Hari Jadi Ke-5 dan Sejuta Ritangan di Dalamnya (bagian 1)

Monday, 19 August 2013

Entahlah, mungkin ini bulan terberat dalam hubunganku dan Fian. Banyak air mata yang tumpah menuju bulan ke-5 hubungan kami ini. Sungguh-sungguh bulan yang menguras energi, tenaga, pikiran, dan—yang terparah—menguras emosi.

Pengkhianatan

Kalian dan sejuta manusia di dunia ini pasti tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang benar-benar kita sayangi. Ya, rasanya sakit, perih, dan sejuta kepedihan lain yang tak dapat diungkapkan lewat kata-kata.

Hatiku bagai disayat sembilu. Peribahasa tersebut amat sangat tepat untuk rasa sesak tak terdefinisikan yang tengah melandaku ini. Saking sakitnya tidak ada yang dapat kulakukan selain menangis. Bahkan keinginan untuk membalas rasa sakit ini pun menguap entah ke mana. Aku hanya menangis, menangis, dan terus menangis. Berharap dia mengerti perasaanku, lalu meminta maaf atas segala kekhilafannya. Tapi tidak! Dia tidak melakukannya. Dia tidak memedulikanku!

Oh Tuhan… aku benci harus merasakan kepedihan ini kembali. Pedih yang kupikir tidak akan pernah kurasakan lagi. Sayangnya saat itu aku justru malah merasakannya, meski disebabkan oleh dua orang yang berbeda.

Aku butuh tempat berbagi

Aku pernah sakit hati, atau mungkin sering. Bukan hanya karena seorang kekasih, namun banyak hal. Biasanya aku memendam perasaan tersebut rapat-rapat, mecoba melupakannya. Jika terlalu sakit dan memungkinkan, maka aku akan membalas untuk rasa sakit serupa. Misal aku dimaki musuh, aku akan balas memaki, tidak peduli seberapa besar ukuran tubuh dan berasal dari keluarga mana dia. Toh aku masih punya keluarga yang akan membela jika terjadi sesuatu di luar ekspektasi nantinya.

Untuk sekali ini aku benar-benar tidak tahan menyimpannya seorang diri. Diiringi isak tangis, aku mengetik SMS untuk orang-orang terdekatku : Tuti, Irfan, Iriana. Kukatakan aku tengah menangis saat ini. Lalu mereka bertanya : “Mvi kenapa?”

“Fian… dia nyakitin aku.” Begitu balasku kemudian.

Begitu mendapat balasanku, Irfan langsung menelepon untuk memastikan bagaimana keadaanku kala itu. Tersendat-sendat, aku memintanya datang ke rumahku. Aku butuh teman. Aku butuh tempat berbagi. Aku sudah tidak tahan lagi!!

“Bapa Ipan teu aya, motor teu aya. Ipan teu gaduh acis,” jawabnya.

“Atuh, Paaaannn…” Aku terus menangis.

Akhirnya, karena mendapati tangisku tak kunjung reda, Irfan menyanggupi untuk datang ke rumahku. Sebelumnya dia berpesan agar aku berhenti menangis, dia akan segera tiba.

Dia datang, menatapku dengan pandangan iba. Ia berkata wajahku sangat pucat. Benarkah aku menangis sejak pagi?

Setelah lama diam, akhirnya mengalirlah ceritaku tentang Fian. Tentang pengkhianatan dan sejuta sakit yang ditimbulkannya. Kuperlihatkan pula SMS-SMS yang mendukung ceritaku.

Tidak ada tanggapan berarti yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berkomentar bahwa Fian adalah cowok terjahat di dunia serta menghimbau agar aku jangan menangis lagi.

Ah ya, ternyata Irfan sudah resmi jadian dengan Rani, adik kelasnya, akhir bulan lalu. Selamat!

Perasaanku sedikit tenang. Tapi begitu dia pulang, aku kembali menangis.

Malamnya, ketenangan hati kembali kurasakan. Aku bersyukur. Iseng-iseng kulihat deretan nama di phone-book. Nomor-nomor teman lamaku masih ada di sana, termasuk seseorang yang pernah kusuka.

Entah bagaimana aku mengiriminya pesan begitu saja.

Tak lama dia membalas ‘siapa?’ Ah, aku lupa sudah berganti nomor seluler. Akhirnya kukatakan siapa diriku. Selanjutnya kami saling bertukar kabar dan berbasa-basi ini itu hingga kemudianentah bagaimana caranyadia bertanya ada apa denganku? Apa aku ada masalah?

