolong.

“Uang Mutia kurang sedikit lagi… Mungkin minggu depan…”

***

“Makasih ya, Mbak? Ini kembaliannya.” Pramuniaga toko tersenyum ramah.

Lingkan menerima bungkusan belanjaan beserta uang kembaliannya. Ia melangkah ke luar toko. Rasanya lega sudah terbeli. PLONG!

Lingkan melangkah kea rah Mutia yang masih duduk di trotoar.

“Mutia, ini buat ibu kamu. Semoga cepat sembuh ya? Terus… selamat ulang tahun buat ibu kamu.”

Butir air mata mengalir di pipi Mutia. Matanya menatap tak percaya. Selimut itu sekarang ada di tangannya.

“Makasih, Kak…”


Lingkan tersenyum senang. Entah apa yang terjadi. Tadi, mendadak saja, dia merasa selimut kotak-kotak itu lebih pantas dibeli daripada gaun mahal yang menempel ketat di manekin.

0 comments:

Post a Comment