“Kok kamu tau aku lagi gak baik?” tanyaku.

“Haha… nggak kok, biasanya kamu gak SMS. Curiga aja kamu lagi galau,” jawabnya.

Secara samar, kuceritakan masalahku. Mengumpamakan orang lain yang mengalami kisahku. Dia berpendapat dan memberi nasihat. Kalimatnya tidak menggurui namun sangat berkesan.

Selagi menunggu balasannya, aku mencari nama lain di phonebook. Mataku terhenti pada satu nama berawalan W, mantan pacarku. Meski sudah tidak memiliki hubungan apa pun lagi, di antara kami tidak ada masalah. Kami baik-baik saja. Maka untuk sekedar berbagi cerita rasanya bukan hal yang salah.

Jariku nyaris mengetik SMS untuknya, tapi kuurungkan. Kupikir sudah cukup membagi kisahku dengan orang lain. Aku hanya butuh tidur demi mengistirahatkan pikiran.

Mungkin ini seperti kisah dalam sinetron yang terlalu banyak kebetulan, tapi ponselku langsung berdering begitu mataku terpejam. Awalnya kukira Fian yang menelepon. Mungkin akhirnya dia menyadari kesalahannya lalu meminta maaf padaku.

Ternyata bukan.

Ketika kutatap display ponsel yang berkedip-kedip, bukan nama Fian yang muncul, melainkan ‘Who??’ Ya, dia. Mantan pacar yang baru saja hendak kukirimi pesan.

Ragu sejenak, kutekan tombol answer dan mulai mendengarkan suara-suara di seberang sana.

Seperti biasa, obrolan pembuka dalam bertelepon pasti sapaan. Karena kami lama tak bertemu, maka bertukar kabar adalah hal  yang selanjutnya kami lakukan.

“Kita udah lama banget gak ketemu, ya. Pengen deh ketemu lagi sama Devi. Banyak hal yang pengen aku ceritain ke Devi,” katanya di tengah perbincangan. Aku hanya menanggapi dengan gumaman samar, dalam hati bertanya-tanya apakah aku ingin berjumpa dengannya juga? Jika iya, mengapa? Dan jika tidak, mengapa?

Kami bertelepon hingga larut malam. Suaranya menjadi hal terakhir yang kudengar kala kantuk mulai menyerang.

Aku sempat tenang tapi…

Esoknya, ketika mata dan pikiranku terjaga, aku menyadari satu hal : aku benar-benar telah kehilangan Fian.

Hari ini dia memang kembali mengirimiku pesan. Tapi tetap saja rasanya tidak sama. Ia bahkan belum meminta maaf padaku. Itu yang membuatku risau. Tiada penyesalan sedikitpun kah darinya?

Kupikir berdiam diri di rumah hanya menambah beban pikiran saja. Maka kuputuskan untuk memenuhi janjiku kepada Tuti kemarin. Aku akan ke rumahnya.

Apa yang selanjutnya terjadi masih terlukis dengan jelas dalam memoriku, namun aku tidak dapat mengungkapkannya lewat kata-kata. Yang jelas, dari sinilah akhirnya mata hatiku terbuka lebar.

Aku tahu, yang selama ini kurasakan hanya ego. Maksudkuaku memang masih menyayangi Fian, tapi satu hal yang belakangan ini membuatku sakit justru bukan karena aku takut kehilangan rasa sayangnya. Tanpa bertanya, aku tahu dia masih menyayangiku, hanya egonya menolak untuk mengakuiSekali lagi, yang kumaksud ‘egoku’ adalah… yeah, jujur saja, jika akhirnya harus berpisah, aku ingin akulah yang meninggalkannya, bukan sebaliknya (ini rahasia di antara kita, Guys).

Berkat bantuan Tuti, akhirnya hubunganku dan Fian resmi berakhir. Aku sempat galau, belum siap jauh darinya. Namun di sisi lain aku tidak ingin terus-menerus menyiksa perasaanku sendiri. Aku harus bertahan dengan atau tanpa dia.

“Udah, lupain dia. Mvi harus bangkit. Lebih baik sakit banget sekarang tapi cuma sekali, daripada nanti sakitnya berkali-kali,” ujar Tuti memotivasi.

Aku menangis.

“Dia pasti nyesel, Vi. Kamu jangan SMS dia lagi.”

Tuti nyaris menghapus segala hal yang berhubungan dengan Fian di ponselku : SMS, nomor ponsel, dan foto-foto. Aku buru-buru mencegah sebelum hal itu terjadi. Aku sendiri tidak paham. Yang jelas, sejak dulu hingga kini aku tidak pernah dengan sengaja membuang segala sesuatu dari kekasihku, walau itu hanya sebuah pesan singkat.

Aku tidak pernah membuang, tapi mereka (kenang-kenangan itu) terbuang dengan sendirinya. Seperti ponselku rusak total sehingga SMS dari mereka ikut hilang, atau aku lupa menaruh benda dari mantan pacar. Begitulah, untuk kali ini pun aku tidak ingin sengaja membuangnya, biarkan semua hilang dengan sendirinya. Jika hubungan ini memang benar-benar akan berakhir selamanya, biarkan waktu menunjukkan bagaimana cara kenangan antara aku dan Fian dapat terkubur rapat-rapat.

Ketika Tuti tertidur nyenyak di sampingku, pikiranku berkelana kemana-mana. Ada sesuatu yang tengah kususun.

Yeah, tentu saja dia akan menyesal.

Dia memang menyesal…

Sabtu pagi, aku beserta keluarga kecilku berangkat ke luar kota. Dengan berbagai pertimbangan, kupilih untuk hidup tanpa ponsel selama berada di kota orang. Aku ingin tahu, apakah jika kami kehilangan kontak dia akan tetap baik-baik saja? Akankah dia merasa kehilangan?

Kemarin sore dia mengirimiku SMS : ‘Ku menangis tertahan, sadar kau bukan milikku lagi.’ Sengaja tak kubalas. Untuk apa?

Dan malam harinya dia datang ke rumahku!

Oke, dia datang ke rumahku hanya untuk ‘mengambil charger’. Meskipun demikian, gesturnya dengan jelas menunjukkan maksud lain. Dia masih ingin bersamaku. Percayalah, ia bahkan tampak enggan untuk segera pulang, hingga menawarkan diri untuk membeli charger karena milikku rusak.

Seingatku, aku tidak pernah dengan sengaja memintanya kembali kepadaku. Anehnya dia tiba-tiba berkata : gue lagi pengen sendiri dulu, dep. Maaf. Padahal sedetik yang lalu dia sendirilah yang meminta agar kami jangan jadi berpisah.

Dia labil. Rasanya keputusanku untuk pergi sementara waktu bisa membuatnya sedikit berpikir bahwa perasaanku tidak dapat dimainkan seenaknya lagi olehnya.

Sabtu malam aku mulai mematikan ponsel. Akun facebook miliknya kubuka setiap ada kesempatan, ingin tahu akan bagaimana dia saat aku tidak ada.

Selama aku pergi, dia meng-update setidaknya satu status perhari. Padahal dia sudah cukup lama absen menulis status. Isi statusnya berisi kegalauan. Selama 3 hari 4 malam kepergianku, ia pun mengirim 3 pesan ke akun facebookku. Salah satunya berisi ucapan selamat hari jadi ke-5 bulan yang jatuh di tanggal 24 Juli.

Seperti pernah kutulis di postingan sebelumnya, inilah status-statusnya tersebut :

19 Juli => Pergilah kasih kejarlah kebahagiaanmu J (di hari yang sama saat aku ke rumah Tuti)

20 Juli => Status gue teh apaan yah ga jelas L lajang kali :’(

22 Juli => ‘ Hidup Tapi Mati ‘ itulah kata yang tepat untukku tanpamu  :’(

22 Juli => Selamat berbuka puasa Devi Liandani J

23 Juli => Get well soon to me J

23 Juli => H~1 J where are you? :’(

23 Juli => Rumah sepi | Hp sepi | Fb sepi | Twitter sepi | Hati sepi -_-

24 Juli => come on baby comeback J

Sebenarnya aku sudah tidak dapat menahan diri. Membaca statusnya membuatku ingin cepat kembali ke sampingnya lagi. Sayangnya ada hal lain yang juga menjadi pertimbanganku. Well, di balik itu semua ternyata dia… mencoba mendekati beberapa cewek di sosial media facebook. Search, poked, send message <= itulah yang dilakukannya di belakangku.

Aku bukannya tidak menduga kemungkinan-kemungkinan tersebut. Aku bahkan sampai memikirkan kemungkinan yang lebih jauh dari itu. Maka kubiarkan dia meneruskan kegiatannya. Berpura-pura tidak peduli.

Aku tetap hidup, tanpa memberi kabar untuknya.

Baca juga => Selanjutnya (bagian 2)

0 comments:

Post a Comment